2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Banyak yang minta ini dilanjut ya. Padahal saya ngaret banget.

***Happy Reading***

Apa? Itu King? Dilihat dari mana pun jelas dia orang yang amat berbeda. Tidak ada tanda-tanda bahwa pria itu adalah King Krakal. Terlebih, bagaimana Jeremy bisa menyadarinya?

"Kenapa kamu tak menyapa kami, King? Penampilan barumu bikin kami meleng. Kirain siapa tadi kan. Apa kamu ikut semacam crossdressing?" Aiden berdeham, melipat tangan ke dada. Sebuah pose bersiap untuk mengomel. Gadis itu kecewa dengan diri sendiri karena tidak mengenali teman klubnya.

"Kamu ternyata suka tampil begini di luar sekolah, ya?" Saho menceletuk.

King sekarang tidak dalam mode penyamarannya, tetapi kenapa mereka bertiga bersikap biasa padanya? Respon mereka normal seolah sedang berkomunikasi dengan 'topeng' King selama ini. Bagaimana bisa? Apa mereka tidak kaget atau semacam itu?

"Tapi Jeremy hebat juga. Bagaimana kamu mengetahuinya?" Hanya dia yang sadar itu King, sementara lainnya tidak.

"Entahlah." Jeremy tahu begitu saja.

Tidak mau menunjukkan ada sedikit 'rasa senang' di mimik wajahnya, King cepat-cepat cengengesan seperti orang bodoh. Hal yang biasa dia lakukan ketika memakai topengnya. "Kalian mau ke mana? Berombongan begini."

"Ke toko pakaian," kata Aiden.

"Eh, ngapain?" Oh ayolah, Aiden dan Jeremy itu terlalu sultan lho. Tidak mungkin mereka kekurangan baju. Malahan sebaliknya. Terlampau banyak hingga disumbangkan.

"Woi, woi, King. Kamu tak lupa kan sekarang musim panas? Tentu saja kami perlu baju renang baru. Apalagi kita akan kedatangan tamu besok." Aiden berkedip-kedip, memberi kode pada Jeremy yang sayangnya gagal dipahami. Cowok itu ber-hah kikuk.

Tamu? King mengerjap.

"Ada tamu, ya? Klien?" Saho bingung.

"Yah, kalian juga tahu besok." Selain hobi menggebrak meja, menghiasi rambut, atau memeluk lengan Watson, kebiasaan Aiden lainnya adalah jago menghindar untuk hal beginian supaya dia tidak repot-repot menjelaskan. "Kalau kamu senggang, ayo ikut kami."

"Boleh." King juga tidak sedang ingin ke warnet atau arkade. Teman seperjuangannya ada bimbel hari ini.  "Buk Aiden yang traktir tapi."

"Heh, kamu kaya."

"Buk Aiden lebih kaya."

"Sudahlah, kamu tinggal saja."

King terkekeh. "Aku hanya berjanda. Buk Aiden baperan nih kayak anak gadis."

"Bercanda, King! Bukan berjanda! Terlebih Aiden itu kan cewek tulen!" Jeremy menepuk dahi pasrah, tidak tahu mau bagaimana untuk meladeni tendensi King yang suka melawak garing.

Sebelum aksi pertumbukan meletus, Saho segera melerai bilang agar mereka secepatnya pergi sebelum toko pakaian ramai. Tidak hanya mereka saja yang hendak membeli baju renang.

Seperti katanya, King akhirnya mengikuti rombongan Aiden. Lagi pula dia sudah mengambil apa yang dia perlukan. Chalawan pun baru pulang nanti sore. Dia tak mungkin menghabiskan waktu sendirian di rumah.

Mereka memasuki sebuah toko baju luks berspanduk Geavinel. Ini pasti kaliber ningrat gadis landak bernama Aiden hingga dia menemukan toko yang tepat. Bahkan Saho langsung tahu tempat itu hanya dikunjungi orang elit saja.

"Wah, ternyata anak muda cantik dan tampan! Ada yang bisa saya bantu?"

Aiden menyikut pinggang Jeremy, berbisik, "Kamu harus belikan satu untuk Hellen, Jer! Dia kan sudah pulang dari rumah sakit jiwa. Masa kamu tidak memberinya hadiah? Jadilah gentle."

Alih-alih memikirkan ucapannya, Jeremy justru mengusap pinggangnya. Padahal cuman sikutan, tapi betapa kerasnya.

"Aiden... Kalau kamu mau beli bikini, pilihlah yang modis dan natural. Jangan beli yang terlalu terbuka. Watson tidak begitu suka dengan perempuan nan memamerkan lekuk tubuhnya."

Aiden menolehkan kepala ke Saho. "Kamu kok tahu banyak tentang Dan?" Pasalnya cowok itu member baru yang boleh jadi belum pernah bertemu ketua klub. Apa jangan-jangan mereka pernah berinteraksi di luar sepengetahuan? Mungkin sekadar berpapasan.

"Hahaha..." Saho terkekeh kikuk.

Selagi Aiden, Jeremy, dan Saho mengobrol, King memisahkan diri. Terus terang, dia tak terlalu memikirkan liburan musim panas. Dia ikut hanya untuk berformalitas karena Aiden mengajaknya dengan ramah.

Terlebih, King paling tidak nyaman dengan pakaian seperti swimsuit. Dia menahannya sejak masuk ke toko untuk menghormati ajakan Aiden. Mudah-mudahan ini tak memakan waktu.

King menatap salah satu pakaian renang yang tampak etis dan feminim, menyentuh rendanya yang terjuntai dari manekin. Wanita itu suka warna biru, batinnya memasang ekspresi datar.

Hanya beberapa detik ketertarikannya bertahan. Setelah itu King hendak kembali ke rombongannya. Dia terlalu jauh dan lama berpisah.

Bruk! Seseorang yang terburu-buru menabrak bahu King.

"Aku minta maaf, Anak Muda."

Ng? King mengerjap. Bahasa Jerman? Seperti Moufrobi sesuatu sekali ya sampai merebut atensi para wisatawan dari luar negeri.

King membalasnya dengan bahasa yang serupa. Agaknya aksen King sudah tak terlalu fasih mengingat betapa lamanya dia meninggalkan Berlin. Apalagi dia tengah mempelajari bahasa baru.

Klak! Barang-barang belanjaan orang itu jatuh dari genggaman. Kedua jemarinya bergetar hebat, menutup mulut. Dua bola matanya berkaca-kaca.

"King Krakal?"

Deg! Tubuh King seakan dililit ular berbahaya yang mau menancapkan taring dan meninggalkan bisanya untuk membunuh King dari dalam. Adrenalin terpacu. Jantung yang berdetak normal seketika meningkat tinggi. Aritmia.

Suara itu adalah suara yang sangat ingin King lupakan dari hidupnya. Dia sampai overdosis meminum obat agar tidak bermimpi buruk lagi. Chalawan susah payah mencarikannya psikolog untuk menghapus bayangan laknat itu.

Dia hanya menyebut namanya, dua kata, namun suaranya yang menjejak sangat dalam di ingatan King telah terukir abadi sehingga semua emosi yang habis-habisan King kunci seketika lepas. Perasaan marah, takut, benci tidak lagi mendayu melainkan mengalir deras ke jaringan otaknya memicu memori kelam.

"K-kenapa... kamu ada di sini..." King terbata, melangkah mundur, tak sudi berdekatan dengan wanita itu.

"King Krakal... KING KRAKAL! Tahukah betapa putus asanya aku mencarimu?! Harusnya aku tahu kamu bersembunyi di sini, tapi aku terus menepis gagasan tersebut karena tak mungkin kamu tinggal di kota hina ini. Hahaha! Jadi kamu di Moufrobi sepanjang tahun?!"

Ini lebih dari mimpi buruk, melainkan monster siksaan. Perasaan yang King rasakan pada malam itu kembali terulang. Chalawan... Dia butuh ayahnya. King harus pergi ke Chalawan sebelum pikirannya menjadi gila dan rusak.

Tapi kenapa kakinya tidak mau bergerak? Kenapa kaki-kakinya justru bersimpuh lemah tak berdaya seolah kehilangan fungsi untuk berjalan?

"Nah, King bayiku yang manis, ini sungguh reuni mengharukan. Ada banyak yang harus kita bicarakan. Jadi," Dia mengangkat tangan kanannya, menyeringai culas. "Ikutlah denganku."

Kata sama seperti yang dia lontarkan 10 tahun lalu. Mendekati King yang menunggu Chalawan, menawarkan tumpangan dengan senyum malaikat dan kalimat manisnya, lantas membawa King ke tempat antah berantah.

"Jangan sentuh aku... Kumohon..."

Grep! Jeremy datang menahan lengan wanita itu, menatap tajam. "Apa yang mau Anda lakukan pada teman kami?"

Bagaimana tidak? Bingung ke mana King pergi, Jeremy menyusuri toko dan melihat wanita itu seperti sedang mengintimidasi King. Dia menunjukkan gelagat yang mencurigakan.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Saho.

King tidak menjawab. Dia tertatih berdiri lantas melarikan diri dari sana tanpa mempedulikan seruan teman-temannya yang khawatir. Rasanya berlama-lama di situ hanya menambah pusing yang mendera kepala.

Aiden diam saja, menatap wanita itu dengan tatapan tak bersahabat.

-

Esoknya, King memaksakan diri untuk sekolah. Menganggap tidak ada yang terjadi di hari kemarin. Dia tak mau membuat cemas siapa pun karena bukan itu tujuannya membuat 'topeng'.

"King Krakal, apa kamu mendengar penjelasan saya dari tadi?"

"Maaf," sahut King lesu.

Tentu hal ini mengganggu konsentrasi Chalawan yang mengajar. Tidak biasa-biasanya dia bersikap seperti itu. Sejujurnya, tidak mudah membagi peran ayah dan guru dalam waktu sama.

"Kamu, datanglah ke ruangan saya setelah jam istirahat."

King mengangguk saja.

Empat jam kemudian, King menuruti perintah Chalawan untuk datang ke kantor kepala sekolah. Sejak pagi dia hanya menundukkan kepala seakan ada karakter fiksi pujaannya di lantai sana.

"Ada apa denganmu? Kemarin kamu terlihat tidak sehat. Apa pamanmu mencari gara-gara lagi?"

King diam tak berkomentar.

"Haa, inilah mengapa aku tidak mau melepasmu sendirian ke kediaman itu. Kamu bertingkah seolah angin lalu, namun kamu memasukkan kata-kata menyakitkan itu ke dalam hati."

"Aku baik-baik saja, Pa. Aku hanya sedikit lelah dengan kegiatan klub."

Chalawan menoleh. "Kamu tak perlu berpura-pura, King. Aku berkali-kali bilang jangan bersikap seperti Paul di depanku. Kamu bukan dia. King putraku adalah anak manja yang cengeng."

"Aku sungguh tidak apa-apa, Pa..."

"King Krakal! Aku muak dengan kamu yang terobsesi merubah diri menjadi kembaranmu. Apa kamu dia, hah? Tidak ada segelintir pun kepribadianmu dan Paul yang mirip. Aku lelah menghadapi teatrikal yang kamu tunjukkan. Entah apa gunanya kamu melakukan itu. Apa kamu mendapat profit atau hadiah menggunakan penampilan Paul? Tidak ada, King. Kalian dua orang berbeda. Jadi tolong berbicaralah agar ayahmu ini tahu apa yang membuat putranya begitu gundah dari semalam."

"Dia kembali." King mengatakannya.

Chalawan tersentak. "Siapa?"

"Wanita itu... Dia kembali. Aku bertemu dengannya kemarin di toko baju. Katanya dia mencari-cariku, Pa."

Tidak mungkin! Bukankah dia sudah dipenjara di Berlin? Bagaimana wanita itu bisa lepas? Apa dia bebas bersyarat? Tapi ini belum 20 tahun semenjak insiden di rumah Kinderen.

Sebenarnya apa yang terjadi?

Chalawan menatap King yang sontak gemetaran dari atas sampai bawah. Pantas dia terpukul. Pertemuan kemarin pasti sangat menyiksa hatinya.

"Tidak apa-apa." Chalawan merengkuh tubuh King. Dia dapat merasakan betapa terguncangnya mental putranya itu. "Semuanya akan baik-baik saja. Biar aku yang mengurus masalah ini. Takkan kubiarkan dia menyentuhmu lagi."

Air mata King tak terbendung lagi. Dia menangis terisak di pelukan ayahnya. Chalawan tersenyum. "Nah, ini baru putraku. Kamu terlalu lama menjadi Paul sehingga lupa siapa dirimu, Nak."

"Aku takut, Pa... Sangat susah membunuh kenangan menyakitkan itu."

"Iya, aku tahu. Itu adalah hari-hari terberatmu selama hidup. Kali ini aku akan melindungimu dengan benar."

Selang beberapa menit menunggu jawaban, Chalawan terkekeh pelan. Si King malah terlelap. Dia pasti tidak bisa tidur nyenyak semalam.

Memindahkannya ke sofa, Chalawan beralih mengeluarkan ponsel, menghubungi kontak seseorang. Panggilan itu terhubung dengan cepat.

"Beaufrot, aku butuh bantuan. Bisakah kamu menyediakan satu apartemen?" []






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro