Path-28

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Yosh! Aku sudah sampai di depan sekolah tempat ibu bekerja. Awal dari semuanya.

Saat mendengar tanah bekas Semenat Chemistal yang terbakar karena insiden 10 tahun silam akan dibangun sekolah baru, aku segera bersiap-siap mendaftar ke sana untuk menaungi jejak ibu karena beliau sangat menyukai sekolah tersebut.

Tidak kusangka aku bisa melihat dan berdiri di depan Chemistal sekali lagi. Tak sia-sia aku pertaruhkan semua uangku.

Tapi aku khawatir kalau kemampuan ini punya batas waktu dan aku dipaksa kembali ke masa depan. Mana aku tidak sempat dengar penjelasan detailnya lagi.

"Hei, Nak, apa yang kau lakukan di sini?"

Aku terkesiap. Gawat! Pak Kam, si satpam!

Melarikan diri pun percuma karena dia lebih dulu menyergap langkahku. Dia orang yang selalu menegurku karena aku terus mampir mengganggu pekerjaan ibu lalu Pak Kam memanggilku 'anak manja'.

Maksudku, wajar saja aku bertingkah seperti itu sebab ayah sudah tidak ada. Apalagi umurku masih 6 tahun plus tidak punya wali. Aku sendirian di rumah. Jelas aku kesepian dan membutuhkan ibu.

Padahal aku sudah memaksakan diri untuk bersikap dewasa, namun, perkembangan mental tak semudah yang diucapkan.

Pak Kam bersedekap, mengernyit. "Kau... wajahmu familiar. Siapa kau, Anak Muda?" Dia seenaknya mengunyel pipiku. Matanya tetap memelotot. "Aku sering melihat wajah ini, tapi yang ini berbeda dari yang biasanya. Masa sih kau... Eir Peaceful?"

Aku menelan ludah. Antara panik atau apalah. Aku sendiri tidak tahu bagaimana mengekspresikan kegugupanku saat ini.

Terlalu bersemangat angkat kaki dari hadapan Raja Andreas membuatku tidak berpikir lanjut: apa yang akan terjadi pada aku yang di masa lalu. Apakah 'aku' berusia 6 tahun hilang atau masih ada?

"Pak Kam?"

Tubuhku membeku mendengarnya. Tidak selesai-selesai keterkejutanku. Bertemu dengan pria yang selalu memarahiku, bertemu hantu Murid Tanpa Nama yang rupanya anak Bibi Mikaf, sekarang aku mendengar suara yang amat kurindukan.

Ibu! Itu suara ibu! Ada ibu di belakangku!

Now what? Apa sebaiknya yang kulakukan?Aku ingin memeluknya, tapi, tapi, tapi...! Apa ini tidak masalah? Aku tidak mau mengambil risiko karena aku bukan 'Eir Peaceful' yang ibu kenal. Eir di sini masih bocah 6 tahun, bukan remaja 16 tahun.

"Ah, Mrs Malvina. Anak Muda ini..." Pak Kam menunjukku yang berdiri mati kutu. "Dia mirip dengan mendiang putra anda."

Huh? Aku mengerjap. Hah? Hah???

Kutatap Pak Kam tak percaya. Tunggu, apa? Dia barusan bilang apa? 'Mendiang'? Lawak woi! Orang aku masih walafiat ini! Apa dia tidak salah redaksi kalimat?

"Benarkah?" Aku dapat merasakan Ibu tengah memandangiku. "Itu tak mungkin—"

Aku tidak tahu apa yang otakku pikirkan, tapi sebelum ibu menyentuh bahuku, aku langsung terbirit-birit kabur dari sana.

*

Dasar pengecut kau, Eir Peaceful!

Itu kesempatan yang kunanti-nantikan. Kenapa aku dengan begonya malah lari?! Seharusnya aku berbicara dengannya!

Aku bersembunyi di suatu gang, mengatur napas. "Aku benar-benar yang terburuk."

"Benar. Kau yang terburuk, Eir."

Hmm? Aku menoleh. Pun orang yang barusan menceletuk—dia mengerjap polos. Mataku membulat, bangkit. "P-P-P-Pak Kematian?! Kenapa anda bisa ada di sini?!"

Dia santai bersandar ke dinding. "Kenapa kau begitu terkejut sih? Jangan alay."

"Tentu saja aku kaget! Anda pikir ini di mana?! Ini dunia masa lalu lho!"

"Kau pikir siapa yang membuat daftar kekuatan di Toko Keeper, hmm? Tentu aku tahu apa saja yang dilakukan Keeper. Kau tidak boleh meremehkan malaikat, Eir."

Aku bersedekap. "Siapa memangnya?"

"Entah. Yang jelas bukan aku."

Grrr!!! Rasa ingin memukulnya stonks! Aku baru tahu Pak Maxel punya sisi pelawak.

"Jangan terlalu marah pada mereka."

"Hah?" Aku mengepalkan tangan. "Kenapa Pak Kematian bertele-tele begini? Anda menyuruhku agar tidak terlalu percaya pada mereka, kini anda menarik perkataan anda? Mereka hanya memanfaatkanku! Mereka membiarkan Roh Jahat lolos supaya aku melawannya, mengalahkannya, dan mereka mendapatkan utra gratis."

Pak Maxel berhenti bersandar santai, beralih duduk. "Yah, itu memang salahku. Aku terlalu terburu-buru menilai." Dia menghela napas panjang. "Menurutmu, kenapa Attiana mengajarkanmu teknik membaca memori kalau mereka memang cuma memanfaatkan bakat indigo-mu?"

Aku mendengus. Tidak menjawab.

"Itu karena Attiana ingin kau tahu rencana busuk mereka sebelum mereka mengenalmu lebih lama. Kau tahu? Mereka sampai memberontak ke alam baka lho untuk membatalkan pengunduran dirimu. Aku yakin kau sudah terlanjur terbiasa menjadi Penjaga Arwah, begitupun mereka. Terbiasa memberi arahan ini-itu padamu. Mereka terbiasa dengan keberadaanmu."

Aku terdiam, menggigit bibir. "Bohong."

"Bohong atau tidaknya seseorang itu tergantung pemikiranmu sendiri." Pak Maxel berdiri. Jubahnya berkelepak oleh angin. "Waktuku sudah habis. Aku pergi dulu, Eir. Aku mengharapkan kabar baik."

Dan hening. Pertemuan yang amat cepat.

.

.

Tanpa sadar kakiku membawaku kembali ke Chemistal. Pikiranku berkecamuk hingga kurang ngeh ke mana arah aku pergi.

Matahari nyaris tumbang di kaki langit, menyinari bangunan di depanku, spontan mengingatkanku pada nyala api yang berkobar terang melahap sekolah ini.

Tidak! Aku menggelengkan kepala. Jangan biarkan kejadian buruk memengaruhi mentalmu! Yang berlalu biarkan berlalu.

"Aku sudah menduga kau akan kembali."

"Hm?" Aku menoleh, melotot untuk kesekian kalinya. Ibu?! Dia masih di sini?!

Ibu mendekat ke arahku, tersenyum sendu. "Padahal aku tidak ingin berharap dengan perkataan Pak Kam, tapi kau terlihat seperti Eir, anakku, sungguhan."

Nada suaranya terdengar bergetar.

"Entah ini mimpi atau kenyataan, aku tidak peduli. Aku selalu mencarimu selama ini sejak kau menghilang di hadapanku tanpa bekas. Sepuluh tahun lamanya. Aku sampai berpikir kau telah meninggalkan Ibu."

Huh? 10 tahun katanya? Apa mungkin sejarah di masa lalu dan di masa depan berbeda sama sekali? Di masa depan aku yang kehilangan ibu, di masa lalu justru sebaliknya. Ini... ini terlalu mengagumkan.

Paradoks waktu memang luar biasa!

"Ternyata kau sudah sebesar ini, Eir."

Aku mengangkat kepala. Tersenyum lebar.

"Ibu! Eir juga merindukan, Ibu!"



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro