-Enam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Terkadang takdir seperti sembelit, terjadi karena hukum kausalitas

.

Aku teringat dengan suatu obrolanku bersama Tom kala ia masih mengajariku beberapa bulan yang lalu. Ia bercerita tentang kartun favoritnya dari Asia. Aku tidak tahu Asia merupakan kota bagian mana di Inggris, yang jelas, Tom memberitahuku kalau berhasil mengumpulkan tujuh bola naga, akan ada naga yang muncul untuk mengabulkan segala permintaanmu.

Aku sudah mengumpulkan dua barang jawaban dari teka-teki yang diberikan oleh roh Kehidupan padaku. Namun, sampai hampir tengah malam dan hari berganti besok di mana pertanda hari terakhirku akan tiba tak kunjung muncul sesuatu seperti tujuh bola naga bila sudah bertemu bersama. Sampai-sampai aku tahu sudah pagi dan menyadari kalau telur angsa anehku telah pecah dan jamur kuping menghilang dari tempatku meletakkannya saat menunggu roh kehidupan muncul semalam.

Rasanya hatiku hancur berkeping-keping, dan langsung menangis berjam-jam. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tiba-tiba kondisinya seperti itu dan itu membuatku ketakutan serta putus asa.

Ibu mendatangiku dan memelukku. Aku yang tengah menangis melupakan aktingku langsung disambut dengan tangisan bahagia ibu yang pecah begitu menyadari aku melihatnya. Ia memanggil adikku dan memastikan kalau aku mampu melihatnya. Namun, bukan itu. Sungguh bukan itu penyebab aku menangis dan mulai meraung-raung. Melainkan kenyataan kalau tiba-tiba besok aku buta dan tuli kembali itu lebih menakutkan.

Hingga pukul satu siang, akhirnya kami semua baru tenang. Tina membawakanku dan Ibu air untuk diminum dan aku dipinta istirahat agar aku tidak kecapaian atau yang ibu dan aku takutkan yakni kembali buta yang sebenarnya juga kutakutkan. Ibu kemudian bangkit dari kasurku dan mengatakan untuk menelpon Ayah agar pulang lebih cepat minggu ini.

Kini tinggal aku dan Tina di kamar. Satu-satunya orang yang tahu keberadaan barang aneh di rumah ini hanyalah dirinya, jadi aku menanyainya yang kemudian malah disambut sesuatu seperti cemoohan.

"Rupanya yang kuduga benar adanya. Apa benda-benda kemarin menyembuhkan kutukanmu? Yang jelas aku tak pernah menyentuhnya, Mom pun begitu."

Aku tidak mengerti mengapa ia tiba-tiba kembali dingin, padahal kuyakin sebelumnya parameter rasa persaudaraan kami meningkat daripada sebelumnya. Setelah itu ia meninggalkanku dan berganti Ibu yang membawakanku sarapan ke dalam kamar.

Setelah makan aku menjadi agak tenang dan meminta ibuku untuk menyuruh Esme-barangkali Harvey juga ikut-untuk masuk ke kamarku bila mereka tiba di sini. Aku yakin, mereka akan berkunjung lagi hari ini, walaupun niat mereka terlihat seperti ingin mengajakku main di luar.

"Aku tidak yakin diperbolehkan pergi," kataku saat aku benar-benar akan diajak main ke luar rumah bersama mereka.

"Tidak hanya aku dan Harvey, aku juga mengajak Daisy bermain. Aku ingin kalian berkenalan," bujuk Esme. Namun, aku tetap menggeleng yang membuatnya terlihat kecewa.

"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan sampai menyuruh kami masuk? Aku tidak yakin hanya sekadar mengatakan untuk menolak ajakan."

Aku yakin Harvey sudah mendengar pikiranku, tetapi tetap kuceritakan saja apa yang terjadi mulai dari telurku yang pecah tetapi tidak ada bekas isinya dan jamurnya yang hilang sampai meminta saran aku harus bagaimana bila besok aku benar-benar kembali buta dan tuli.

"Kau tahu, aku sungguh takut. Seperti telah memberikan harapan palsu yang sangat pahit ke keluargaku," kataku sembari terus menerus menahan tangis.

"Kau seperti orang yang sakit perut karena tidak bisa buang air besar." Esme tiba-tiba berkata seperti itu sembari menatapku datar.

Aku menoleh menatapnya dan berpikir keras maksud ucapannya tetapi tidak berhasil. "Maksudnya?"

"Padahal hanya karena kurang makanan berserat dan air, kau membuat semuanya jadi rumit padahal itu sederhana."

"Tapi itu tetap saja menyakitkan," kataku membela diri dengan perumpamaan Esme yang tidak kumengerti.

"Menyakitkan tetapi tetap kau terima kan? Memangnya bisa kau hindari kalau kau terlanjur menerapkan pola makan tidak sehat seperti itu."

Aku mencoba mencerna tetapi masih saja gagal. Hingga Harvey yang ikut andil pada perumpamaan ini sebagai penyimpul baru aku paham.

"Maksudnya, bagaimana pun juga kau harus tetap menjalaninya. Karena itu takdir."

Aku paham, tetapi kata-kata Harvey ada yang membuatku tersinggung.
"Jadi, sembelit adalah takdir?"

Beberapa tahun ini aku memang sering mengalami sembelit, ini karena aku kurang menyukai untuk memakan buah akibat trauma buruk-saat aku buta-yang memakan buah busuk dan bermakhluk hidup di dalamnya. Ibu dan adikku langsung kalap menampar wajahku untuk memuntahkannya dan menyuruhku kumur serta minum air berkali-kali.

Harvey terlihat bingung dengan pertanyaanku yang terlihat barangkali kesal. Walau itu memang kenyataan karena mengingatkanku akan sembelit yang pernah kualami. Ia menggaruk rambutnya yang seperti sarang burung saking tebal dan panjang ke bawah mirip karakter Shaggy di kartun scooby doo. Aku menduga, Harvey jarang cuci rambut.
"Erm, aku tahu kau kesal dengan ucapanku mengenai sembelit itu takdir, tapi bisakah kau mengontrol pikiranmu? Karena aku mendengarnya."

"Kau yang memulainya," kataku dengan dingin yang kemudian kupahami kalau parameter pertemananku terhadapnya menurun. Apalagi terhadap kemampuan mendengar atau melihat pikiran yang kupikir tidak bisa ia gunakan dengan baik, bukannya malah menguping atau mengintip seperti ini.

Esme tiba-tiba mencubit Harvey. Harvey sempat mengaduh kesakitan dan ia pun disuruh diam oleh Esme.

"Jadi, seperti yang kukatakan tadi. Meskipun sakit, kau harus menerimanya. Akan ada kelegaan di akhir kalau kau menyelesaikannya dengan baik."

"Jadi, kau menyuruhku untuk menceritakannya pada keluargaku? Dan menyelesaikan semua ini terlepas bagaimana pun itu?"

Esme mengangguk. "Keluarga adalah yang terdekat denganmu, bukan aku dan Harvey."

"Tambahan, guru yang ada di pikiranmu itu," saut Harvey yang mana tidak kugubris.

Aku diam saja setelah itu. Sampai tiba-tiba Harvey diajak pergi Esme untuk pulang. Meski hari ini hari libur Esme dan Harvey harus segera menyelesaikan PR yang diberikan dari sekolah.

Sedangkan aku setelah itu kembali mengurung diri di kamar. Ayah akan segera pulang besok dari trip yang ia pimpin. Aku membayangkan apa jadinya besok jika aku kembali buta. Saking terlalu banyaknya membayangkannya. Kurasa aku bahkan sudah sampai di alam mimpi yang kusadari kalau ini tidak nyata.

"Kau boleh berpikir begitu," kata sebuah suara di ruangan kosong yang tak kuyakini warnanya apa ini.

Meski begitu suara itu terasa mendekat dan menampilkan wujudnya yang berupa cahaya keemasan.

"Selamat, kau berhasil menemukan milikmu kembali. Kau melewati ujian dariku. Dan kau memiliki teman-teman yang baik."

Itu adalah roh yang memberitahuku kemarin. Itu roh kehidupan.

"Jadi, seperti yang kujanjikan sebelumnya. Kau akan memperoleh kembali milikmu, bahkan aku telah menghadiahkan sesuatu. Kau dapat mengeceknya besok," katanya lagi.

Aku menerima sebuah daun yang tiba tiba jatuh ke tanganku. Aku mengenali daun tersebut seperti daun ivy beracun yang berwarna kemerahan, tetapi tangkai yang terpotong tidak nampak seperti tanaman itu. Jadi kuamsusikan bukan.

"Itu pemberian dari bawahanku. Sepertinya ia menyukaimu dan ingin berteman denganmu."

Aku mengucapkan terimakasih dan menanyakan satu hal lagi untuk memastikan sesuatu. Satu hal penting terkait agar aku tidak mengulangi kejadian yang sama. Bertemu dengan roh-roh ini lagi.

"Apakah portal rohmu pindah dari desa ini?"

"Tidak, portal roh tetap akan di desa ini. Desa ini adalah desa yang cocok untuk kami keluar masuk portal."

Aku tahu, portal tersebut tidak akan lagi berada di bawah kasurku, jadi aku menanyakan mengenai kemungkinan apakah ia akan memindahkan portal di luar desa ini-yang kuyakini lebih aman. Dan ternyata betulan, sepertinya portal itu terikat dengan desa ini.

"Kalau begitu. Sampai jumpa. Semoga kita tidak bertemu lagi," katanya.

Aku pun juga begitu, "Semoga sampai tidak jumpa lagi."

Besoknya aku bangun dan mendapati ada hal yang menggelitik di sekitar tubuhku. Kupikir itu elusan ibu, jadi aku mengerang. Namun, aku sadari itu bukan. Aku menyadari malah ada beberapa bunga yang digeserkan di atas kulitku. Sedangkan yang menggeserkannya kusadari besarnya setengah dari telunjukku. Memakai topi. Tidak bersayap. Dan tersenyum ke arahku yang kemudian membuatku terjatuh dari kasur.

Yang dibawanya adalah bunga yang mirip anemon. Bunga angin. Bunga yang kupahami sebagai simbol hidup dan harapan. Aku tahu itu karena bunga itu ditanam di pekarangan nenek Esme.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro