Path-10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Eir! Apa kau baik-baik saja? Ke mana pembunuh bayarannya pergi..." Hunju memperhatikan sekeliling yang berantakan seolah habis dilindas oleh kawanan dua ratus gajah. "Ya ampun!"

Roas dan Risica menampilkan raut wajah yang sama: terkaget-kaget. Kecuali pemuda berjubah si paling pendiam. Dia menenggelamkan kepalanya dengan tudung jubahnya agar tak ada satu pun di antara kami melihat rupanya. Mungkin dia jelek.

Aku tertawa jahat dalam hati. Garing sekali diri ini.

Sudah saatnya berpura-pura tolol. Aku menggaruk kepala. "Ah, yah... Mereka saling berkelahi. Si pembunuh bayaran terluka setelah menghajar mereka," jelasku sambil menunjuk dua kusir yang pingsan. "Tahu-tahu sudah begitu. Hahaha—"

"Anda payah dalam berbohong."

Kami menoleh ke Pria Berjubah. Kukira dia bisu, tapi ditilik dari suaranya yang lumayan berat, usia pemuda ini mungkin 25 tahunan. Risica sampai menutup mulut, tidak menyangka pria pendiam itu akhirnya bicara sepatah kata.

"Y-ya?" Aku cengengesan, bersiteguh dengan peran 'pelajar bodoh'—sesungguhnya sulit bagiku mengatur ekspresi wajah. Dia tahu aku bohong, berarti pria ini punya pengamatan dan penilaian yang brilian. "Saya berkata jujur kok."

Gawat. Jangan sampai dia tahu kejadian yang sebenarnya. Pria ini bukan sembarangan orang. Apa dia tidak ingat wajahku? Aku sosok yang menolongmu dari Roh Jahat tadi pagi. Ingat dong!

"Pohon agathis (damar) bukanlah pohon yang bisa dirobohkan begitu saja dengan pedang. Jika dilihat dari kerusakan batangnya, jejak itu seperti bekas pukulan tangan bukan sabitan pedang. Lagian dua kusir yang mengangkut kita kurus dan pendek. Mereka jauh dari definisi jago bertarung untuk melawan seorang pembunuh bayaran."

Semua orang menoleh kepadaku yang mati kutu.

Roas bersedekap, mulai curiga. Ditambah aku berkeringat. "Eir, kau berbohong pada kami lagi?"

"A-ah, itu... A-aku tidak berbohong..."

Kala aku mengembuskan napas, uap keluar dari helaan napas tersebut. Aku memeluk badan. Kok udaranya tiba-tiba terasa dingin sekali? Ini bukan kehadiran Roh Jahat. Sensasinya sama sekali tidak mengintimidasiku. Apakah itu dari hantu?

"E-eh, Eir, kau kenapa?" Hunju panik. Roas batal menginterogasi demi melihatku mengigil.

Belajar dari pengalaman bertatap muka dan mengobrol dengan hantu kelasku—Siswa Tanpa Nama—temperatur suhunya tidak sedingin ini. Kalau begitu hanya satu jawabannya...

... Ada kumpulan hantu berkumpul di daerah ini.

"Eir? Maaf aku tidak menjawabmu. Dua Roh Jahat level 4 muncul bersamaan di Hega. Kami butuh waktu menghadapi mereka. Kau tak apa?"

Aku mengangguk. "Aku baik-baik saja, Bibi Sen. Buruanku sudah kukirim beberapa menit lalu."

"Ya. Kami telah mengantarnya ke alam baka asli. Kerja bagus, Eir. Utranya sudah terkirim, kan?"

Kurogoh kartu tabunganku di ransel. 600 Utra ditambahkan ke rekeningku membuat mataku berbinar. Aku seakan lupa udara yang dingin.

Kerja keras sehari, nyaman sebulan VS santai sehari, menderita sebulan. Hmm-hmm! Mulai sekarang aku tidak perlu memikirkan pekerjaan paruh waktu apa pun. Aku harus fokus memburu Roh Jahat dan mengumpulkan uang jutaan utra.

"Ng?" Dari belakang kartu, muncul jendela sistem katalog yang mempromosikan list kekuatan.

Aku menelan ludah, mencerna tulisan-tulisan yang tertera. Jangan bilang 'kemampuan spesial' bisa disewa oleh utra yang didapatkan? Ini... ini hebat!

"Hei, Eir, kenapa kau berbisik-bisik tak jelas dari tadi? Apa yang kau pegang?" Hunju kebingungan melihaku memegang benda tak kasat mata. "Wah, parah. Kita tidak bisa berlama-lama di sini, Roas. Eir mulai kerasukan. Kita harus segera pergi."

"Bagaimana cara kita pulang? Kau punya uang? Lagi pula kita tidak tahu di mana kita saat ini."

Bukankah di sini sangat sepi? Kan kami berlima orang. Aku menoleh ke depan. "Kak Risica..."

Selagi kami berdebat, Risica ternyata sibuk adu mulut dengan Pria Berjubah yang belum diketahui siapa namanya—dia enggan memperkenalkan diri. Pemuda itu hendak pergi. Sepertinya dia punya tujuan sendiri. Kali saja dia juga sukarela diculik.

Tetapi, Risica menghalangi jalannya, bilang akan lebih baik kalau kami tidak berpencar di hutan rimba dengan catatan sudah tengah malam. Pemuda itu menggeleng, tetap melangkah pergi.

"Kita berpisah di sini. Urus urusan masing-masing dan jangan ikut campur. Selamat tinggal."

"Apa kau tahu tempat ini? Jangan congkak—"

Pria Berjubah itu sekali lagi berhenti melangkah. Aku, Hunju, dan Roas menepi, menyimak seru perdebatan mereka. Lumayan tontonan gratis.

"Saya sangat mengenal kawasan ini karena saya sudah mempelajari konturnya berbulan-bulan, mempersiapkan perjalanan saya dan sengaja terlibat penculikan. Anda pikir saya orang bodoh?"

Risica bersedekap. "Aku tahu apa tujuanmu."

"Sekarang anda bertingkah seakan anda orang paling memahami diri saya," hardiknya dingin.

Daripada perasaan merinding oleh gerombolan hantu, atmosfer yang mereka berdua keluarkan jauh lebih dingin. Keduanya sama-sama keras kepala. Aku yakin mereka takkan mengalah. 

"Kau ingin pergi ke pedalaman Itya, kan? Kau tertarik dengan aktivitas Longak, kan? Ada dukun yang dipercayai mampu menyembuhkan penyakit apa pun tinggal di perkampungan sana."

Lengang sejenak. Aku, Hunju, dan Roas masih mengunci bibir. Pemirsa! Apa yang akan terjadi??

Pria Berjubah itu tergelak pelan. Jeda beberapa detik sebelum dia menjawab tajam, "Anda berhasil membuat saya tertarik, Nona Risica."

*

Aku mengendap ke tempat dua kusir pingsan. Ketika membaca sekilas list kemampuan spesial Keeper, ada bakat Attiana di dalamnya yaitu membaca kenangan. Aku mau menyewanya dan mencari tahu tujuan orang-orang ini menculik warga, terutama 'tumbal' yang mereka bicarakan.

<Selamat datang di Toko Keeper Versi 5.4! Kekuatan macam apa yang Pelanggan inginkan?>

"Bisakah aku menyewa teknik membaca memori?"

<Kemampuan Pembaca Ingatan dibagi lima tingkatan. Anda ingin menyewa tingkat berapa?>

"Sebelum itu apa aku boleh tahu harganya dulu?"

Mataku melotot. Syukurlah aku menanyakannya lebih dulu. Atau tidak gajianku hari ini akan ludes. Meski aku tidak bisa terluka, yang namanya bertarung tetap menyakitkan. Tiada seru-serunya.

Tertulis jika kekuatan Membaca Memori Tingkat 5 setara dengan 15.000 utra hanya untuk 15 detik saja. Memang mahal, namun dengan level segitu, aku bisa melihat jauh masa lalu seseorang.

Hueee. Aku iri dengan Kak Attia. Dia bebas menggunakan kekuatan semahal itu kapan pun.

"A-aku sewa Tingkat 1 saja. Waktu 10 detik."

<Baik! 100 utra akan diambil dari rekening Pelanggan. Terima kasih sudah berbelanja di Toko Keeper V5.4! Sampai jumpa, Pelanggan.>

Yosh, pembelian selesai. Tanpa basa-basi aku menyentuh dahi salah satu dari dua kusir itu. Berkonsentrasi. Kemampuan ini mulai bekerja.

Aku melihat mereka berdua bertemu dengan seorang kakek-kakek tua mengenakan kain semacam korban. Janggut putihnya bergoyang. Terdapat bintik-bintik ruam di pipinya yang tirus seperti terpapar polusi udara dalam waktu lama.

"Tuan Gratagar telah dikirim ke ibukota Melawa untuk memikat anak-anak nakal. Tugas kalian adalah menjemput anak-anak itu. Jangan sampai ada masalah. Lakukanlah sehati-hati mungkin."

"Siap, Utusan Saintess!"

Keringat mengalir dari pelipis, tapi aku bertahan. Kini fragmen ingatan berpindah ke kakek-kakek yang mereka panggil 'Utusan Saintess' sedang mengobrol dengan seorang wanita bergaun hitam.

"Nyonya, tumbal untuk ritual Totayam telah siap."

Laksana kanal TV yang menampilkan layar semut, kenangan itu habis. Aku sudah mencapai batas waktu penyewaan, terduduk kehabisan tenaga.

Totayam. Ritual yang dilakukan sekali dalam sepuluh tahun. Apa mereka akan melakukan itu? Sampai kapan aku terseret oleh kebetulan.

Wush! Tak! Crat!

Sebuah panah asing melesat menusuk dada satu dari dua kusir yang membawa kami. Darahnya memuncrat ke pipiku membuatku kembali sadar ke dunia nyata. Gemetar. "A-apa yang...?"

Apa dia mati? Dari mana asalnya? Jangan-jangan pembunuh bayaran asli datang lagi. Kakek-kakek itu pasti menyuruh mereka menyingkirkan kusir tak becus yang gagal melaksanakan pekerjaan.

"EIR! MENYINGKIR DARI SANA!"

Satu panah dilepaskan ke arahku. Aku refleks memejamkan mata. Tidak apa. Rasanya tak sakit. Ingat, aku penyembuh. Aku tak dapat dilukai—

Trak! Anak panah itu ditebas jadi dua bagian.

Aku melongo karena yang menyelamatkanku adalah Pria Berjubah—ternyata dia membawa pedang di balik mantel jubah yang dia kenakan. Tapi yang mengejutkan itu bukan pedang perak di tangannya, melainkan wajahnya yang terekspos.
Dia bergerak agresif, melompat demi menolongku. Itu membuat tudung jubahnya tersingkap.

Kami bertiga termasuk Risica, mematung.

"Y-Yang Mulia Pangeran Pertama?!"






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro