-Delapan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Terkadang dunia menciptakan keabnormalan yang menyakiti hati

.

Saat itu kali terakhir aku bertemu dengan Daisy. Benar. Memang terakhir, karena selepas itu Daisy menghindariku dengan sangat.

Saat itu, Daisy yang kakinya terjepit batu saat terperosok ke parit di jalanan menurun, ada tanaman hijau menggeliat mengikat kakinya. Xi melarangku mati-matian menolongnya. Esme berusaha melepasnya tetapi juga tidak bisa. Aku tahu siapa pelaku yang mengikat dan membelit kaki Daisy dengan tanaman aneh itu. Aku berusaha tak mengindahkan larangan Xi, dan menarik tanaman yang mengikat erat sebelah kaki Daisy. Nyatanya bukan malah melonggar, justru makin merapat dan tumbuh duri yang menyebabkan kaki Daisy dan tanganku terluka. Ditambah Xi dengan nada mengancam akan membenciku dan mengutukku jika membantu Daisy.

"A-aku harus menolongnya. Kumohon. Kasihan dia."

Aku tahu Daisy yang mulai menangis menatapku aneh ketika aku berbicara demikian. Esme yang tahu beberapa hal sedikit juga ikut-ikutan memohon. Sepertinya ia paham situasi saat ini.

"Kawan pergi cari bantuan saja. Jangan dekat-dekat dengannya."

Xi turun dari pundakku. Aku pun menurutinya dan pergi mencari orang lain untuk membantu melepaskan ikatan Daisy. Aku tidak berpikir apapun yang masuk akal bagaimana cara Daisy dilepaskan dari ikatan tanaman aneh yang timbul dari balik batu.

Setelah mencari orang lain untuk membantu Daisy, oleh Xi aku tidak diperbolehkan mendekatinya lagi. Aku pun pergi ke Pub, menunggu Esme setelah mengantarkan Daisy pulang.

Pub saat itu sudah sore dan ada Harvey yang tengah bersantai menikmati minumannya. "Hari yang berat?" tanyanya begitu melihatku masuk dan duduk di depannya. Pikiranku kalut jadi aku tidak bercerita apa-apa hanya meletakkan kepalaku di meja.

"Kau mau bubble and squeak?" tawar Harvey yang kubalas dengan anggukan kepala pelan.

"Pikiranmu terlalu rumit, aku tidak tahu apa yang terjadi dan tidak ingin tahu. Berhentilah berpikir dan bayangkan saja sedang di alam indah atau tempat yang ingin kau kunjungi."
Harvey mengomel sembari melangkah pergi menuju dapur. Katanya pikiranku seberisik itu.

Memang betul, aku sedang sangat berpikir karena penasaran bagaimana keadaan Daisy, apa yang sebenarnya Xi lakukan ditambah sebenarnya apa salah Daisy pada Xi. Di luar halaman pub aku melihat Xi datang. Ia kecil tapi aku tahu itu ia. Aku pun meminta penjelasan darinya.
Ia agak enggan memberitahuku karena sepertinya ia kesal dengan kejadian tadi. Selain itu ia memaksaku untuk berjanji kelingking yang katanya sakral untuknya. Ia tidak akan menjahili Daisy lagi begitupun yang lainnya di sini tetapi aku tidak boleh mendekatinya di sini. Aku yang masih tidak mengerti apapun saat itu hanya mematuhinya. Hal ini karena ancaman yang ia berikan dalam janji jari kelingking itu. Siapa pun yang mengingkari akan ditenggelamkan di sungai Coln dan tidak akan pernah ditemukan.

Xi juga menambahi, "Dia, seharusnya tidak ada di mana pun."

**

Sesekali aku pernah mendengar kabar Daisy dan aku mulai paham mengapa ia tidak menyukaiku. Daisy adalah anak tunggal dari pemilik hotel terkemuka di desa ini. Hotel the swan. Saat aku mengalami kebutaan dan ketulian mendadak, desa kami diguncang kemerosotan wisatawan. Banyak yang takut kemari karena rumor aku sebagai antek-antek penyihir atau apapun itu yang terkutuk, yang jelas rumor buruk mengenai desa ini menyebabkan hotel besar berlokasi di desa sangat rentan mengalami masalah ekonomi. Jadinya, mungkin itu penyebab Daisy membenciku ditambah aku yang sembuh mendadak dan yang terjadi tidak dapat dijelaskan oleh dokter sempat membuat goncangan kembali ke desa ini sebagai pembuktian rumor itu.

Jujur saja, ini membuatku gatal untuk memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi. Namun, aku tidak ingin membocorkan rahasiaku ini ke orang yang lebih banyak lagi. Cukup Esme sebagai satu-satunya orang di tempat ini yang mengerti keadaan paling sebenarnya--Harvey tidak termasuk karena tidak pernah kuberitahu secara langsung.

Mengingat tentang Harvey, kebetulan saat ini Esme tengah merengek. Katanya, ia sangat merindukan Harvey sampai rasanya tidak bisa buang air besar. Harvey sudah pindah dari Bibury ke Cirencester sejak dua tahun lalu untuk melanjutkan KS 3 di sebuah sekolah bernama Kingshill. Namun, setiap hari sabtu pagi ia akan datang ke desa dan bermain bersamaku dan Esme dulu. Sayangnya di tahun ajaran kami ini, untuk melanjut ke KS 3, kami tidak bersekolah di tempat yang sama dengan Harvey. Itu sebabnya Esme, yang kini juga jadi teman sekamarku di sekolah Rendwench menangis terus-terusan dan mengeluh mengalami sembelit selama seminggu pertama di ajaran baru ini.

Aku hanya memberikan tisu dan air minum untuk menenangkannya. Ia bergelung di kasur atasku sembari meraung-raungkan nama Harvey. Tidak kupahami mengapa Esme sedemikiannya pada Harvey. Padahal jika mereka bersama, mereka sering berdebat kecil dan Esme senang sekali mengusili Harvey. Mungkin ia merindukan seseorang yang bisa ia usili karena aku tidak bisa seperti itu.

Aku jadi teringat ketika Esme menggodaku kalau guruku, Tom, datang dengan marah-marah di rumah setelah sekian lama saat aku bersama Harvey di pub. Aku cukup senang dan tidak menyangka walau ada sedikit keganjilan mengapa Tom harus marah-marah, jadi dengan santai aku menelepon rumah melalui telepon pub dan kembali duduk di hadapan mereka karena itu hanyalah usilan Esme. Katanya, Esme menginginkan wajah panikku dan ia kemudian menilaiku tidak seru untuk dijahili. Padahal, aku sangat tahu betul sifat Tom jika marah. Guruku itu tidak akan marah-marah seperti itu. Ia hanya akan diam dan membuat dirinya seolah-olah bisu. Kemudian aku teringat ketika aku lupa menaruh buku dongeng miliknya yang kupinjam saat buta dan aku jadi meringis ketika mengingat itu.

"Tidak ada yang lucu, Isla. Tidak ada Harvey. Tidak seru."

Esme tiba-tiba sudah memunculkan kepalanya dari kasur atas. Matanya bengkak, hidungnya merah dan bibirnya menebal karena kebanyakan menangis.

Aku turun dari kasurku dan memeluk kepala Esme dari bawah.

"Aku akan menemani untuk menelpon Harvey nanti."

Esme menatapku dan ia kemudian turun dari kasur, segera kami berganti pakaian rapi lalu kami pergi ke guru penjaga.

Nyonya Merry, guru penjaga asrama perempuan sekolah Rendwench, kantornya berada di paling ujung koridor asrama ini. Ruangannya seluas 4x3 itu penuh dengan berkas-berkas yang sangat berdebu dan kurang disukai semua orang. Hanya sebuah benda yang menempel di pojokan ruangannya saja-lah yang benar-benar bersih dan disukai semua orang. Telepon.

"Hai, Nyonya Merry."
Aku membuka pintu dan nampak ia yang sedang duduk di kursinya dengan kacamata yang tebal. Ia tengah sibuk menyalin sesuatu di buku besarnya.

"Oh, hai Nona Marshall. Eum dan ... Nona Owens."

Esme baru muncul di belakangku dan Nyonya Merry sedikit kaget melihat penampakan Esme yang bengkak.

"Ah, kau tahu. Dia merindukan seseorang selama seminggu ini dan menangisinya sejak semalam. Jadi, bisakah kami meminjam telepon? Dia sangat rindu kakaknya."

Esme menatapku sejenak lalu mengangguk. "Benar, aku rindu dia. Aku sangat menyayangi dia. Kumohon. Aku tahu ini bukan waktunya untuk peminjaman telepon. Namun, aku mohon. Aku sampai sembelit saking rindu padanya."

Ia tahu aku berbohong karena Esme sebenarnya anak tunggal. Namun, ini demi kebaikannya.

Nyonya Merry membenarkan kacamatanya yang melorot dan menggaruk-garuk rambutnya yang ia cepol.

"Baiklah. Namun, aku harus pergi sebentar. Bisakah kalian menjaga ruangan ini untukku?" Nyonya Merry berkata demikian saat ia baru saja menerima pesan di telepon genggamnya.

"Dengan senang hati, Nyonya."

Esme pun segera beranjak mendekati telepon yang menempel di dinding. Ia kemudian menekan nomer telepon yang sepertinya sudah ia hapal di luar kepala. Padahal aku tahu nomer tersebut diberikan kepadanya sebelum pemberangkatannya kemari. Lantas mengapa ia tidak segera menelpon jika serindu itu pada Harvey? Barangkali itu karena pikirannya yang terlalu kalut sampai tidak menemukan solusi seperti ini. Walau dugaan ini sangat kuyakini benar.

Tidak kuketahui apa yang diobrolkan mereka-lagipula aku juga tidak tertarik-jadi aku memandangi setiap lekat ruangan Nyonya Merry yang berantakan dan berdebu. Ada hal yang membuatku tertarik di atas mejanya, ialah buku terbuka dengan tulisan judul bangsal konstelasi Cygnus terdapat nama Daisy Seward di daftar paling atas. Bangsal itu adalah bangsal tempatku dan Esme. Kuketahui dari daftar itu Daisy harusnya masuk di kamar nomer 17, bersamaku dan Esme. Namun, di tempat yang disalin Nyonya Merry, Daisy tidak berada di nomer 17. Dari hal ini aku memahami sesuatu. Ia dipindahkan. Pantas saja sudah seminggu di sini, aku dan Esme tidak mengetahui siapa pemilik kasur kosong yang berada di dekat jendela.

"Kau sudah selesai, Isla? Apa yang kau pandangi?" Esme ikut melihat apa yang tengah kulihat di meja.

Sepertinya ia memahami sesuatu. Karena ia pun segera menepuk-nepuk pundakku.

"Sudahlah. Ayo kembali ke kamar. Perutku mulai mulas," katanya sembari merangkul bahuku bahagia dan kami pun bergegas meninggalkan ruangan ini sembari memutar tanda di depan pintu menjadi "closed"
Hal ini kulakukan karena aku tidak bisa menunggui ruangan ini.

Esme sudah baikan usai dari toilet, wajahnya terlihat lebih cerah dan ia bersiap pergi tidur di siang yang cerah hari minggu ini. Namun, aku tidak sedang mengantuk sedikit pun jadi aku akan berjalan-jalan mengelilingi sekolah berasrama ini.

"Apakah Xi tidak ikut ke sini? Aku merasa tidak enak hati tidak bisa menemani berkeliling. Baterai mataku sudah habis karena tidak tidur semalaman."

Aku hanya tersenyum dan segera meninggalkan Esme. Xi tidak ikut kemari karena wilayah ini berada dinaungan pixie lain. Jadinya, aku agak kesepian dan takut-takut bertemu dengan makhluk lain yang ternyata jahat.

Kata Xi, kebetulan semua makhluk di desaku cukup baik. Jadi tidak bermasalah untukku berkelana atau berkenalan dengan mereka. Hanya saja, Xi memperingatkanku untuk hati-hati bila di tempat lain. Jadi aku mematuhinya. Lagipula, Jennie greenteeth di tempat ini agak seram. Ia berada di belakang seorang gadis yang tengah diam memandangi pinggiran danau buatan sekolah ini.

Begitu aku menyadari pirangnya rambut gadis itu dan tangan hijau Jennie yang bersiap mendorong gadis itu membuatku sadar.

"Daisy!!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro