Path-29

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ibu! Makan! Makan!"

"Dasar kau ini. Itu sudah porsi ketiga dan kau masih mau nambah? Perutmu terbuat dari apa sih?" kata Ibu gemas.

Aku menyengir lebar. Bagaimana nafsu makanku tidak meningkat? Aku amat merindukan masakan ibu. Sudah 10 tahun aku tidak memakan masakan beliau.

Ngomong-ngomong ini sudah hari ke-10 aku berada di dunia masa lalu. Meski tidak semenarik dunia masa depan, aku mulai membiasakan diri dengan lingkungan sekitar. Lagi pula aku sudah membulatkan tekad akan tinggal di sini. Jadi lupakan saja barang canggih di tahun 2023.

Yang penting ada ibu di sisiku. Itu sudah cukup walau ayah tidak ada. Sebab ini tuh 10 tahun lalu, bukan 11 tahun lalu. Ayah meninggal saat umurku lima tahun.

"Selesai! Sup kacang merah kesukaanmu!"

Aku berbinar-binar, mengelap air liur. "Wah, terlihat enak!" Tanganku langsung menyambar sendok. "Selamat makan!"

Betapa maknyusnya! Ini dia yang kucari.

"Pelan-pelan, Nak. Itu masih panas lho. Nanti lidahmu terbakar~" kekeh Ibu, kembali ke dapur untuk mencuci piring.

Selagi asyik melahap isi mangkok, entah apa yang terjadi, sendok yang kupegang mendadak jatuh ke meja. Aku mengerjap, beralih mengambilnya, namun tembus.

Keringat dingin menetes. Jantungku berdebar tak karuan. Tidak... jangan lagi.

Sebenarnya 'gejala' ini sudah muncul sejak lusa lalu. Gejala dimana benda-benda yang kusentuh menembus tanganku seakan aku kehabisan energi untuk mempertahankan keberadaanku di dunia masa lalu ini.

Sampai di sini saja kah? Aku tidak tahu skill yang kubeli memiliki batas waktu. Bagaimana kalau aku dikembalikan ke penjara kerajaan? Cih! Apa gunanya aku bela-belain menghabiskan semua utraku.

Beberapa kali mencoba, akhirnya sendok itu berhasil kugenggam. Dasar! Aku seperti bayi yang mencoba belajar makan sendiri.

Aku tidak akan menyerah. Apa pun yang terjadi, aku akan menetap di masa ini! Asal bersama Ibu, aku sudah bahagia!

"Apa kau sungguh bahagia?"

Aku terkesiap merinding. H-huh? Suara gema apa itu barusan? Aku menoleh ke kiri-kanan. Apa akhirnya aku jadi gila? Atau efek samping kembali ke masa lalu?

M-mungkinkah... Aku menebak-nebak.

"Ada apa, Eir? Mukamu terlihat tegang," tanya Ibu menatapku khawatir.

"Ah, bukan apa-apa, Ibu! Ini enak!"

Kalau dugaanku benar, arti suara tadi...

*

Segala sesuatu yang dirasa mustahil dilakukan tapi menunjukkan keberhasilan, maka akan timbul sebuah resiko.

Seseorang dari masa depan kembali ke masa lalu. Mendengarnya saja sudah tidak masuk akal, apalagi mengalaminya secara langsung. Pastilah ada sebab-akibat yang menanti selama aku bermanja ria di sini.

Hari ke-11 sampai hari ke-13, suara gema asing itu semakin sering kudengar. Suara yang menanyakan apa aku benar-benar bahagia berada di tempat ini atau tidak.

Retorik. Tentu saja aku sangat bahagia!

Ketika sudah genap hari ke-16, aku yang sudah gemas, memutuskan mengobrol dengan pemilik suara menyebalkan itu.

"Woi! Apa maumu, heh? Kenapa suaramu terus terngiang-ngiang di kepalaku? Berhenti menggangguku, dasar kuker!"

"Apa kau sungguh bahagia?"

Pertanyaan itu lagi, pertanyaan itu lagi.
Keningku berkedut kesal. "Jangan banyak tanya. Aku. Sangat. Bahagia. Kenapa kau terus menanyakan hal sepele sih? Di sini ada ibuku! Kurang bahagia apalagi aku? Lagian, sebenarnya kau ini siapa, heh?"

"Tapi, teman-temanmu tidak ada."

Aku terdiam. Ah... Roas dan Hunju...

Rupanya benar kalau pemilik suara ini adalah penguasa. Sebut saja 'Ratu' yang mengontrol dunia masa lalu. Ia juga lah yang berhak memutuskan orang luar (orang dari masa depan) boleh masuk ke sini atau dilarang dan ditendang keluar.

"K-kenapa? Apa kau mau mengembalikanku ke dunia asalku?" tanyaku sok galak.

Saat ini aku mengobrol dengannya di hutan yang cukup jauh dari pedesaan. Aku sengaja memilih tempat sepi agar aku tidak dicap gila berbicara pada langit. Toh, tampaknya si Ratu Masa Lalu ini mampu berbicara denganku di mana saja.

"Waktu habis. Kau kedatangan tamu."

Kratak! Kratak! Prang!

Seperti pecahan kaca yang retak membuat rongga, langit seperti ditebas dan dari sana keluar Senya, Paman Evre, Bibi Mikaf, terakhir Attiana... Tunggu, hah?!!!

Aku beranjak bangkit. Melotot. "Kalian semua, apa yang kalian lakukan di sini?"

Senya memukul kepalaku. "Pakai nanya segala. Tentu menjemputmu pulang.

"Tempatmu bukan di sini," kata Bibi Mikaf.

Aku tertawa mencemooh. "Hahaha! Apa peduli kalian, huh? Bukankah lebih bagus aku tinggal di sini daripada dijadikan mesin pencari uang? Melihat kedatangan kalian, apa kalian kesusahan karena tidak ada kacung yang bisa kalian peralat lagi? Maaf saja. Kalian hanya membuang waktu. Pergi! Aku takkan kembali ke masa depan."

"Jangan pikirkan kami, tapi pikirkan sahabatmu. Roas dan Hunju kelimpungan mencarimu, Eir. Baginda Raja Andreas telah membatalkan hukumanmu karena Pangeran Martin telah menemukan bukti kesalahan Freddie. Namamu sudah bersih. Pihak kerajaan merasa bersalah padamu, apalagi kau tiba-tiba lenyap begitu saja."

"Kenapa kalian mendadak sok peduli, huh?! Aku bisa mengurus masalahku sendiri! Aku tak butuh bantuan siapa pun—"

"Maafkan kami, Eir," sela mereka berempat serempak. "Eir, kami sungguh minta maaf telah memanfaatkanmu, membiarkanmu bertarung sendirian, menutup mata melihatmu terluka berkali-kali. Kami benar-benar minta maaf atas segalanya."

Senya tersenyum tipis. "Aku tahu kau takkan semudah itu memaafkan kami yang sudah kurang ajar ini, makanya kami sepakat menggunakan seluruh tabungan utra kami untuk merekrutmu sekali lagi."

Aku mengernyit. "Merekrutku?"

Poff! Pak Kematian muncul dari udara.

"Sebenarnya Keeper yang mengundurkan diri tidak bisa kembali menjadi Keeper walau dia memohon sekalipun. Kecuali jika kau membeli sebuah item langka di toko yang berharga 5 juta utra," jelasnya sambil mengingat-ingat. "Makanya waktu itu kubilang padamu Eir, bahwa mereka berniat mengajakmu kembali ke UD."

"Kalian gila ya?! Kenapa kalian membuang utra sebanyak itu demi merekrut diriku?! Bukankah harganya sudah setengah untuk pembelian item reinkarnasi? Kalian membuang kesempatan bereinkarnasi—"

"Kami tidak peduli lagi dengan itu."

Attia tersenyum. "Aku sudah berpamitan pada Martin untuk terakhir kalinya. Terima kasih, Eir, kau sudah membuatnya bahagia hanya dengan menceritakan tentangku padanya. Aku sangat senang."

"Kami tidak bisa membiarkanmu menghabiskan waktu di dunia yang sudah berhenti bergerak maju, Eir."

"Tim Keeper tidak lengkap tanpamu, Eir."

Aku membuang muka, sedikit blushing. "Apa-apaan, huh! Apa aku sehebat itu sampai dibutuhkan sebegitunya. Cih, cih! K-kalian puji pun aku takkan senang!"

"Hahaha! Mode tsundere nih?"

Pak Kematian tersenyum. "Syukurlah."

*

Malam tiba, pukul tujuh. Aku dan Ibu terlibat suasana serius di ruang makan. Aku sudah memutuskan untuk pulang.

T-tentu saja ini tidak ada hubungannya dengan Keeper! A-aku hanya memikirkan tentang Hunju dan Roas yang sedih tak berkesudahan seperti yang dibilang Attia.

"Ibu tahu kau bukan bagian dari dunia ini. Apa kau ingin kembali ke duniamu?"

"Iya... apa Ibu keberatan?"

Beliau tersenyum. "Justru ibu senang kau membuat pilihan yang bijak. Pergilah, Nak, ibu baik-baik saja di sini. Kau punya teman-teman di masa depan, kan?"

Mataku berkaca-kaca. "A-aku berjanji, aku akan kembali ke sini secepatnya! Akan kukumpulkan utra sebanyak mungkin agar aku bisa ke tempat ibu kapan pun aku mau. Jadi...! Ibu harus menungguku."

"Oke! Ibu akan menunggu Eir."

Tanganku terkepal. Tidak apa, Eir. Ini merupakan pilihan terbaik. Kehidupanku di dunia masa depan, bukan di sini.

"AKU! SANGAT SENANG BISA BERTEMU IBU LAGI! JANGAN LELAH MENUNGGUKU, IBU!"

"Hahaha! Ibu mengerti. Jangan menangis."

"Aku pasti... akan menemui ibu lagi."




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro