-Dua Puluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Terkadang perasaan sangat sulit dideskripsikan
.

Aku tidur nyenyak semalam dan tidak menemukan Ash di kamar pagi ini. Kutemukan sebuah kertas dan bolpoin yang jatuh di lantai. Kertas itu berisi pesan singkat yang belum selesai ditulis. Namun, aku masih bisa memahaminya meski dia tidak menyelesaikan tulisan "libr" yang bisa kupahami bahwa ia menuliskan kalau ia pergi ke perpustakaan dan ketika ia menulisnya tubuhnya mendadak menerawang lagi.

Aku tersenyum kecil dan mengambil kertas itu lalu segera bersiap mandi dan sarapan di hari Minggu pagi ini.

Awalnya aku ingin makan di kamar lagi, tetapi rasanya aku ingin mencari udara segar. Jadi, kuberanikan diriku untuk makan di kantin sendiri. Ada Rosanna yang menyapaku dan memintaku duduk di sampingnya bersama teman-temannya. Rosanna tahu kalau Esme dan Lyona pergi ke luar asrama.

Di meja tersebut aku mendapat informasi, hantu yang sering menciumi gadis gadis di asrama sudah jarang melakukan aksinya beberapa minggu ini. Rosanna sengaja mengangkat topik itu. Kutanggapi hal itu sambil tersenyum dan mengiyakan. Aku tahu itu tetapi pura-pura tidak tahu. Mungkin ini cara Rosanna memberikan informasi dan mencoba membuatku percaya padanya--kuduga ia masih tidak terima sikapku yang menganggapnya tidak percaya makhluk pengganggu itu meski kenyataannya aku yang paling percaya dan tahu.

Seusai makan aku langsung ke perpustakaan yang ternyata tutup dan ketika aku kembali ke kantor asramaku untuk mencari Miss Merry yang cukup jauh, aku tidak menemukannya beserta kuncinya. Jadi aku tidak bisa masuk ke perpustakaan. Meski demikian ini tidak menyurutkan semangatku menemui Ash.

Kuputari gedung perpustakaan sembari mengintip tiap jendela dan kutemukan Ash melamun menatap jendela yang kudatangi. Kupanggil ia dan menyuruhnya keluar.

"Sepertinya hari ini aku tidak bisa membantu mencari foto di album kenangan. Tapi hari ini ... Bantu aku melakukan sesuatu," kataku bersemangat.

"Apa yang bisa kulakukan?"

Dengan ceria aku menjawab, "mengambil hati Pixie!"

"Kau ingin aku memakan Pixie? Kau mengerikan."

Aku mengerutkan keningku. Bukan itu yang kumaksud. "Membuat dia percaya pada kita dan menaruh hati pada kita."

"Caranya?"

Dengan senyuman mungkin paling lebar yang pernah kutunjukkan, aku mengajak Ash mengikutiku.

Aku bertemu dengan anak-anak ekstrakurikuler berkebun. Mereka sedang minum teh dan memakan cemilan.

"Ah, kau datang lagi! Kau ingin bergabung dengan klub kami? Setiap Minggu pagi ada acara minum teh di rumah kaca yang indah ini. Kau mau?" tawar gadis yang sama dengan yang menanyaiku kemarin.

"Akan kuberikan jawabanku kalau aku ke sini lagi lain waktu. Omong-omong boleh aku meminta jerami? Dan meminjam beberapa peralatan. Ada tanaman yang menarik perhatianku."

Aku berkata seramah mungkin dan malah mendapat celetukan bahagia.

"Ah, kau mengerti dengan kelembapan tanah! Kau sangat cocok dengan kami. Kami akan menunggumu dengan senang hati!" seru gadis yang  sering menawariku bergabung. Kuketahui namanya adalah Evelyn.

Setelah berkata demikian salah satu temannya menyodorkan seikat jerami kering kepadaku, katanya jerami ini siap digunakan karena sudah disemprot agen hayati yang aman untuk diberikan tanaman.

Aku berterimakasih dan segera membawanya pergi. Tidak lupa aku mengambil beberapa alat yang kubutuhkan dan aku berjanji akan mengembalikan nanti siang di sini. Katanya saat siang mereka mungkin saja sudah pergi jadi aku tinggal menaruh di pinggir dekat pintu kebun ini.

Lalu aku pergi ke taman dekat dengan bunga phlox yang tumbuh cukup jauh dari kebun terlebih membawa jerami, gunting pemangkas dan penyiram tanaman. Sedikit kesusahan memang tetapi aku tidak mempermasalahkannya apalagi nekat meminta bantuan Ash yang bisa saja membuat sekolah gempar atau barang yang dibawanya jatuh berserakan mendadak seperti ketika ia menerawang begitu saja. Ketika aku sampai, kutaruh jerami di atas tanah dan mulai menatanya. Tidak lupa aku juga menyiram tanaman tersebut. Sembari melakukan demikian, kupinta Ash duduk di sampingku dan menyanyikan sesuatu.

"Mereka sangat suka tanaman tempat tinggalnya mendapatkan perlakuan khusus, nyanyian, dan pujian."

Ash mengerti maksudku.

Suara Ash cukup enak dan aku menyuruhnya menyanyi, kupikir Tan bakal suka.

"Aku tidak ingat lagu-lagu."

Dia kemudian menyanyikan lagu tanpa lirik. Aku mengamatinya, meski hanya sekadar Lalalalala, aku tahu dampaknya begitu nyata. Bunga Phlox yang sedang kupangkas bagian matinya ini ikut menikmati.

"Tan suka lagunya xi."

Suaranya kecil dan masih enggan menunjukkan wujudnya tetapi aku tahu dia senang.

Begitu selesai memangkas yang merupakan akhir dari rangkaian perawatan bunga phlox spesial ini.

"Bunganya cantik," kataku sebagai rangkaian rencana. Ash juga menyetujuinya. Ia sudah menyanyi karena aku merasa sudah cukup untuknya bernyanyi.

"Te-terimakasih."

Sosok kecil hijau itu muncul dari bunga kuncup yang ia mekarkan. Saat mekarnya bunga itu karena bantuan Tan sangat cantik. Ia turun ke bunga yang lebih rendah dan meminta tanganku.

"Mari kita berteman betulan, kawan," katanya menatapku dan Ash. Rencana kami berhasil.

Dengan begini, aku yakin sekolah akan menjadi lebih sedikit mudah untukku dan Ash. Kami bisa meminta bantuannya kapan saja.

Setelah itu aku mengembalikan alat pemangkas dan penyiram tanaman lalu kembali ke kamar. Ash kali ini tidak ikut, hanya aku sendiri, dan aku mengizinkannya.

Sampai pada sore hari Esme akhirnya pulang. Wajahnya berseri-seri. Lyona hanya tersenyum lega, sepertinya ia telah berjuang keras. Aku langsung memeluk mereka di pintu kamar.

Esme langsung bersiap untuk menceritakan ulang semua hal yang ia ceritakan di telepon. Namun, kuhentikan dan menyuruhnya untuk mandi terlebih dahulu dan bergantian mandi dengan Lyona.

Kini tinggal aku dan Lyona di kamar. Ia menceletukkan sesuatu yang sangat kusetujui. "Aku tidak tahu kalau Harvey semengerikan itu dan mengapa Esme bisa sangat menyukainya."

Aku setuju, Harvey memang sangat mengerikan. Namun, mereka adalah pasangan yang paling kompak. Fakta ini tidak bisa diabaikan.

Begitu Esme selesai mandi, kini berganti Lyona.

Dan dengan senyum yang paling lebar yang pernah kulihat.

"Jadi, seperti yang kau tahu...."

Esme mulai bercerita.

°°°°°

Hari itu hari yang tak terlupakan Esme menceritakannya dengan sangat bahagia. Pipinya memerah saat itu sambil bercerita. Nadanya saat bercerita pun sangat lembut tidak seperti Esme biasanya. Bahkan pilihan kata yang ia ucapkan pun juga sangat-sangat berbeda. Kata Lyona, dia sedang fase jatuh cinta. Aku tidak mengerti bagaimana Lyona bisa seperti sangat tahu menahu. Namun, aku merasa ucapannya benar adanya.

Membayangkan aku berada pada fase itu sungguh tidak mungkin. Walau ada beberapa bagian yang membuatku merasakan apa yang juga Esme rasakan, meski sebenarnya aku tidak mengerti mengapa aku merasa seperti itu.

Aku teringat ketika merasakan pipiku panas saat berada di dekat dia.

Siapa lagi memangnya kalau bukan dia yang wajahnya terus kuamati untuk mencocokkan wajah di album kenangan saat ini. Ini hari senin sore yang benar-benar panas. Esme dan Lyona juga berada di ruangan ini bersamaku tetapi aku heran mengapa mereka tidak kepanasan.

"Kau tak apa? Wajahmu merah." Dia berkata sembari mendekatkan wajahnya yang membuatku memukul mundur wajahku.

"Tidak apa-apa. Mungkin di sini panas," kataku sembari mengibas-kibaskan tanganku.

"Musim dingin sudah di depan mata, lho," katanya yang menatapku bingung.

Aku terpukul telak tidak mampu beralasan lagi, jadi yang kulakukan hanya menyengir bodoh dan menyuruhnya untuk duduk diam di depanku.

Alis yang tebal, dan mata yang abu-abu. Dia diam menatapku. Kutatap balik dan melihat wajahnya lebih terlihat hidup daripada ketika aku melihatnya pertama kali. Sudah tidak agresif seperti dulu pula, yang ada sekarang dia menawan.

Andai orang-orang biasa dapat melihat penampakan wajahnya saat ini, kupikir mereka tidak masalah mengantri diciumi makhluk ini.

Untung saja hanya aku yang dapat melihatnya. Aku tidak perlu khawatir.

Eh, tunggu?

Apa?

~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro