12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Besoknya, mereka pergi ke Madoka. Tepatnya ke klub detektif mengenakan pakaian bebas. Lagi pula sekolah sudah libur. Hanya ada anak-anak yang latihan untuk persiapan lomba seperti ekskul dance, basket, dan sebagainya.

"Kita harus melakukan sesuatu!"

Itu adalah perkataan King yang kesekian kalinya sejak Violet ditangkap kemarin. Dia tidak bisa tenang dan mendesak Watson agar segera mengantisipasi sebelum persidangan dimulai. Mana mungkin King membiarkan Violet dipenjara (remaja)? Violet melakukan kriminal demi melindunginya.

"Dan, apa perintahmu?"

"Kita sedang menginvestigasi kasus dingin, maka dari itu kita sangat membutuhkan informan. Dengar, kalian panggil Dextra dan minta bantuannya."

Aiden mengernyit. Pasalnya Watson seperti salah redaksi kata. Bukankah harusnya 'kita' bukan 'kalian?

Menangkap maksud mimik wajah Aiden, Watson melanjutkan, "Masalah Vi biar aku yang urus. Aku ingin kalian fokus pada kasus utama kita."

Jelas mereka tidak terima.

"Watson! Bukankah kita sepakat untuk selalu bersama-sama menyelesaikan suatu masalah? Kenapa tiba-tiba berpisah dari tim? Violet juga teman kami. Tentu saja kami berhak membantunya!" Jeremy memprotes.

"Ini salahku, Pak Ketua. Violet melakukan itu demi melindungi aku yang tak berguna. Biarkan aku bertanggung jawab dan meluruskan kesalahpahaman."

"Pokoknya kita keluarkan dulu Violet dan baru melanjutkan kegiatan kita," kata Aiden dan Hellen serempak.

Brak! Sherlock pemurung itu memukul meja, mengagetkan mereka berempat. Tidak biasa-biasanya Watson begitu. Karena kejanggalan tersebut, nyali mereka menciut. Watson jarang marah. Sekalinya marah menakutkan.

"Kalian hanya perlu mendengarkanku. Panggil Dextra dan lanjutkan investigasi. Sisanya biar aku urus."

"K-kamu marah pada kami, Watson?"

"Tidak." Watson mengatupkan rahang. Wajahnya datar, namun terlihat bahwa dia menahan emosi. "Aku marah karena si Angra sialan itu berani-beraninya memprovokasiku. Apa dia mau bermain polisi-polisian denganku? Oke, jika itu maunya. Akan kuperlihatkan dengan siapa Angra mencari perkara."

Setelahnya, detektif muram itu hendak pergi meninggalkan klub.

"Tunggu, Watson! Apa yang harus kami cari? Kami tidak mungkin menyelidiki sesuatu yang tidak jelas, kan?" Hellen memberanikan diri bertanya.

"Cari semua yang berhubungan dengan kasus Pasha. Aku yakin, setidaknya ada satu, jejak yang ditinggalkan pelaku."

Brak! Watson menutup pintu.

Aiden menarik napas panjang. "Astaga, baru kali ini aku melihat Dan benar-benar marah. Dia sepertinya sangat kesal dengan Inspektur Angra."

"Itu karena Inspektur Angra mengganggu orang yang seharusnya tidak boleh dia ganggu. Apa salahnya membicarakannya baik-baik dengan Pak Ketua terlebih dahulu? Tapi dia justru datang bersama mobil polisi dan menangkap Crown di depan Pak Ketua." King mendesis kesal.

"Apa maksudmu, King?"

"Crown menceritakannya padaku kalau Pak Ketua tidak tahan jika ada yang mengusik rombongannya. Selama dia pergi ke New York, temannya Aleena sempat tertangkap oleh mafia. Pak Ketua berhasil menemukan lokasi itu dan tak ragu mengangkat senjata."

Ah, jadi itu alasan kenapa Watson pulang sedikit terlambat.

"Apa pun itu, Inspektur Angra telah bermain dengan orang yang salah. Pak Ketua entah bagaimana caranya, dia pasti bisa mengeluarkan Violet."

"Kalau begitu, kita tidak boleh tinggal diam. Kita lanjutkan investigasi agar Dan fokus pada masalah Violet."

-

Hotel Staciara Oriental, itulah tempat pertama yang Watson tuju. Tangannya bergerak memasang earphone.

"Aleena, Lupin, kalian di sana?"

[Kami sudah standby, Watson. Yuhu~]

"Baiklah. Periksa seluruh CCTV yang menyorot gedung hotel, termasuk Kotak Hitam pada mobil-mobil yang terparkir. Segera kabari jika kalian mendapatkan sesuatu, usahakan ada hasilnya."

[Serahkan pada kami.]

Watson menutup telepon. Dia bergegas masuk ke dalam hotel, tak peduli sapaan para pegawai yang mengenalnya.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" Beaufrot berpapasan dengan Watson yang tergesa-gesa menuju lantai atas.

"Paman kembali saja bekerja. Aku punya urusan sendiri," jelas Watson pendek masuk ke lambung lift. Dia mencet-mencet tombol secara tak sabaran. "Sampai jumpa nanti."

Watson sampai di rooftop. Baiklah, sudah waktunya berpikir keras.

Melihat video yang ditunjukkan Angra, sudut pandangnya berasal dari gedung sebelah kiri hotel. Apa antek-antek pelaku sudah memperkirakan Violet dan Mita akan pergi ke sana lalu menunggu momentum penembakan?

Bisa jadi bukan 'memperkirakan' melainkan mengiring Violet agar menembak Mita. Lagi pula, ada yang aneh dari pergerakan si Mita ini. Kata pengawas CCTV dia sering terlihat di sekitar hotel, namun tidak masuk ataupun menyewa. Mita hanya memelototi kamera dan pergi. Bukankah aneh? Jikapun niatnya mengintai King, harusnya dia melobi dari jarak dekat.

"Ah, Nak Watson. Kamu datang lagi--"

"Minggir," sela Watson menguasai ruang keamanan. Tangannya cepat memutar semua file yang merekam Mita. Dia cekatan menekan tombol play dan pause berkali-kali, menyensor apa saja yang dirasa aneh oleh mata.

Tunggu sebentar.

"Apa ini?" gumamnya memicing. Jari-jari Mita melakukan gerakan tak lazim. "Kode morse? Kenapa dia..."

Tolong. Kami. Arah. Jam. Tiga. Gedung. Putih. Langkah. Ke delapan.

"Sinyal minta tolong? Jangan-jangan insiden Mita juga bagian dari rencana dalang yang sebenarnya?" Watson berdecak, keluar dari ruangan itu.

Dengan otak pintarnya, tidak sulit menemukan gedung putih yang disebut oleh Mita. Berupa rumah tua.

"Jadi rekan Mita menonton di sini?"

Diam-diam Watson menyeringai. Dia tahu, ada yang mengikutinya dari tadi. Entah siapa dia, memakai topi dan masker hitam. Wajahnya tertutup. Tapi, tidak masalah. Biarkan saja dia.

Langkah ke delapan. Watson melangkah masuk sebanyak delapan langkah, dan klek! Terdapat ruang rahasia di lantai. Sherlock pemurung itu menginjak tuasnya mengikuti arahan Mita.

Betapa terkejutnya Watson melihat foto Violet dan King ditempeli di dinding beserta catatan-catatan yang sulit dibaca. Sudah dia duga, si pelaku brengsek itu sengaja menuntun Violet agar menembak Mita.

"Sialan..." Watson meremukkan salah satu kertas, sorot mata datar. "Bisa-bisanya mereka membidik seorang informan. Nyali yang besar, heh." Dia beralih mengeluarkan ponsel. "Pokoknya rekam dulu tempat ini sebagai bukti."

Tap! Orang yang mengikuti Watson akhirnya unjuk gigi juga.

Watson menoleh seakan menyambut, menyeringai. "Ah, perhatikan langkahmu. Aku memasang ranjau di sana."

Dia terbelalak. Sejak kapan?!

Kabut ungu seketika memenuhi ruang tamu rumah tua tersebut. Watson buru-buru keluar dari rubanah, menoleh ke sekitar. Sial, padahal dia sengaja bilang ranjau bukan bom asap untuk mengecohnya tapi dia tidak tertipu.

Watson merapikan anak rambutnya yang berantakan. "Dia pintar juga," gumamnya menatap datar ke depan.

Tidak apa-apa. Masih ada rencana B.

[Kami mendapatkan sesuatu Watson. Over. Woi, buruan bilang ganti.]

"Kita tidak sedang berperang, Aleena. Perhatikan suasananya. Sudahlah, kirimkan itu langsung padaku. Aku tidak mau membuang waktu. Waktu kita tersisa 20 jam lagi sebelum Angra brengsek itu memindahkan Vi ke sel."

[Kami memeriksa salah satu CCTV di jalan dan menemukan seorang pria dengan mental yang agak terganggu berdiri di depan hotel.]

Detektif muram itu tak percaya dengan apa yang dia dengar. Maksudnya, mereka mau Watson meminta informasi pada orang gila? Kerja sama macam apa ini.

"Kalian bercanda denganku?"

[Percaya pada kami Watson. Kami yakin pria itu melihat sesuatu. Bukankah kamu jago berurusan dengan permainan kalimat? Bukankah bakatmu terlalu OP? Kamu pasti menanganinya.]

Watson memijat pelipis. "Baiklah, akan kucoba. Siapa namanya?"

[Kubashari Aninar, 35 tahun. Dia menderita sindrom asperger sejak umurnya berusia 5 tahun.]

"Yang benar saja! Apa yang bisa kamu harapkan dari orang autis?!" (*)




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro