2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Pastikan kamu selalu memakai syal dan mantel. Siang nanti temperaturnya meninggi. Jangan pernah melepaskan jaket, nanti kamu masuk angin. Paham?"

Watson mengangguk-angguk supaya Tantenya itu segera pergi. Aduh, kalau kepergok dianterin modelan rich auntie, bisa-bisa Watson kalut dikerumuni demi meminta nomor beliau. Kenapa pula beliau pakai mobil merah mencolok. Aish, cowok itu tak henti-hentinya mengeluh.

"Kalau begitu Tante pergi."

Watson mengangguk-angguk lagi, melambaikan tangan. Mobil merah melesat ke jalan raya. Hujan salju membuat murid-murid tak leluasa berjalan bebas di atas tumpukannya.

Berbalik hendak masuk ke gedung sekolah, Watson menoleh ke samping. Terdapat jejak tipis panjang berwarna merah yang disamarkan oleh salju. Runut itu memanjang seolah memaksa menyeret kaki. Kalau bukan Watson, takkan ada yang menyadari bercak merah tersebut karena persis ditutup salju putih. Pagi-pagi disambut hal beginian.

Mengikuti arahnya, Watson terdiam melihat seorang gadis remaja berdiri kelesah di depan klub detektif. Apa dia pendaftar lagi? Sebenarnya ada apa sih ini. Padahal mereka tidak membuka penerimaan anggota baru.

Tetapi tunggu deh, pakaiannya ganjil. Jauh dari definisi 'Gaya Amerika'. Sebaliknya, terlihat sopan. Rok lipit sekaki, rambut kepang, kacamata, dan kardigan kuning gading. Apa dia dari desa? Mencurigakan.

Begitu dia mau memutar gerendel pintu, sherlock pemurung itu mencegat gerakannya.

"Watson Dan?"

Membuka mulut, Watson meringis sesudahnya. Dia sejenak lupa bahwa sekarang dia tak dapat berbicara. Terpaksa memakai bahasa tubuh. 'Kamu siapa?' Watson mendesah melihat gadis itu kebingungan. Mungkin dia tak mengerti bahasa isyarat. Terpaksa (lagi) Watson membuka buku ajaib—ah, buku komunikasi maksudnya.

"A-aku ingin bertemu teman lama." Dia tergagap membalas, menggerak-gerakkan tangan. "Kami berjanji akan bertemu musim dingin tahun ini."

Watson mengerjap. 'Kamu mengerti isyarat?'

"I-iya. Aku mempelajarinya."

'Apa kamu dari luar negara? Aksenmu tidak fasih. Idiommu berantakan.' Tatapan menyelidik tak Watson hentikan barang sedetik.

Dia mengangguk. "Aku dari—"

Howek! Howek! Suara muntah seseorang menginterupsi "percakapan" mereka berdua. Didengar dari intonasinya, itu suara King. Masih pagi firasat Watson tak enak. Dia membuka pintu, cengo melihat Aiden memeluk Jeremy sambil menunjuk-nunjuk belakang sofa, mundur lima langkah.

"Kamu berat, Aiden! Enyah dariku, Tuan Putri Gemuk!" Kesampingkan soal bau, tangan Jeremy rasanya mau patah demi menggendong Aiden yang tiba-tiba melompat ke arahnya.

Plak! Aiden menampar tepat mengenai wajah Jeremy. "Berani sekali kamu mengatakanku gemuk! Setelah ini kamu habis denganku!"

Pemandangan macam apa ini? Mereka bertiga kerasukan apa? Watson mengusap wajah, meminta pertolongan gadis di sebelahnya.

"Jangan ada yang berteriak!"

Aiden dan Jeremy menoleh. King keluar dari toilet, tampak lemas. Rentetan pertanyaan segera mengisi kepala. Siapa gadis ini? Apa yang dia lakukan di klub detektif? Kenapa Watson berdiri di belakangnya? Kenapa dia menyuruh mereka tak berteriak? Dan berbagai pertanyaan lainnya.

Setelah menurunkan Aiden, Jeremy memperhatikan wajah gadis itu baik-baik, spontan tersenyum. "Dinda?"

Dia balas tersenyum. "Jeri!"

"Astaga, lama tak berjumpa." Jeremy langsung memeluk gadis yang dipanggilnya Dinda. "Kenapa tidak bilang kamu akan ke Moufrobi?"

"Kamu lupa kita sudah janji ketemuan di bulan desember? Dasar pikun."

Jeremy cengengesan. "Maklumin dong. Banyak kasus yang harus diselesaikan. Kamu tahu aku detektif, 'kan."

"Apa ini." Aiden bergantian menatap mereka. "Kalian saling kenal?"

"Biar kuperkenalkan temanku, namanya Dinda Prill Serafina dari Indonesia. Kami bertemu lima tahun lalu ketika orangtuaku dinas di sana." Jeremy berbisik pada Watson sambil menyeringai. "Dia ini informanku lho."

Kamu ingin pamer juga memiliki seorang informan? Kekanakan sekali. Demikian maksud dengusan Watson. Ah, sudahlah. Dia menatap King tersandar lemas di depan toilet. 'Apa yang terjadi? Aku tak yakin cowok itu duduk di situ tanpa sebab.'

"Tunggu, sejak kapan kamu mulai memakai bahasa isyarat, heh?" Jeremy bertanya.

Apa itu penting sekarang? Ayolah, Watson sudah bilang berkomunikasi pakai kertas itu sulit dan melelahkan. Toh, Watson belum sepenuhnya mempelajari semua bahasa tubuh. Dia baru menguasai yang dasar-dasarnya saja.

"Sepertinya Watson tidak ingin menjawabnya," kata Dinda membantu. Untung dia peka. "Dia lebih ingin tahu apa yang terjadi di sini."

Baru lah Aiden dan Jeremy kembali ke situasi. Mereka menunjuk sofa dengan ngeri, mengumpet ke belakang punggung Watson. "A-ada seseorang di sana, Watson! M-mayat. Dia dilumuri sa-salju."

Mayat? Manik mata Watson mengarah ke TKP. Dia menyuruh Dinda menutup pintu agar tidak ada yang melihat. Ya ampun, semuanya mental kerupuk. Detektif kan kerap bertemu mayat, harusnya mereka membiasakan diri terhadap pekerjaan ini.

Watson mengintip ke celah antara sofa dan dinding.

"Ba-bagaimana, Dan? Kami tidak tahu apa pun, sumpah! Kami lagi berembuk tentang mencari anggota perempuan baru, lalu tiba-tiba King mencium bau busuk. Asalnya dari mayat itu."

Watson menghela napas panjang, menatap Dinda supaya membantunya menerjemahkan gerakan tangannya. Dia seperti dipermainkan.

"Eh?" Dinda mengerjap, menatap Jeremy bingung. "Watson bilang, tidak ada mayat."

Apa? Aiden dan Jeremy terdiam.

King keluar dari toilet, misuh-misuh. "Bagaimana bisa tidak ada mayat, heh? Kami melihatnya sendiri! Seorang wanita berdarah-darah dengan tumpukan salju."

"Kalian bisa memeriksanya sendiri." Dinda berkata, sukarela menjadi translator dadakan.

Mereka bertiga berbarengan melihatnya. Watson benar. Tidak ada apa-apa di sana bahkan sebutir salju. Bau anyir juga menghilang. Mayat itu raib, lenyap dalam hitungan menit.

"Mustahil! Sejelas itu kami melihatnya! Bagaimana mungkin menghilang? Pasti terjadi sesuatu yang menyebabkan mayatnya hilang."

Watson pamit dari sana. Dia ingin mengisi perut di kantin. Watson belum sempat sarapan sebab takut terjebak macet berjam-jam sampai siang.

"Tunggu, Dan! Kamu tak bisa pergi begitu saja! Kita harus mencari mayatnya!"

Klap! Pintu klub tertutup.

Watson terdiam di depan pintu, menghela napas singkat. Tampaknya sesuatu telah terjadi di Madoka. Apa yang dia inginkan dari klub detektif? batinnya memandang rimbun pohon cemara di halaman sekolah.

Di dalam, King masih ngotot mencari kelenyapan mayat wanita. Dia mengusap-usap lantai, menggeledah sofa, mencari sana-sini, memeriksa dinding sampai loteng.

"Apa yang kamu lakukan, King?"

"Tidakkah kalian merasa ganjil? Dipikirkan berulang kali, memang tak masuk akal mayat itu menghilang tak cukup lima menit. Sepertinya ada mekanisme tersembunyi di ruangan ini hingga mayatnya jadi tersuruk."

"Tahu ah. Aku tak peduli!" Aiden mendengus masam. Dia kesal terkesan menipu Watson.

Jeremy menoleh ke Dinda, ekspresi serius. "Ngomong-ngomong, bagaimana pencarianmu? Apa ada kemajuan tentang kakakku?"

"Aku rasa tidak bagus menceritakannya di sini." Dinda tersenyum simpul.

Jeremy mengangguk. Mereka butuh ruang untuk berdua membicarakan masalah privasi, tapi tidak sekarang karena ada hal lain yang mendesak.

"Ah, aku gemas kalau begini." King menyerah. Napasnya memburu demi mencari mayat itu di mana-mana namun tak kunjung ketemu. "Aku akan melapor pada Ayah!"

Aiden menjambak rambut King sebelum dia berlari keluar. "Jangan memperumit keadaan deh. Akreditasi klub detektif bisa dipertanyakan kalau-kalau ditemukan mayat, mana mayatnya menghilang. Lebih baik tidak ada yang tahu. Sepertinya Dan juga memikirkan hal sama."

"Lalu sekarang kita ngapain? Masa kalian mau membiarkan mayatnya?"

"Kita akan mencarinya," ujar Dinda mantap.

Aiden dan King menatapnya ragu.

"Begini-begini aku seorang narasumber ilegal. Mencari adalah keahlianku."


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro