4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Hei, apa maksudmu—"

Grep! Watson memegang lengan Violet yang tersinggung melihat gaya dan intonasi suara Horstar yang terlihat meremehkan, menggelengkan kepala.

"Krakal, apa kamu mau ikut?"

"Eh? Mau ke mana?"

"Menyusul gadis tadi. Vi, ayo. Sebelum ambulansnya berangkat."

King masih bingung, tapi dia mengikuti langkah Watson seperti anak itik. Sedangkan Violet, bergulat dalam hati. Apa yang dipikirkan sherlock pemurung itu? Kenapa dia ikut mengantar gadis pencandu yang ditolong Horstar?

"Ayo kita pergi, Roe. Aku pikir sekolah ini spesial, tapi sama saja. Sama-sama diisi kumpulan orang bodoh."

Jeremy menahan tangan Aiden yang gemas hendak melayangkan bogeman. Baru menyelamatkan satu orang, belagunya bukan main. Menyebalkan!

Kembali ke sudut pandang ambulans.

"Apakah kalian teman gadis ini?" tanya paramedis satu, memegang infus.

Watson menggeleng polos. "Tidak, kami tidak kenal dia. Bahkan satu dari kami bukan murid Madoka."

Mereka bersitatap bingung. "Lalu kenapa kalian ikut jika tak punya hubungan?"

"Kami juga ingin menanyakan hal yang sama!" kata Violet dan King serempak. Seharusnya mereka menanyakan itu sebelum naik ke mobil ambulans.

Watson melirik jam tangan. "Datang."

Mata gadis itu melek, beranjak bangkit. Dia spesifik menyerang paramedis dua yang paling dekat dengannya.

"ASTAGA! DIA BANGUN!"

"Apa yang sebenarnya terjadi?! Bukankah kondisinya sudah stabil oleh remaja tadi?!" Seisi ambulans panik.

"Krakal, bantu mereka. Vi, carikan aku obat nalokson 2 ml." Watson menyuruh cepat, menggulung lengan seragam. "Mundurlah, Pak. Cukup tahan pergerakannya. Sisanya biar saya urus."

[Note. Naloxone, merupakan obat untuk pasien yang ketergantungan dan overdosis obat golongan opioid.]

Setelah mendapatkan obat yang diminta Watson di rak, Violet segera menyerahkannya. "Apa yang terjadi?"

Watson menerima suntikan kosong, mulai memasukkan cairan di botol vial ke dalam benda tersebut. "Kalian lihat bercak darah di arena mulut dan di bajunya?" Mereka mengangguk setelah memeriksanya. "Aku yakin dia sudah menyerang satu dua teman sekelasnya."

King, Violet, dan dua paramedis di dalam mobil saling tatap tak mengerti. Si sherlock pemurung itu bicara apa?

Watson menyuntikkan obat itu ke selang infusnya. Lambat laun pemberontakan si gadis mereda. Akhirnya jatuh tertidur.

"Dia sudah bukan sekadar berhalusinasi biasa. Selain mengonsumsi LSD, aku rasa gadis ini juga menggunakan Salt Bath. Karena narkotika satu itu mengandung bahan MDPV, tingkat halusinasi semakin tinggi membuatnya paranoia dan merubahnya menjadi kanibal. Aku rasa dia harus cuci darah."

[Note. (1) Salt Bath, garam yang dibubuhkan ke bak mandi. (2) MPDV (Methylenedioxypyrovalerone), digolongkan ke dalam obat psychoactive, sebuah stimulan sejenis dopamin. Pengguna narkoba memakainya sebagai pengganti metamfetamin.]

Mereka berempat melongo. Hanya dari bercak darah di pakaian korban, dia tahu sampai sejauh itu...?

"Lalu kenapa Pak Ketua diam saja tadi?! Harusnya kamu balas perkataannya!"

"Dia sudah bersikap keren di depan keramaian. Kalau aku mengatakannya terang-terangan, dia bisa malu."

"Pak Ketua..." King kehabisan kata.

"Wah, Nak. Kamu jauh lebih baik dibanding remaja arogan tadi." Dua paramedis itu mengacungkan jempol.

Violet mengembuskan napas.

Sifatmu itulah yang membuat Mela tergila-gila padamu, Watson.

-

Rumah sakit Atelier.

"Lagi-lagi kamu, ya? Kamu melakukan tindakan yang tepat, Nak. Mengurangi darah tidak terlalu banyak membantu pasien overdosis."

Watson tidak tertarik mendengarkan, sibuk membaca rekam medis pasien, menganggukkan kepala. "Kondisinya stabil. Jika dia kembali mengamuk, beri dia midazolam. Jika terjadi penggumpalan darah, beri dia heparin 100 unit. Jangan kelebihan. Aku pergi."

Siapa sih dokternya sekarang?

Watson keluar dari ruang ICU, menoleh ke sejoli yang duduk di ruang tunggu. "Eh, kalian masih di sini? Aku pikir sudah pulang duluan."

King dan Violet berdiri dari kursi. "Tentu saja. Kamu yang mengajak kami pergi menemanimu. Kamu pikir tarif ongkos bus sekarang berapa, huh?"

"Setahuku kamu tidak punya masalah dalam keuangan deh, Vi..."

Violet mendorong King. "Anak ini malu-malu minta tolong padamu," katanya sambil menyeringai.

"Ah, masalah tempo lalu itu ya? Tentang saudara kembarmu?"

"Sepertinya Pak Ketua sedang sibuk! Lupakan saja perkataanku, hehehe." King hendak mengendap pergi namun Violet menarik kerah belakangnya. "Crown..."

"Jangan memelas begitu. Nanti kucium. Aku sangat penasaran sampai rasanya ingin log out dari dunia. Kamu punya kembaran? My Cutie King have a twins? Satu saja sudah membuatku in love, apalagi dua? Ah, hidup ini indah."

Watson menoleh ke sekitar. "Ayo kita bicara di kantin rumah sakit."

Seharusnya King dan Violet memasang telinga baik-baik. Sejelas itu Watson bilang 'kantin'. Maka apa lagi maunya sherlock pemurung itu ke sana kalau bukan mengisi perut? Si pelit itu ternyata mengincar makanan gratis.

"Kudengar Atelier menyediakan makanan gratis untuk pengunjung. Kita tidak boleh menyia-nyiakan fasilitas ini."

"Kamu membuatku malu, Watson..."

"Ei, aku kelaparan. Aku belum makan dari pagi. Lagi pula, lihat tuh pacarmu, sudah tambah mangkok kelima."

"Pak Ketua benar, Crown! Makanan gratis tidak boleh disia-siakan!"

Violet menepuk dahi.

Lima menit menghabisi jatah makanan, akhirnya mereka memulai diskusi.

"Memang minus anggota, tapi kita bisa menjelaskan masalahnya pada mereka nanti. Aku tak yakin niat bercerita Krakal bertahan satu hari. Kulihat-lihat kamu tipe memendam."

King menarik napas dalam-dalam. Dia tidak pernah menceritakan ini ke siapa-siapa sebelumnya. Tapi jika Watson orang pertama yang tahu, maka biarkan takdir mengurus sisanya..

"Aku punya kembaran. Namanya Paul Procyon. Kami beda dua menit. Paul... orangnya kreatif dan energik. Di TK, dia disukai anak-anak seusia kami. Paul pribadi yang suka bersosialisasi. Dia juga anak yang pintar. Tidak sepertiku. Penyendiri. Otak pas-pasan. Menyedihkan. Tidak ada yang bisa dibanggakan dariku—"

Plak! Violet menampar pipi King, berkacak pinggang. "Kata siapa? Kamu pintar melukis, Ki. Hanya orang idiot yang tak paham kekerenanmu."

"Tapi kenapa aku harus ditampar..."

"Ah, maaf. Barusan itu kebiasaan."

Plak! Violet pindah menampar pipi Watson yang asyik menyimak cerita. Gadis itu membenarkan target kebiasaannya. Iya, dia suka menampar Watson tanpa sebab.

"Sabar..." gumam Watson.

"Lalu suatu hari, kami pergi ke Taman Bermain Pockleland untuk berlibur, namun semunya kacau karena pengeboman misterius itu. Aku dan Paul terpisah. Sampai sekarang, aku tidak bisa menemukannya di mana-mana... Pak Ketua? Violet? Wajah kalian seram."

"Kamu... barusan bilang Pockleland?"

"Ya. Tunggu, Pak Ketua tahu sesuatu tentang taman bermain itu?"

"Ini kebetulan yang mengerikan." Violet mengusap wajah. "King, Pockleland... Pengeboman yang terjadi di sana sudah menewaskan orangtua Watson. Di sana lah semua masalah berawal."

"Tak mungkin."

Watson berdiri, ekspresi kosong. "Tidak ada yang lain? Apa hanya itu?"

"I-iya. Hanya itu."

"Aku tak yakin." Watson menggenggam lengan King. Satu menit, dua menit... Tidak ada yang terjadi.

"A-apa yang kamu lakukan, Pak Ketua? Ayolah, berhenti. Kamu membuatku malu. Semua orang sedang menatap kita." King mulai merasa tak nyaman.

Empat menit, enam menit berlalu...

"AKU BILANG LEPAS!" seru King marah, menepis kasar pegangan Watson.

Sherlock pemurung itu menyunggingkan senyuman miring. "Bari memberitahuku tentang kejadian ganjil di toko pakaian. Kamu, pobia disentuh, kan?" []






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro