-Dua Puluh Satu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Terkadang perasaan lebih kuat menyadari apa yang akan terjadi
.

"Apakah barangmu sudah siap, Esme?" tanya Lyona pada Esme yang sudah berdiri siap di dekatku dan Lyona.

Esme mengangguk mantap.

Dia memang sudah mengepak koper mininya untuk dua minggu sedangkan aku dan Lyona masih bingung apa saja yang harus kami bawa mengingat natal kali ini adalah natal tahun kedua. Tahun kami harus menyiapkan perpisahan pada makhluk yang kuyakini sudah berdiri di luar kamar.

Memang baru persis sekitar dua bulan lagi untuk melakukan perpisahan, tetapi dua bulan lagi kami tidak memiliki jatah libur panjang. Hanya kenekatan pulang untuk mencari dan mengantar Ash menemukan portal yang akan menjelaskan identitasnya atau barangkali membawa pencerahan dirinya untuk kembali ke tempatnya.

Jadi, sebelum itu terjadi kami sepakat untuk pulang ke desa Bibury—berlibur bagi Lyona—untuk mempersiapkan segalanya dan mencari informasi-informasi sedikit dari Xi.

Setelah merasa barang kami sudah siap, aku mencoba pergi ke kantor Nyonya Merry untuk menelpon ayahku, agar ia bisa segera menjemput kami. Aku sudah berpesan untuk dijemput jam 9 pagi nyatanya sampai jam 10 ayah tidak kelihatan batang hidungnya.

Awalnya aku berniat menyelinap tanpa mengetuk karena aku memang sudah terbiasa keluar masuk ruangan Nyonya Merry. Namun, saat ini aku tidak berani membukanya karena mendengar suara seseorang menangis sesegukan dan Nyonya Merry yang berusaha menenangkannya.

Suara Ash yang tiba-tiba di sampingku mengagetkanku. Ia menanyakan mengapa aku tidak masuk. Setelah itu dia mengintip dengan memasukkan kepalanya ke pintu. Menembus begitu saja.

"Ada seseorang yang menangis. Sepertinya kau mengenalnya. Kau sering berusaha kabur begitu melihat dia." Ash menarik kepalanya kembali.

Aku langsung mengerti siapa yang dijelaskan Ash. Memang benar selama dua tahun ini aku mati-matian menghindarinya. Sesuai dengan janji yang pernah kutawarkan dulu, aku berusaha menepatinya.

Ada perasaan dilema untuk masuk dan pura-pura peduli atau menunggu di luar karena pilihan pertama sangat mustahil untuk kulakukan. Jadinya, aku menunggu sampai Esme tiba-tiba menghampiriku dan membuat suara sesegukan di dalam terhenti.

"Kenapa kau di sini? Tidak jadi menelpon?"

Pertanyaan Esme membuatku meneguk ludah karena artinya sudah pasti aku ketahuan oleh Nyonya Merry dan Daisy di sini dari tadi. Namun, aku tidak dapat menyalahkan Esme karena pertanyaannya benar dan aku tahu ia buru-buru ingin bertemu dengan Harvey.

"A-aku baru di sini," kataku bertepatan dengan pintu kantor Miss Merry terbuka. Aku melihat Daisy dengan wajah merah usai menangis dan Nyonya Merry yang berwajah gundah menatap kami. Namun, Daisy melangkah pergi terlebih dahulu dengan wajah menunduk dan mengabaikan sapaan Esme yang biasa ia layangkan padanya. Meski biasanya selalu ditanggapi dingin yang menyakitkan, kali ini lebih menyakitkan karena ia mengabaikannya. Seperti aku yang biasa diabaikannya.

"Kami ingin pinjam telepon untuk menghubungi ayahku, agar bisa segera menjemput kami," kataku akhirnya pada Nyonya Merry yang menanyakan maksud kedatangan kami.

nyonya Merry mengizinkanku dan terus menerus menatap arah kepergian Daisy.  Dalam gumaman kecilnya yang masih bisa kami dengar, ia mengatakan,  "gadis yang malang,"

Aku tahu itu bukan ditunjukkan untukku dan Esme. Jadi kami berpura-pura tidak mendengarnya.

Usai dari kantor Nyonya Merry, Esme menanyaiku maksud dari perkataan Nyonya Merry dan saat itu ada sesuatu yang mencelus di hatiku. Dilema menyerangku lagi. Apakah saat ini saat yang tepat untuk mengatakan kondisi Daisy? Kondisinya yang tidak pernah kuceritakan pada Esme sejak pertengkaran panjangku dengan Daisy dulu.

Esme sepertinya tahu akan dilemaku. "Baiklah akan kutunggu penjelasannya sampai saatnya tiba,"katanya menenangkanku dan aku menguatkannya. Berjanji akan menceritakannya suatu saat.

"Esme, Isla!"

Lyona sudah di depan kamar dengan koper-koper kami bersamanya. Setelah itu aku mengajak mereka pergi ke depan asrama tempat Ayah biasa memakirkan mobilnya untuk menjemput. Gedung asramaku sudah cukup sepi, ini karena sebagian orang sudah pulang. Kami pulang di hari kedua setelah libur. Bisa dibilang kami kemarin mendiskusikan banyak hal terlebih dahulu.

Seperti....

-Ash mirip dengan seseorang di foto album kenangan sekolah ini 15 tahun yang lalu di rak bagian sekolah menengah atas. Bukan 10 tahun seperti dugaan Tan.

-Buku albumnya sudah rusak karena beberapa tahun yang lalu pernah terjadi kebakaran.

-Hanya diketahui secuil namanya,
.....son Stroude dengan biodata yang habis terbakar.

-Kami sudah menghubungi orang-orang yang mungkin mengenal kabar mengenai Tuan Stroude atau Ash ini, tetapi belum ada yang membalas email kami.

-Kenyataan bahwa dia sudah setua itu tetapi menjelma menjadi murid menengah bawah mengagetkanku.

-Apakah Ash betulan si Tuan Stroude atau hanya sekadar mirip? Atau apa dia hantunya Tuan Stroude?

Kami mendiskusikannya cukup panjang mengenai pertanyaan-pertanyaan terakhir tersebut. Hasilnya nihil karena kami juga tidak tahu apa sebenarnya Ash itu. Kami kemudian memutuskan hanya menunggu kabar dari email yang menjawab keberadaan Mr. Stroude untuk kemudian kami temui.

Namun, dari semua dugaan itu. Hanya aku yang menginginkan jawaban berbeda.

"Ash masih di dunia ini dan dia seumuran kita," kataku yang tak bisa dielak siapa pun. Bisa dibilang aku agak ngotot mengatakannya. Sedangkan empu dari konteks bahasan ini hanya diam saja.

Setelah ayahku datang, kami memasukkan koper-koper kami di minivan. Esme duduk di depan bersama ayah, aku dan Lyona di belakangnya, serta Ash yang duduk bersama koper-koper di bagian belakang sendiri.

Aku mengecek secara teratur apa Ash masih terikat mobil ini karena dalam satu waktu terkadang Ash menerawang dan dapat tertinggal begitu saja. Dia tidak tahu rumahku, ini pertama kalinya aku mengajaknya.

Saat mobil melewati bunga Phlox yang tumbuh dekat asramaku, aku melihat Tan yang berdiri nampak di atas bunganya. Raut mukanya membuatku meminta ayah untuk menghentikan mobil sesegera mungkin. Hal ini membuat semua bertanya-tanya kecuali aku dan Ash.

"Tan," kataku yang usai berlari-lari mendatanginya.

"Kau harus pergi, xi?"tanyanya kepadaku. Aku mengangguk mengiyakan ini untuk persiapan kepergian Ash.

"Jangan pergi, Tan merasa tidak enak, xi."

Ia ketakutan menatapku, tetapi aku tidak bisa. Bahkan Esme sudah menjemputku. Sepertinya ia tahu apa yang kulihat jadi ia mengangguk hormat ke bunga Phlox di depannya.

Bunga Phlox tersebut memang sudah tidak mekar cantik, sebagian tanamannya sudah mengering karena musim dingin. Namun, karena ini masih awal musim dingin masih ada bunga-bunga kering yang kelihatan bentuknya.

"Aku pergi dulu ya, Tan. Aku tidak akan sampai dua minggu," kataku menenangkan Tan.

Meski demikian raut wajah Tan tidak berubah ia masih saja gundah. Aku sempat menanyai alasannya tetapi ia terlihat kesulitan juga mengatakannya. Kumaklumi itu sebagai mungkin tidak terlalu penting bagiku karena itu adalah larangan untuk diucapkan oleh mereka. Kucoba kuterima seperti itu karena terkadang memang ada batasan-batasan untuk diberitahukan.

Setelah itu, aku pergi bersama Esme dan Lyona kembali ke mobil. Dari dalam mobil aku melihat Tan masih menatapku yang kemudian menunjukkan tangannya ke danau buatan yang tertletak di depan asrama. Kulihat arah yang ditunjuk tetapi tidak menemukan siapa pun. Padahal aku tahu itu adalah tempat Jennie Greenteeth biasa berdiri.

"Esme, apa di dongeng, Jennie Greenteeth akan menghilang saat musim dingin?" tanyaku pada Esme.

Esme menggeleng tidak tahu karena ia tidak tertarik dengan bacaan dongeng seperti itu.

"Ah, dongeng Jennie Greenteeth yang menyeramkan? Setahuku tidak, Jennie Greenteeth di cerita-cerita yang kubacakan untuk adikku tetap ada meski airnya membeku," kata Lyona.

"Kau masih suka membaca dongeng Isla? Astaga kau sudah besar lho, hahahaha." Ayah tertawa yang diikuti Esme dan Lyona.

Aku tidak ikut tertawa meski konteks bahasan sudah beralih ke hal yang lebih lucu seperti Lyona yang membacakan cerita-cerita dongeng tersebut untuk adik-adiknya dan reaksi mereka.

Ini karena aku tahu, mereka nyata dan ada betulan. Ini membuat perasaanku tidak enak.

~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro