1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Wahai matematika, bisakah Engkau berhenti menyuruhku mencari X dan Y? Aku muak dengan petak umpet yang mereka lakukan. Aku muak dengan drama yang mereka perbuat. Seolah tidak ada yang lain di dunia ini. Kenapa Engkau selalu dan selalu memintaku mencari mereka? Ayo dong move on. Masa tidak bisa."

Kasihan sekali seorang King Krakal. Soal diajak bicara, tapi dikacangi. Rumus diajak kencan, tapi ditolak duluan. Apalagi kurangnya King? Sudah tampan, kaya lagi. Cuman otak yang rada miring. Tapi itu bukan masalah besar.

Si Raja Abal-abal itu menutup mulut. "Jangan-jangan X dan Y tidak mau bertemu denganku karena aku bau? Padahal aku mandi sepuluh kali sehari. Aku selalu pakai sabun dan sampo yang mahal kok."

Plak! Sebuah buku paket tebal menepuk kepala King membuatnya melotot. "Apa sih?!" serunya kesal sembari mengusap-usap hasil jotosan yang baru saja melayang.

"Suaramu kekencangan."

King bersedekap layaknya pelanggan protes akan diskon belanjanya yang kedaluarsa. "Pa, bukankah King biasanya begini? Suara King cempreng sejak lahir!"

Plak! Tepukan kedua mendarat. Chalawan menatap King tajam. Tidak ada baik-baiknya. "Panggil saya Pak atau saya usir kamu dari kelas." Beliau memang mengajar mata pelajaran matematika.

"Ayo usir kalau berani." King menantang.

Satu menit kemudian.

"Lho King, kenapa kamu di luar?" Murid-murid yang lalu lalang di koridor menatap King bingung. Kenapa dia ada di luar kelas selagi ayahnya tengah mengajar?

King tersenyum dengan ekspresi terilhami. "Aku tidak berhasil menemukan X dan Y. Aku tidak berhasil menyatukan mereka dengan limit trigonometri. Aku gagal."

"Oh sakit otakmu kambuh, ya? Pantas saja ayahmu jenuh dan mengusirmu. Kasihan aku sama Pak Chalawan."

"Apa beda fitnes dengan fitnah? Fitnes ke GYM, kalau fitnah mah kejam." King dengan super berlebihan mengusap air mata buaya yang mengalir dari pelupuknya karena tetesan obat mata. "Kalian semua kejam samaku! Aku pergi!" rajuknya meninggalkan kelas.

Murid tersebut geleng-geleng kepala. "Ada ya makhluk gila macam dia. Meresahkan." Mungkin satu sekolah sudah tahu akan ketidakwarasan King tapi mereka memaklumi sebab King anak kepsek.

"Jangan begitu dong," celetuk temannya.

"Why? Aku hanya mengatakan fakta."

Temannya memasang ekspresi yang sulit ditafsirkan. "Pokoknya jangan. Kasihan. Begitu-begitu dia korban."

"Korban? Maksudmu anggota klub detektif Madoka? Iya sih. Kasihan mereka jadi korban kegilaan King. Mereka pasti frustasi meladeni King setiap hari. Anak itu aku curiga mengonsumsi pil kesablengan."

"Aku serius. King itu korban."

"Ya korban apa dulu. Jangan bicara setengah-setengah!"

"Lho, kamu belum tahu rumor itu? King korban—"

"Apa yang kalian lakukan di sini?" Chalawan menginterupsi obrolan. Mereka berdua langsung ciut nyalinya. Apalagi melihat wajah sangar kepala sekolah. "Ini jam pelajaran. Kembali ke kelas kalian sekarang."

"B-baik, Pak!"

Memastikan punggung mereka menghilang, Chalawan menghela napas gusar. Entahlah... Siapa yang menyebar rumor sialan itu. Dia pikir sudah sepenuhnya menutup rahasia anaknya, tapi tetap saja jebol. Apakah benar salah menyekolahkan King di sana?

Chalawan terpaksa meminta bantuan dewan siswa. Padahal dia paling malas bertatap muka dengan Apol.

*

King tidak pergi ke klub detektif, melainkan klub lamanya. Kalau tidak salah hari ini suratnya keluar. Surat permohonan berhenti dari klub melukis. Cowok itu ingin fokus pada kegiatan detektif.

"Miss Amberly berada di klub drama." Begitulah kata guru.

Dan di sinilah King sekarang, berdiri di depan pintu klub drama yang sibuk latihan. Dia tersenyum melihat kegiatan mereka, sepertinya mereka memainkan drama kerajaan.

Tapi senyum King memudar melihat salah satu pemain menggosok-gosokkan kedua telapak tangan, berlutut, memohon ampun pada Sang Raja yang memberi hukuman pancung alias hukuman mati.

"Saya mohon, Raja... Berikan saya kesempatan sekali lagi... Biarkan saya hidup dan meninggalkan istana..."

Pose sama dengan kalimat berbeda. Otak King memutar cuplikan masa lalu yang sangat ingin dia lupakan. Sesuatu yang ingin dia lenyapkan dari ingatannya.

"Kumohon... Bebaskan kami... Biarkan kami pergi..."

Napas King memburu. Keringat dingin jatuh dari pelipis. Lengannya bergetar seketika. Mual dan pusing bersatu. Dia akan pingsan jika saja seseorang tak menegurnya.

"Woi, King! Malah melamun!" Aiden menepuk pundak pemilik nama, berkacak jengkel. Dia sudah memanggil berkali-kali tapi tidak digubris. Jelas lah sebal.

"O-oh, Buk Aiden toh. Ada apa?" balas King kagok.

"Ayahmu menyuruhmu ke ruang kepsek."

King bersedekap licik. "Apa deh tua satu itu? Setelah mengusirku dari kelas, kini hendak membujukku. Apa pun rayuannya aku takkan pergi—ADUH!" pekiknya sebab Aiden memelintir telinganya, menyeret secara paksa. "Sakit! Sakit! Lepasin dong, Buk Aiden!"

"Aku tak ingin buang waktu. Tahukah kamu Ayahmu itu datang ketika aku teleponan sama Dan? Aku harus menyerahkanmu ke Pak Chalawan."

"Tunggu, tunggu! Ini bahkan belum cukup dua puluh menit dia menendangku dari kelas!!!"

Kembali berhadapan dengan Sang Ayah.

King menggelembung kesal. "Jadi, kenapa? Menyesal sudah mengusir King dengan kejam?" cemoohnya.

Kepala sekolah Madoka itu mengusap surainya, menarik napas panjang. "Aku takkan melakukan itu jika kamu bersikap seperti pelajar pada umumnya."

"Meh!" King bersungut-sungut.

"Apa kamu menyembunyikan sesuatu di kamarmu?"

Akhirnya tiba saatnya percakapan serius. King terdiam mendengarnya. Merujuk dia sering tidur di luar, King hanya pulang sesekali ke rumah dan mengunci kamarnya.

"Kalian menjebol kamarku?" King sensitif.

"Kamu tahu bagaimana mereka," balas Chalawan anteng. "Jadi apa yang kamu sembunyikan? Mereka bilang lemarimu tak bisa dibuka. Sepertinya kamu memberi pengaman."

"Tidak ada hubungannya sama Papa. Sudah? Itu saja, kan? Kalau begitu King pergi dulu." Dia harus ke rumah pulang sekolah nanti dan membuang semua catatan-catatan yang dia letakkan di lemari.

"Sebentar!" Chalawan menahan langkah King seakan tahu apa yang cowok itu pikirkan. "Kamu tidak berpikir akan pergi ke sana, kan? Jika iya, kamu harus pulang denganku. Tidak baik melepasmu sendiri ke rumah itu."

"Tidak apa, Pa. King bisa jaga diri kok."

*

Kediaman Procyon.

"Permisi, numpang singgah." King menyelonong masuk setelah menyerobot pengawal-pengawal yang berbaris di halaman rumah mewah itu.

"Pantas saja aku mencium bau kotoran. Ternyata ada hama yang datang," celetuk Paman Pertama.

"Aku tersanjung mendengarnya nih—" Vas yang kelihatannya baru dibeli, akan pecah berderai jika King tak menangkapnya. Dia mendesah lega. "Fiuh! Safe!"

"Pergi sana. Kehadiranmu hanya mengotori kediaman ini." Adalah paman kedua yang melempar barusan. Tampaknya beliau mantan atlet baseball deh gemar sekali melempar.

King tertawa ala khasnya, meletakkan benda itu ke meja terdekat. Cowok itu beranjak ke lantai dua. "Tenang saja. Aku juga tak mau kok di sini. Cuman mengambil barang-barangku yang tertinggal. Siapa juga mau menginjakkan kaki suciku ke tempat yang hina."

"Kamu sama seperti Ayahmu. Sama-sama parasit."

Deg! King berhenti melangkah. Dia selalu kalem dihina, tapi tidak tahan kalau Chalawan dibawa-bawa.

Raja Abal-abal itu melongok, menatap Si Paman Pertama dan Kedua dengan senyum meremehkan. "Kenapa tidak tanyakan pada adik kalian? Salahnya menikahi Ayahku."

Mereka berdua sukses naik pitam, bangkit dari kursi, melesat mengejar King. "KAMU HABIS HARI INI, KRAKAL!"

"Awokawok!" King melambaikan tangan, masuk ke kamar dan mengunci rapat-rapat. Sekalian King mendorong meja belajar yang berat untuk menahan pintu.

Brak—! King terlonjak mendengar suara keras itu. "Hahaha, mereka niat sekali menghampiriku."

"BUKA PINTU INI JIKA KAMU MASIH INGIN HIDUP!"

King menulikan telinga, mengabaikan teriakan dan gedoran pintu. Mereka takkan bisa membukanya. Kalau nekat merusak (mendobrak misalnya), siap-siap dimarahi Kakek. Hehehe, itu pasti seru.

King duduk di kursi, menatap cermin. Dia melepaskan softlens yang menempel di retinanya. "Ya ampun! Sudah bertahun-tahun memakai ini, tetap saja tak terbiasa. Memang, tidak ada yang sebaik kacamata."

King mengeluarkan kacamata kesayangannya di laci, memasangnya dengan pede. "Hmm-mm! Ini baru bagus... Oh! Satu lagi! Poni ini bikin gerah." Dia mengambil karet untuk mengikat poninya yang berantakan. "Yosh! Selesai!"

Klek! King membuka lemari. Ada banyak kertas catatan tentang Paul. Pencarian ini masih belum berakhir. King takkan menyerah sampai menemukan Paul, setidaknya keterangan di mana dia saat ini.

King memurukkan semua catatan ke dalam tas. Tidak ada yang boleh tahu King mencari Paul di kediaman itu.

Dulu, karena sering dipukuli oleh anggota keluarga Procyon, Chalawan membuatkan tempat rahasia untuk King kabur. Tempat itu masih ada dan tak diketahui oleh siapa pun. Makanya King berani datang tanpa Chalawan.

"Lho? Itu kan teman-teman?" serunya melihat Aiden dan yang lain baru pulang dari sekolah.

Hendak menyapa, namun mereka melewati King begitu saja. Ah... Benar juga. King kan dalam wujud asli. Sementara King yang mereka kenal tak berpenampilan culun seperti itu. Apa sih yang dia pikirkan. King terkekeh miris dalam hati.

Yah, seharusnya itu yang terjadi. Tidak sampai salah satu dari anggota Klub Detektif Madoka menoleh.

"Hei, King!" panggilnya.

Pemilik nama terkesiap. Tidak mungkin.

"Kenapa kamu nunduk begitu jalannya? Kalau sudah pulang, beritahu di Line dong. Mana tahu kita dapat kasus."

Jeremy Bari yang menyadarinya. []








Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro