-Sembilan Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Terkadang mempertimbangkan resiko dapat membantu apapun
.

Ash menggeleng. Ia mengatakan hanya memanggil-manggil namaku daritadi karena aku mengigau.

Kuangkat tanganku, rupanya ia masih gemetaran dan aku langsung mengangkat kakiku ke dada lalu memeluknya. Entah kenapa rasa takut itu masih menjalar di tubuhku. Seolah yang kulihat itu sangat realistis. Daisy menjadi seperti itu.

Ash duduk di kasur sampingku, tangannya mencoba menyentuh tanganku. Awalnya kupikir akan tembus. Namun, ternyata tidak.

Aku merasakan dinginnya tangannya untuk beberapa saat merayap di punggung tanganku. Walau hanya sebentar karena Ash transparan lagi.

"Thanks," kataku tahu Ash mencoba menenangkanku. Setelah beberapa saat akhirnya aku sudah tenang. Kucoba menceritakan apa yang kumimpikan pada Ash.

"Daisy, temanku menjadi seperti itu dan ada suara seseorang yang kukenal mengatakan sesuatu sebelum aku terbangun. Aku tidak ingat siapa itu tetapi terasa familiar," kataku.

Ash menenangkanku mengatakan itu hanyalah mimpi dan mimpi adalah bagian dari fantasi diri.

Aku mengiyakan dan berusaha untuk tenang. Tidak lupa kuucapkan terimakasih padanya yang telah menemaniku. Kalau tidak, bisa saja aku masih ketakutan sampai Esme datang besok sore.
Rasa takut karena mimpi buruk biasanya membuatku bertahan sampai ada seseorang yang datang menenangkanku. Aku pernah mimpi buruk saat berusia 8 tahun. Saat itu aku masih buta dan tuli. Aku juga tidak bisa membedakan apakah aku sudah terbangun atau hanya mimpi saat itu. Sampai ada tangan kecil yang menyentuh dan mengelus rambutku.

Aku benar-benar tidak bisa melupakan usapan saat itu.

Langit sudah sore saat aku bangun dan sadar. Lantaran aku tidak ingin makan pagi dan siang yang terlewat di kantin sendiri. Jadi kuputuskan untuk membawanya dari kantin ke kamar. Begitu aku tiba di sana katanya kantin tidak membuat banyak makanan saat hari libur karena sebagian banyak murid tidak ada di asrama. Hal ini yang membuatku hanya mendapatkan scrambled egg dan nasi.

Sedikit tidak nafsu makan, tetapi kuputuskan untuk makan. Ash menatapku dengan bingung.

"Aku sempat lupa kalau kau manusia yang perlu makan."

Aku meringis dan tersenyum lembut. "Ya, aku tadi malah sempat lupa kalau kau bukan manusia baru ingat saat tanganmu tiba-tiba menerawang."

Dia tersenyum lembut.
"Hahaha, miris ya. Aku tidak tahu apakah aku masih bisa dikategorikan manusia."

Aku merasa itu satire. Jadi kini aku yang berbalik menenangkannya dan berkata masih ada harapan.

Setelah itu karena tidak ada hal yang dapat kulakukan lagi.  Aku mengajaknya bermain catur.  Aku memang tidak cukup tahu cara bermain, tetapi aku tahu aturan-aturan dasarnya.

"Bishop ke depan," kata Ash sembari menunjuk bidak hitamnya.

Aku menggerakkan yang ia tunjuk dan selama permainan berlangsung tanpa kusadari aku menerima skakmat.

"Kau kurang memperhatikan resiko yang ada, Isla. Dan selama permainan berlangsung kau terus melakukan itu," kata Ash menceramahi ku seperti orangtua.

"Look before you leap," katanya lagi.

Aku meneguk ludah. Tidak kusangka Ash cukup ahli bermain catur. Catur kepunyaan Lyona ini baru saja dibeli ketika ia di kamar ini dan baru saja dimainkan beberapa kali oleh kami. Berbekal buku yang dipinjamkan teman Lyona. Kami tahu dasar-dasar dan beberapa tekniknya meski terkadang aku melupakannya. Yang jelas, Ash bermain seperti seseorang yang terampil.

"Ash. Apakah kau tidak ingat sesuatu begitu mengenai catur ini? Ka-kau cukup ahli," kataku tidak berbohong sembari memuji taktik yang ia gunakan untuk menangkap rajaku.

Dia menggeleng dan mengatakan kalau ia menggerakkannya seolah ia tahu begitu saja. Tidak betul-betul ingat.

Aku mengangguk-angguk. Aku tahu rasanya seperti itu. Seperti deja vu, tetapi memang kenyataannya seperti itu. Kita tahu.

Setelah itu, Ash tiba-tiba pamit pergi setelah melihat jam di dinding.

"Aku merasa tiba-tiba ingin melihat matahari tenggelam di teralis perpustakaan," katanya yang membuatku terdiam.

Jujur saja aku cukup malu untuk mengatakan ini. Namun, aku tidak ingin ditinggalkan pergi oleh orang sembari menunggu Esme dan Lyona datang.

"A-apakah kau menemaniku sa-sampai aku tidur?"

Rasanya malu setengah mati, tetapi aku juga cukup takut untuk tidur. Rasa akan kembali buta dan tuli, mimpi buruk, serta tidak bisa membedakan mana kenyataan dan mimpi itu membuatku ketakutan.

Aku mengharapkan peng-iyaan darinya. Namun, yang kudapat hanyalah sebuah tatapan diam dengan pikiran yang tidak mampu kutebak.

"Ah, baiklah jika kau tidak mau."

Berusaha kusenyumkan bibirku dan segera kusuruh Ash pergi karena aku akan mandi dan mempersiapkan diri mengambil menu makan malam sebelum kehabisan karena tidak ada yang dapat kutitipi menjaga jatahku. Tidak lupa juga kuantarkan piring makan siangku tadi ke kantin.

Sampai pukul delapan malam, usai aku makan malam dan mengantarkan piring kembali—aku makan di kamar karena tidak menemukan teman yang kukenal di kantin—kuamati kamarku yang sepi. Tidak ada Esme yang ramai dan Lyona yang sangat dewasa membuatku kesepian.

Kuputuskan untuk menelpon mereka di kantor Nyonya Merry melalui telepon genggam ayah. Di sana aku menemukan Daisy dan Nyonya Merry berbicara, jadi aku tidak masuk dulu sampai Daisy keluar. Begitu Daisy keluar ia dengan wajah dingin seperti biasanya melewatimu. Tanpa menyapaku atau mengomeliku. Aku ingin menyapanya tetapi rasanya tidak mungkin jadi aku segera masuk dan meminta izin untuk menelpon.

Saat ayah mengangkatnya, kudengar suara serak ayah yang rupanya sudah tertidur dan bangun kembali karena telepon. Ayah tahu apa yang kubutuhkan begitu kutanyai tentang Esme jadi ia memberiku nomer telepon rumah Esme.

"Terimakasih, Love you Dad!"

Aku menutup telepon dan berganti menelepon Esme. Kebetulan yang mengangkat telepon tersebut adalah Esme sendiri dan begitu kutanyai hasil akhirnya bagaimana. Ia histeris bahagia saat bercerita.

Hal yang dapat kusimpulkan:

1. Sebenarnya Harvey juga mempunyai rasa pada Esme.
2. Namun, ia merasa masih terlalu kecil dan ingin fokus pada sekolah dan pekerjaan membantu pamannya
3. Esme disuruh menunggunya
4. Namun, hubungan mereka dibilang juga sudah resmi
5. Walau sekali lagi nomer dua adalah yang paling utama.
6. Harvey minta ingin diperlakukan seperti biasanya saja.

Keenam hal itu adalah kesimpulan dari cerita dua jam tanpa berhenti dari Esme. Sampai-sampai Nyonya Merry menyudahi panggilanku dan menyuruhku untuk segera tidur. Sekarang sudah jam sepuluh lebih.

Sebelum telepon dimatikan aku menanyai pukul berapa dirinya dan Lyona akan pulang besok. Esme sedikit enggan menjawab, aku mengerti perasaannya. Jadi aku tidak ingin menuntutnya lebih jauh lagi dan segera menyudahi telepon kami.

Aku berterimakasih pada Nyonya Merry lalu beranjak pergi. Selasar kamar asrama begitu sepi dan begitu aku membuka kamar. Kamarku begitu gelap. Kunyalakan lampu dan melihat dua kasur kosong yang biasa ditempati Esme dan Lyona masih tertata rapi. Kubaringkan diriku di kasur dan memejamkan mata. Kulakukan hal itu sampai satu jam di dinding sudah berlalu. Nihil hasilnya. Aku tidak bisa tidur. Aku takut.

Bayangan mengerikan Daisy tertancap di benakku. Terlebih ketika tadi aku bertemu Daisy secara nyata. Itu mengerikan sekali. Kucoba membaca buku pelajaran yang katanya dapat membuat kantuk. Namun, hasilnya juga nihil. Aku tidak terserang kantuk bahkan tahu-tahu aku sudah menghabiskan buku Biokimia untuk dibaca.

Kubaringkan badanku lagi di kasur, tetapi hasilnya masih nihil sampai tahu-tahu jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Sekonyong-konyong sebuah suara membuatku hampir menjerit ketakutan. Suara tidak berbentuk orang nyata itu masuk dan menampakkan dirinya. Itu Ash yang membuatku serasa seperti jantungan.

"Ada apa?" tanyaku berusaha menenangkan diri.

"Sudah kuduga kau tidak bisa tidur. Akan kutemani kau. Jadi tidurlah," katanya pendek sembari duduk di kursi yang mendadak bisa ia pindahkan untuk menghadapku. Walau kini ia jadi terlihat terapung di atas kursi. Ia tidak berhasil duduk.

"Aku tidak akan berbuat aneh-aneh. Akan kutemani kau sampai tertidur. Baru aku pergi," katanya lagi.

Aku mengangguk-angguk berterimakasih dan mencoba memosisikan badanku. Namun, aku yang tidak kunjung tidur sepertinya membuat Ash.

"Kau masih takut dengan mimpi tadi siang?"

Aku mengangguk membenarkan.

"Akan kuceritakan sesuatu supaya kau cepat tidur."

Aku mengangguk-angguk dan jadi semangat mendengarkan meskipun aku sendiri tidak menunjukkannya. Jujur saja, cukup malu kuakui kalau suara Ash cukup enak didengar. Mendengarnya bercerita seperti ini membuatku bersemangat.

"Pada suatu hari, ada raja yang hidup di tengah hutan. Raja itu perkasa sekali. Semua hewan takut padanya."

"Jangan bilang kalau kau menceritakan the lion and the mouse?" tanyaku kesal. Cerita ini adalah salah satu cerita yang memiliki buku braillenya di rumahku. Itu pemberian Tom. Salah satu cerita anak yang pendek.

Ash terkikik membenarkan, katanya ia merasa familiar dengan cerita itu. Jadi begitu ia melihat buku itu di perpustakaan. Ash membacanya lebih detail siapa tahu ada petunjuk mengenai ingatannya.

Aku mengaguk-angguk cukup mengakui usaha Ash dan segera memintanya menceritakannya karena aku tidak terlalu bermasalah dengan cerita itu.

Ash menceritakannya dengan baik. Suaranya yang indah, intonasi yang tepat, dan ritmenya yang bagus, benar-benar dapat diacungi jempol. Sampai pada titik si Singa bertemu kembali dengan si Tikus di jebakan pemburu, aku jatuh tertidur.

~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro