3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Pak Ketua? Violet? Bukankah kalian bilang ingin pergi sebentar ke New York untuk berlibur? Jangan-jangan tamu yang dibilang Buk Aiden lusa lalu..."

"Tamu? Aku memang sudah pulang."

King bersitatap dengan Hellen. Bukankah sherlock pemurung itu sendiri yang bilang ingin ke New York satu dua hari untuk mengurus sesuatu? Kenapa dia tampak tidak terima begitu?

"Aku berubah pikiran," katanya seolah bisa membaca mimik wajah mereka berdua. "Sebentar lagi sudah mau musim panas. Masa aku terjebak di New York, melarikan diri dari sekelompok mafia. Tidak etis sama sekali."

"Wah! Kamu memang pintar berdalih ya, Watson. Cobalah menjadi artis."

"Aku yakin aku sudah bilang padamu, Bari, kalau aku akan menjadi jaksa. Profesi artis tidak cocok denganku."

"Iya lah. Hidupmu super serius."

Watson duduk di samping Aiden. "Apa mereka membuat ulah?" Maksudnya adalah murid pertukaran Alteia yang sudah hari ke-4 berada di Madoka.

"Sejauh ini masih aman. Karena kamu memberi cuti, Kapela pergi liburan musim panas bersama keluarganya."

"Anak itu... Bahkan liburannya belum benar-benar dimulai."

"Tidak apa kan, Pak Ketua?" King menyengir, duduk manis di sebelah Watson, bersikap lemah lembut.

"Apa Aiden mengatakan tidak padamu?"

"Ya?" King mengerjap.

"Di antara semua kursi di sini, kamu memilih duduk di sampingku. Kamu juga bersikap lebih ramah daripada yang biasanya. Kamu pasti berselisih dengan Aiden dan mendekatiku untuk memperlihatkan padanya bahwa kita cukup dekat sehingga aku mau-mau saja menyetujui keinginanmu. Ini disebut permainan kekuasaan. Kamu ingin Aiden berpikir aku memihakmu."

Jeremy melongo. Hellen hampir menumpahkan air panas. Aiden dan King saling tatap. Mulut mereka ternganga.

"Wah, daebak. Aku benar-benar takjub, Pak Ketua. Kamu peramal? Kenapa kamu bisa menebak begitu akurat?"

"Katakan saja." Watson bersedekap.

"Jadi begini, Dan. Kami sedang merencanakan hendak ke mana untuk liburan musim panas tahun ini dan memutuskan akan pergi ke Jerman. Tapi King tidak setuju dan memilih Thailand."

"Sudah kubilang Buk Aiden, lautan di Thailand itu sangat jernih dan biru. Nuansa yang sesuai untuk liburan musim panas. Entah apa yang bisa didapat dari Berlin. Aih, tak cocok."

Apaan? Watson menghela napas. Kirain mereka memperdebatkan hal penting, ternyata cuman masalah liburan.

Membiarkan dua sejoli itu adu mulut, Watson menikmati siraman mentari dari sela-sela daun pohon sakura, berbaring santai di halaman rumput. Kelereng biru langit itu menampilkan bayangan pohon.

Seseorang berdiri di depan Watson. Adalah Saho Shepherd. Surai pinknya menyatu dengan warna daun pohon.

"Warna rambutmu keren!"

Deg! Watson langsung beranjak bangkit, menatap Saho yang ingin menyapanya.

"H-halo, Watson. Ini kali pertama kita bertemu... Ah, kurasa tidak? Aku pernah membantumu ke ruang wakepsek."

"Ah, kamu partner si gadis jorok."

Saho tertawa canggung. "A-anggap saja begitu. Karena aku sibuk dengan kegiatan Dewan Siswa, aku belum sempat menegurmu dengan resmi." Cowok cantik itu ragu-ragu mengulurkan tangannya. "Aku yakin kamu sudah tahu namaku."

Watson memandangi jabatan Saho tanpa ekspresi, mengangguk, menyambut uluran tersebut. "Salam kenal..."

"Senang berkenalan denganmu!"

Refleks Watson menarik tangannya, membuat kecanggungan menyeruak di antara mereka berdua.

"Maaf, aku tidak bermaksud kasar."

"Tidak masalah." Saho tersenyum.

Watson menggaruk kepala bingung. Apa itu barusan? Deja vu berganda? Saho mengingatkan Watson pada seseorang yang entah siapa. Apa itu Mela? Kenapa sherlock pemurung itu tiba-tiba memikirkan Mela? Bikin pusing saja.

Violet menonton kejadian kecil itu, hanyut dalam keheningan.

-

Grr! Aiden menggeram gusar. "Mereka sok banget sih! Mentang-mentang dipuji sedikit oleh Dewan Guru."

"Kenapa kamu memata-matai ruang rapat sih, Aiden?" Jeremy mendesah.

Watson bahkan tidak menyuruhnya. Ini disebut dorongan impulsif. Bayangkan, dua pelajar Alteia dari kelompok detektif terkenal di New York sedang membuat metode pelajaran pada guru-guru Madoka. Harga diri tercoreng.

Gadis landak itu tak henti-hentinya menggerutu. Sebagus itukah kualitas didikan Alteia hingga Menteri Pendidikan sendiri yang mengundang mereka?

"Argh! Nyebelin!"

"Selagi mereka tidak mencari masalah dengan kita, biarkan saja mereka mau bersikap bagaimana, Aiden. Kamu tak mau mereka mengganggu liburan musim panas kita, kan?" Jeremy menyeringai.

"Untuk yang beginian, bujukanmu jago."

Dari depan, seorang siswi berjalan sempoyongan ke arah Aiden dan Jeremy yang asyik bercengkrama. Bersenda gurau, saling sikut pinggang. Saat jarak mereka bertiga menipis, tiba-tiba...

Siswi itu mencengkram bahu Aiden, lalu dia berniat menggigit leher Aiden.

"HEI! Apa yang kamu lakukan?!" Jeremy segera menahan gerakannya. Tapi tenaga siswi itu terbilang kuat hingga Jeremy tanpa persiapan, terlempar ke belakang. "Apa yang salah dengannya?!"

Aiden mengeluarkan ponsel. "Sebentar! Aku akan menelepon Dan—"

Wush! Roesia dan Horstar berlari melewati Aiden. Mereka keluar dari ruang rapat demi mendengar keributan. Tempat itu seketika dikerumuni murid-murid Madoka yang penasaran.

"Terus pegang dia..." Horstar memicing membaca papan nama lawan bicara. "Jeremy Bari? Ah, Jeremy."

"Apa kamu tahu apa yang terjadi padanya? Pemberontakannya sangat kuat seperti bukan tenaga anak gadis!"

Horstar memeriksa bagian-bagian vital. "Ada apa dengannya?"

Kebetulan, Watson dan King lewat di koridor itu. Mendekati kerumunan yang koar-koar di hadapan mereka.

"Kami sedang berbincang, lalu tiba-tiba dia menyerang kami. Mengincar leher temanku. Dia kelihatan mau menggigit," jelas Jeremy ngos-ngosan.

Horstar mencium bau napas gadis itu. "Begitu rupanya. Roe, tolong."

"Ini." Roesia yang sigap, menyerahkan jarum suntik pada Horstar, membantu Jeremy memegangi lengan gadis itu.

"Kamu mau ngapain?"

"Dia mengonsumsi narkoba berupa LSD terlalu berlebihan. Aku harus mengeluarkan darahnya untuk mengurangi racun narkoba sebelum merambat ke otaknya lebih banyak."

[Note: LSD (Lysergic acid diethylamide), jenis zat kimia yang menyebabkan halusinogen. Juga mengakibatkan kekacauan pada persepsi indera, seperti gangguan pada penglihatan.]

Horstar dengan gerakan yakin menusuk lengan bagian depan dekat siku gadis itu, mulai menarik keluar darahnya.

Aiden berbinar-binar. Oke, dia tarik ucapannya tadi. Ketangkasan cowok di depannya mirip sekali dengan Watson. Inikah kartu AS dari kelompok detektif terkenal New York, Stareisia?

Ambulans datang di waktu yang tepat. Tandu didorong ke koridor bersama dua paramedis. Setelah Horstar memberi keterangan singkat, mereka segera mengangkat gadis itu ke tilam. Kondisinya berangsur membaik.

"Wah, dia menyelamatkannya."

"Seperti yang diharapkan dari anggota detektif STAREISIA. Sangat profesional dan kompeten. Bawaannya juga tenang."

Horstar menghela napas pendek. "Aku sungguh kecewa, Watson Dan."

Ara? King mengetuk kepala, cengengesan. Horstar ternyata sudah terlanjur melihat Watson rupanya.

"Apa benar kamu Detektif Monster yang dirumorkan di New York itu?"

Watson memutar mata. Omong kosong.

"Aku menaruh ekspetasi tinggi padamu. Seseorang yang membuat seluruh murid Alteia langsung terdiam ketika namanya tak sengaja disebut. Watson Dan. Bagaimana kepribadiannya? Apakah dia genius seperti yang dikatakan guru-guru Alteia? Kenapa semua murid kenal dengannya padahal dia bukan pelajar akademi? Siapa dia?"

Horstar terkekeh miring. "Aku pikir kamu orang yang hebat, nyatanya kamu hanya laki-laki culun yang hanya bisa diam melihat seseorang sekarat."

King melotot. "Hei, itu kasar!"

"Atau... yang tadi itu di luar kemampuanmu? Aha, aku mengerti. Bakatmu ternyata bukan apa-apa. Alteia saja yang membesar-besarkan."

Ada apa sih dengan orang ini? Setidaknya begitulah ekspresi King.

Sementara itu, Watson diam saja. Inilah yang dia benci dari persaingan detektif. Selalu merasa dirinya lebih pintar. []


N. B. Mari kita speed up.





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro