Path-11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari ini sungguh hari yang mengagumkan.

Diawali dengan mengejar Roh Jahat level 7, bercakap-cakap dengan hantu yang menaungi kelasku sepuluh tahun terakhir, dikejar ksatria, dibawa Sopir Taksi yang kukira baik rupanya calo penculikan, aku dan teman-temanku diculik, gelut lagi dengan Roh Jahat level 7 lainnya, dan diakhiri dengan bertemu tokoh penting.

Masih adakah peristiwa yang akan terjadi di hari yang sama? Ini luar biasa—jangan dibawa serius, aku sedang menyarkas.

Serangan panahnya berhenti. Mereka pasti kabur setelah tudung kepala Pangeran Martin tersingkap, tidak menduga Putra Mahkota ada di tempat seperti ini.

"Tak usah pakai membungkuk segala. Kita sudah di era modern. Terlebih ini bukan di kerajaan," selanya sesaat sebelum kami (termasuk Risica) ingin memberi hormat.

"Oke, baiklah." Risica menyesuaikan diri dalam sedetik. "Apa yang anda lakukan di tempat terpencil begini, Yang Mulia Pangeran Pertama? Rumor mengatakan anda menghilang. Tahu-tahunya di sini."

"Saya rasa anda tak punya hak untuk mempertanyakan kegiatan saya, Nona."

Wah, aku kagum dengannya. Yang berdiri di depannya itu penerus Raja Andreas lho. Kalau aku sih pasti ciut nyalinya.

Ketika perhatian semua orang tertuju pada Pangeran Martin, diam-diam aku memakai kekuatan penyembuhanku untuk menyelamatkan kusir yang terpanah.

Aku tak bisa membiarkan seseorang tewas hanya karena aku membencinya.

"Ya ampun, ini merepotkan."

Huh? Aku menatap ke depan. Terbelalak.

"Buku Kematian tak pernah salah menulis tanggal dan kematian seseorang. Kupikir bukuku rusak karena catatannya berubah, ternyata kau menyelamatkannya, Eir."

Aku sontak berdiri. "P-Pak Kematian... Eh! Maksud saya Pak Maxel," ralatku segera. Ahh!! Gegara Attia, Senya, Mikaf, dan Evre terus mendoktrinku memanggil beliau dengan sebutan begitu, aku jadi terbiasa.

Beliau meletakkan telunjuk di bibir. "Lebih baik kau pura-pura tidak melihatku, Eir. Mereka akan merasa aneh melihatmu bicara dengan udara kosong," peringatnya.

Aku menatap Pangeran Martin, Risica, dan teman-temanku. "A-ah, benar juga... Tapi apa yang anda lakukan di sini?" bisikku.

"Menjemput arwah, tentu saja. Kau malah menyelamatkan hidupnya membuat kedatanganku sia-sia," jelasnya bete.

"S-saya menyesal... Saya tak bermaksud mengganggu pekerjaan anda..." Pak Kematian takkan memarahiku, kan? Bagaimana kalau aku dipecat jadi Keeper?

Aku tidak boleh kehilangan pekerjaan ini!

"Kalau kau sebegitu menyesalnya, kau bisa membantuku," sergah Maxel lebih dulu. "Akhir-akhir aku menerima laporan di alam baka bahwa persentase kematian di Itya meningkat secara tiba-tiba padahal sudah lama hal ini tidak terjadi. Aku merasa deja vu. Persis dengan kejadian 10 tahun lalu..."

Kulihat rahang Maxel mengeras. "Aku tak seharusnya mengatakan itu. Kau tak perlu memikirkannya, Eir, ini urusan alam baka. Kau fokus pada profesimu sebagai Keeper."

Kemudian, Pak Kematian pun menghilang. Meninggalkanku yang dilanda rasa kepo.

Aku tak jadi dihukum nih?? Yes!!!

*

Singkat cerita, Pangeran Martin menyeret Risica ke penginapan terdekat di daerah sana. Rencananya berantakan karena kami terlanjur melihat wajahnya dan terpaksa harus membuat rencana baru. Aku, Hunju, dan Roas pun kembali ke ibukota Melawa.

Sebelum itu, kami 'diancam' oleh Pangeran Martin agar tidak membeberkan siapa pun soal dirinya yang berada di Provinsi Itya. Beliau juga mengurus kusir-kusir penculik.

"Ada hal seperti itu? Astaga! Kau tidak terluka kan, Eir?" tanya Mikaf khawatir, memeriksaku dari ujung rambut ke ujung kaki. Aku datang ke UD pagi-pagi buta.

Aku tertawa renyah. "Aku tak apa, Bibi Mikaf. Aku tidak bisa terluka, ingat?"

Sebagai jawaban, beliau menepuk bahuku. "Jangan jadikan itu sebagai alasan untuk berbuat hal-hal berbahaya. Kau paham?"

"P-paham," bataku, mengusap bahu yang beliau tepuk. Sakitnya. Kayak dipukul besi.

Senya keluar dari dapur, membawa nampan berisikan roti, kopi, dan selai. "Apa kau tak sekolah hari ini, Bocah Tengik?"

Bibi Senya masih memanggilku begitu, hik!

Tanganku meraih mug kopi. "Sekolah. Saya sudah mandi dan tinggal pakai seragam—"

Senya menepuk punggung tanganku. "Siapa yang menyuruhmu minum kopi? Kau harus minum susu biar tinggimu nambah," omelnya, mendorong gelas berisikan susu.

Aih? Minum kopi pun tak boleh.

Percakapan dengan Pak Kematian teringat olehku. Aku buru-buru memperbaiki posisi duduk. "Bibi Senya, apa ada insiden besar pernah terjadi di Itya 10 tahun silam?"

Mungkin saja Pangeran Martin punya misi tertentu ke pelosok Itya dan pernyataan Risica boleh jadi benar: Pangeran Martin tertarik dengan aktivitas Longak.

"Kenapa kau mendadak mau tahu?"

Aku menceritakan semua yang terjadi tadi malam, termasuk pertemuan dengan Pangeran Martin dan Pak Kematian.

"Pantas saja," gumam Senya. Komentar pertama usai aku selesai bercerita. "Dua hari lalu, ada rombongan arwah datang ke Upside Down. Mereka terlihat seperti satu keluarga. Yah, sayangnya kita tidak bisa menggali latar belakang arwah karena alam baka melarang Keeper ikut campur ke permasalahan mantan manusia..."

Senya berhenti mengoceh. Aku menatap heran. Mikaf, Evre, dan Attia beranjak bangkit dari kursi lalu keluar dari kedai es.

"Terdeteksi Roh Jahat level 2. Kami bisa mengurusnya. Eir, jangan sampai telat ke sekolah!" seru Mikaf sebelum pergi.

Aku kembali duduk. Apa itu barusan?

"Kau tahu, Eir?" Kepalaku tertoleh ke Senya yang memainkan jari. "Sebenarnya kami tidak sedekat yang kau pikirkan. Mikaf, Attia, ataupun Evre menjaga jarak dariku seolah ada dinding di antara kami. Mereka sering bermain rahasia-rahasiaan."

Aku bukan penghibur atau pendengar yang baik. Aku juga tidak berani membesarkan hati Senya—bagaimanapun mereka sudah lebih lama bersama daripadaku yang baru bergabung beberapa hari yang lalu.

Jadi, aku hanya memilih diam.

*

"EIR! KAMI MENDAPATKAN PETUNJUK—"

Seruan antusias Hunju dan Roas menguap melihatku datang dengan penampilan kusut, rambut bau apak, dan basah. "Ada apa denganmu, heh? Habis olahraga pagi?"

Aku menggeleng, mengatur napas yang ngos-ngosan, menggantung jas almamater ke kursi. "Tidak apa," jawabku pendek.

Saat berangkat ke sekolah, aku bertemu Roh Jahat level 5 yang baru saja keluar dari Upside Down. Sebelum dia berkeliaran mencari mangsa, aku pun menangkapnya seorang diri tanpa arahan. Aku enggan merepotkan Senya yang sedang gundah.

Hehe. Pagi-pagi dapat 400 utra. Yey!

"Btw, petunjuk apa yang kalian maksud?"

"Itu lho..." Roas menatap takut-takut kursi kosong di sebelahku. "N-nama dia."

Aku ingin bilang hantu Siswa Tanpa Nama tidak datang, namun melihat ekspresi Hunju dan Roas yang memeable, aku urung mengatakannya. Tersenyum geli.

"Sebentar, apa katamu barusan?! Kalian tahu namanya? Bagaimana caranya?"

Hidung Roas memanjang. Hunju mengibas rambut. Itu adalah gerakan khas mereka kala sedang menyombong. Aku mendengus, paham arti tatapan itu: siapa dulu dong.

Aku sebenarnya mau sih membeli kekuatan Pembaca Memori untuk mengetahui nama hantu itu, tapi aku sayang utra. Aku juga tidak bisa memanggil Attiana ke dunia nyata hanya untuk keperluan pribadi.

Ternyata Roas dan Hunju sudah mulai investigasi diam-diam selama aku sibuk dengan kegiatan Keeper-ku. Mereka pergi ke Desa Zerka di provinsi Hega untuk bertemu dengan mantan kepala sekolah Semenat Chemistal yang menjadi petani.

"Dia ketakutan pas kami bertanya-tanya tentang kebakaran dan mengusir kami. Tapi...!" Hunju mengeluarkan secarik kertas kumal dari saku roknya, tersenyum puas. "Mwehehe! Detektif Hunju menemukan pamflet ini di bawah kolong rumahnya!"

Aku dan Roas manyun. Hunju bertingkah seperti detektif profesional menyelesaikan kasus. "Kertas apaan sih itu?" tanyaku.

Hunju meletakkannya ke hadapanku.

Aku membacanya, terperenyak di kursi. Surat itu terpotong-potong, hurufnya juga pudar. Tapi isinya membuatku paham.

Bahwa itu adalah formulir rekrutmen untuk mencoba mesin waktu yang berhasil diciptakan oleh akademisi di Tora.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro