1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jeremy."

Pemilik nama mengabaikan panggilan itu, bahkan mengganti posisi kepalanya biar nyaman, menyambung tidur. Buaian alam mimpi mencegah talamus-nya bekerja. Ah, mimpi ini berakhir sia-sia jika dia bangun.

"Jeremy." Suara itu memanggil lagi, seolah tidak membiarkan si empu nama menikmati mimpi lebih lama.

Masih dia abai, terlampau larut di dunia mimpi. Sudah saatnya memasuki altar pernikahan dengan iringan permainan biola. Semua tamu kondangan memberikan tepuk tangan selamat untuknya. Satu dua melempar bunga. Bahkan teman-temannya juga ada di sana.

"WOI BANGUN!" Teriakan Aiden persis mengenai gendang telinga Jeremy membuatnya terlonjak kaget, jatuh dari kursi. Balon mimpi indahnya seketika pecah.

Jeremy bengong, mengumpulkan semua sukma yang melalang buana. "Kenapa sih, Aiden?" gumamnya menguap, menyeka sudut bibir.

Aiden berkacak pinggang. Dia sudah memanggilnya berkali-kali, namun Jeremy malah lanjut merem. Siapa yang tak geram coba. Apalagi kita membicarakan Aiden lho, si putri sultan tukang ngegas bucin-nya Watson. Ah, coret dua kata terakhir.

"Kamu ingin menginap, heh? Ini pukul tujuh malam, waktu pulang. Mamamu sudah menunggu di depan gerbang. Ayo cepat berdiri. Ini hari piketku membersihkan klub," sosor Aiden mengusir. Dia terganggu oleh kaki Jeremy yang terjuntai dan tak bisa membersihkan bagian bawah sofa. Terlebih, Aiden tak bisa membiarkan ibu-ibu menunggu lama di gerbang.

"Benarkah?" Jeremy mengintip lewat jendela. "Aduh! Padahal aku sudah besar, kenapa masih dijemput sih. Aku bisa pulang sendiri."

Tidak mau diomeli, Jeremy menyambar tas, memasang asal sepatu. Sebelum keluar dari ruangan, dia menoleh ke Aiden. "Kamu baik-baik saja kutinggal? Di mana Watson?"

"Pak Dolok dalam perjalanan kemari," kata Aiden mulai menyapu lantai, bersungut-sungut. "Dan sudah pulang dijemput Tantenya."

"Bagaimana dengan King?"

Oh, si King Krakal. Anak baru di klub detektif hasil suap Kepala Sekolah. 

"Dia masih di sekolah. Mungkin di ruang kerja Ayahnya." Aiden menjawab pendek.

"Kalau begitu aku pulang dulu. Sampai jumpa besok." Jeremy pamit, melambaikan tangan.

Aiden membalas dengan dehaman. Lanjut menyapu.

Tidak banyak kasus yang mereka kerjakan hari ini, hanya menolong hal-hal kecil. Tetapi, tak bisa Jeremy tampik tubuhnya kelelahan. Apa dia melakukan pekerjaan berat di luar kesadaran? Tidak ah. Dia ingat betul apa yang terjadi seharian ini.

Atau karena tidak ada Hellen penyemangatnya?

Lima bulan kedatangan King, lima bulan juga berlalu sejak kasus Penguntit Monokrom. Kekerapan Jeremy mengunjungi Hellen membuatnya di-blacklist dari rumah sakit. Masa dalam sehari dia membesuk tiga kali? Bikin para perawat jengkel dan lihatlah akibatnya, dia hanya diperbolehkan berkunjung sekali tiga minggu. Itu sih namanya bukan menjenguk lagi.

"Tolong aku ...." Di balik kegelapan, seseorang berjalan terseok mendekati Jeremy. Dari jejak langkahnya terdapat noda darah.

Jeremy berhenti melangkah, bukan karena mendengar lirihan lemah itu. Dia menatap ke depan. Sebutir salju turun ke permukaan bumi, menyusul ratusan temannya. Jeremy menengadah. Tidak disangka musim dingin telah datang.

"Kak Jerena suka salju." Jeremy bergumam pelan seraya menatap snowflake di telapak tangannya yang perlahan mencair. Berkaca-kaca murung.

"Tolong aku ... Seseorang tolong ...." Sosok itu mengangkat tangannya, seolah ingin mencapai Jeremy. Sayangnya keberadaannya tidak tampak karena ditutupi kegelapan dan hujan salju.

Menghela napas pendek, Jeremy pun beranjak meninggalkan lobi sekolah, menggigil kedinginan. Baru hari pertama menginjak bulan desember, cuacanya sudah sedingin ini. Klub Detektif Madoka akan makin susah mengatasi kasus, ditambah kondisi Watson yang tak memungkinkan.

Setibanya di gerbang, Mama Jeremy langsung menyelimutinya dengan jaket. "Kenapa kamu lama sekali sih? Mama sudah lumutan menunggumu."

Jeremy memberengut. "Kan sudah Jery bilang jangan jemput. Mama yang bersikeras." Andai ada Aiden di sisinya, tawa gadis itu pasti tersembur demi mendengar Jeremy memanggil dirinya 'Jeri'. Aduh, menggelikan.

"Habisnya Mama khawatir. Menurut ramalan cuaca, malam ini akan terjadi badai salju."

"Ya sudah, ayo pulang."

Bruk! Terdengar suara ambrukan kencang. Jeremy menoleh cepat. Tidak ada apa-apa di belakangnya. Apa dia salah dengar? Udara semakin dingin menjamah pori-pori. Mungkin buah yang jatuh. Madoka kan punya banyak pohon buah. Tapi masa sih ada pohon berbuah di musim dingin? Yah, kalau dia Watson, pasti dia langsung tahu.

"Kenapa melamun?"

Jeremy mengangkat bahu, masuk ke mobil.

-

Keesokannya, pagi-pagi yang dingin Klub Detektif Madoka terlibat diskusi serius minus Watson. Dia belum datang, mungkin telat.

"Tidak bisa begini. Kita harus mencari member cewek baru!" Aiden menggerebek meja. Absennya Hellen membuat Aiden satu-satunya cewek di klub tersebut. Ngomong-ngomong model rambutnya adalah Half-Up High Ponytail dan memakai ikat rambut bermotif snowflake.

"Memangnya kenapa?" Jeremy sok naif.

Aiden berakting bulukan, memasang tampang yang entahlah apa artinya. "A-aku sendirian bersama tiga laki-laki. Rasanya seperti ...."

"Maaf, aku hanya tertarik dengan karakter cewek di game." King mengangkat tangan, sibuk memencet tombol pada konsol game.

"Aku sih cuma tertarik dengan Hellen." Jeremy geleng-geleng prihatin. Aiden terlalu percaya diri. Memang dia pikir, karena dia satu-satunya cewek di sana, para cowok di klub akan terpesona 'gitu? Watson pun mungkin akan menjawab begini: Duniaku hanya Sherlock, tak ada yang lain.

Aiden mendengus masam, melempar mereka berdua dengan dokumen. "Hina!"

Terlebih, merujuk kasus-kasus besar yang mereka tangani berpotensi hidup-mati, murid-murid Madoka jadi takut bergabung. Kegiatan ekstrakurikuler macam apa yang membahayakan nyawa.

"Ah, bagaimana kalau kita rekrut Kon? Dia kan pernah jadi magang!" usul Jeremy.

"Dia takkan mau. Dia menolong kita untuk menyelamatkan adiknya, tak lebih. Lagian aku mencari member perempuan. Jangan tambah laki-laki lagi dong." Aiden menggeleng, memandang jam. "Aish! Kenapa Dan belum datang juga sih? Diskusi ini kurang kalau tidak ada Dan."

"Maklum lah, Den. Semalam kan badai salju. Mana tahu dia terjebak macet."

King berhenti mencet-mencet tombol. Hidungnya bergerak-gerak menghirup bau tak sedap membuat konsentrasi terganggu. "Apa kalian menciumnya? Ada yang kentut?!" tuduhnya tak kira-kira.

"Heh! Sembarangan. Mau ditonjok?"

"Tapi baunya mendadak pekat." King mengibas-ngibaskan tangan ke hidung, menghalau bau busuk itu. "Halah, jujur saja. Ada yang kentut di antara kita."

"Kamu belum mandi kali." Jeremy terkekeh.

"Enak saja. Kamu tahu siapa aku, kan? Kamar mandiku ada sebelas di rumah." Jangan lupakan sultan satu ini. Sama seperti Aiden, King juga berasal dari keluarga kaya raya.

Jeremy mendesah. Dasar orang kaya bobrok.

"King tidak bohong." Aiden berkata, berdiri dari kursi. Dia juga mencium bau menjijikkan itu. "Hmm, baunya sepertinya bau anyir. Pasti ada yang meninggalkan sisa makanan nih."

"Bukan aku." King dan Jeremy serempak menjawab. "Kami menganut buanglah sampah pada temannya."

Aiden mendelik tajam. "Tempatnya, dodol! Bisa-bisanya typo mulut. Ckckck."

Sementara itu, seorang gadis sampai di depan pintu klub detektif. Dia menepuk-nepuk butir salju yang menempel di jaketnya. Tak lupa mengiraikan rambut yang basah.

"Sepertinya asalnya dari belakang sofa itu deh." Aiden menunjuk. Aduh, itu kan tempat kesayangan Watson. "Mungkin bangkai kucing." Kalaupun iya, bagaimana ia masuk?

Perempuan berambut kepang itu berdeham, mengangguk. Perlahan tangannya mengarah ke daun pintu, hendak mengetuk.

Mereka bertiga mengintip apa yang ada di balik sofa. Spontan membelalakkan mata.

Seseorang datang menahan tangan gadis itu.

Jeremy memandang ngeri. King melotot mual. Aiden menutup mulut. Mereka bertiga menahan napas, menahan diri supaya tidak berteriak. Tampaknya ini lebih dari bangkai kucing.

"Watson Dan?" Gadis Kepang berkata.

Yang ada di balik sofa adalah seorang mayat wanita dengan tumpukan salju di sekujur tubuh.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro