-Lima

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Terkadang ada banyak rahasia disekelilingmu yang ternyata tidak kau ketahui meski kau dekat

.

Esme menatap bolak-balik antara aku dan seseorang yang katanya bernama Harvey ini. Namun, laki-laki yang kutatap ini hanya tersenyum. Suaranya saat menyilakanku serta Esme duduk di salah satu bangku sedikit berbeda ketika ia berbicara di kepalaku. Pantas saja aku tidak mengenalinya saat buta. Tak lama berselang ia kembali lagi membawa dua piring dengan masing masing setengah potong lingkaran bubble&squeak.

"Masih hangat, silakan dinikmati. Makanan ini tidak ada di menu. Kebetulan aku sedang membuatnya tadi dengan sisa bahan."

Masih dengan keadaan sangat was-was, kupotong kecil makanan berbahan dasar kentang ini. Makanan yang bisa dibilang cukup jadul, tetapi sangat enak.

"Jadi, bagaimana kau bisa sembuh?" tanya Harvey yang kemudian membuatku harus berpikir untuk memilih kata yang tepat agar tidak disalahpahami.

"Oh begitu, jadi bagaimana Clue-nya? Akan kubantu."

Padahal aku belum berkata apa-apa ditambah Esme yang masih keasyikan memakan miliknya.

"Kau memiliki kemampuan mendengarkan apa yang kupikirkan dan berbicara di pikiranku?"

"Iya, dan aku melihat pola."

Esme tiba-tiba menyahut dengan mulutnya yang penuh akan jejalan kentang yang ditumbuk itu. Aku menyodorkan tisu saku yang kubawa. Ia menerimanya dan mengucapkan terimakasih.

"Daripada membicarakan hal seperti ini, bukankah lebih baik kita membahas mengenai clue yang diberikan bukan? Kutahu kau sedikit kesulitan memahaminya kan?"

Aku tidak mengerti bagaimana mereka bisa menerima keanehanku secepat ini. Namun, yang dikatakan mereka benar adanya. Kupikir aku akan menjelaskannya pelan-pelan saja.

"Kau tidak perlu menjelaskannya kepadaku. Jelaskan pada Esme saja. Dia yang paling banyak butuh pencerahan."

Esme meninju kecil bahu Harvey yang duduk di seberangnya sembari menyumpahi dengan menekankan kalau ia akan sangat mudah paham.

Walau kenyataannya, yang dibilang Harvey lah yang tepat. Esme kesulitan memahami ceritaku.

"Jadi, kau bilang kau mencari sesuatu yang dijaga oleh kesetiaan, tersembunyi di tempat yang nyaman, dan lahir bernoda tumbuh murni. Lalu yang satunya lagi tersembunyi dalam ketenangan, dan menumpang kehidupan? Siapa sih mereka yang seenak udel membuat teka-teki seperti ini!"

Aku hanya tertawa kecil dan bersabar dengan ucapan Esme yang sedikit kasar. Dua tahun lalu saat aku pertama kali mendengar suara Esme itu membuatku syok. Saking kasarnya, bayanganku terhadapnya yang manis dan menyenangkan runtuh seketika.

"Kalau dia punya lubang pantat, ingin kusumpahi dia sembelit seumur hidup."

Katanya sewaktu itu, saat aku menceritakan kepadanya apa yang terjadi padaku. Sayangnya masing-masing dari kami tidak tahu apakah roh-roh yang mengutukku memilikinya. Meskipun blackhole saja yang katanya memiliki lubang untuk mengeluarkan. Kupikir, roh pasti memilikinya juga, atau barangkali memang tidak memiliki.

"Sudahlah, Esme. Yang dimaksud Isla tadi ialah petunjuk yang harus kita selesaikan. Kupikir sembari memikirkan jawabannya, bagaimana kalau kita berjalan-jalan?"

Aku menyetujui saran Harvey dan lekas mengajak Esme keluar. Tak lupa menghabiskan bubble&squeak milikku dengan terburu-buru. Aku segera meninggalkan pub yang mulai ramai didatangi orang-orang dewasa untuk minum-minum.

Harvey izin dari pub untuk ikut menemani kami. Ia berjalan di samping Esme, membuat Esme terapit antara aku dan dirinya. Sampai tiba-tiba Harvey memulai sebuah pembicaraan tatkala kami baru beberapa langkah meninggalkan pub.

"Jadi, karena kau bisa melihat sementara waktu ini, tidakkah kau melatih aktingmu yang pura-pura buta itu? Dan lebih mawas diri?"

Pertanyaan Harvey sukses membuatku teringat akan gelagatku yang kupikir hari ini sangat aneh. Bila dipikirkan ulang, memanglah begitu. Seperti aku berjalan ke arah sebaliknya padahal aku tahu kalau aku mendengar suara di depanku. Padahal cukup menggeserkan arah pandangan kurasa itu sudah cukup bagus. Lalu ditambah tingkahku saat di pub yang sangat melupakan diri kalau aku buta. Sungguh. Aku harus bagaimana ini.

Spiral-spiral ketakutanku muncul dalam bentuk lain lagi, tidak lagi ke rumah sakit jiwa tetapi orang-orang akan meneriakiku penyihir lalu membakarku, atau aku terkena kutukan--atau memang sudah begitu walau tidak sampai meneriakiku menakutkan, dan orangtua serta adikku yang akan pergi meninggalkanku.

"Orang-orang di pub tadi tidak ada yang menyadarinya. Kalau tentang keluargamu, kupikir tidak ada yang perlu dicemaskan."

Suaranya kecil, tetapi aku dapat mendengar Esme mencebikkan bibirnya.
"Aku tidak tahu apa yang kalian bicarakan, atau kau Harvey yang suka menguping pikiran orang. Sekarang ayo kita selesaikan clue-nya terlebih dahulu."

Esme kemudian menggaet lenganku dan lengan Harvey untuk berjalan lebih cepat. Namun, aku menahannya dan menanyakan akan pergi ke mana dahulu.

Harvey yang tiba-tiba seperti mendapatkan ilham dengan cepat menjawab, "Ke arlingtown row terlebih dahulu."

Kami pun menuruti dan tiba di sana. Namun, tidak menemukan apa pun.

Tempat kami selanjutnya adalah rack of isle. Namun, karena sejatinya tempat itu tidak pernah digunakan lagi dan selalu ramai oleh para turis, rasanya tidak ada yang dapat ditemukan di sana dan kami memutuskan untuk ke arah jalan pulangku yang jalannya berhadapan langsung dengan arlington row, tempat sungai Coln lebih dalam lagi.

Aku menikmati langit berwarna oranye yang sebagian tertutup mendung di atasku. Sisa-sisa musim dingin yang masih ada atau pun akibat dari perubahan iklim membuat napasku mengepul di udara. Barangkali mungkin karena terletak di desa, cuaca di sini masih cukup dingin dan tidak sehangat bayanganku di London.

"Isla, apakah pernah terlintas di pikiranmu, bagaimana cara angsa berselingkuh?"

Pertanyaan konyol itu terlontar dari bibir Esme yang tengah menyandarkan tangan mengikutiku menghadap sungai. Ada sepasang angsa berenang di sana.

Tentunya aku tidak tahu. "Bukannya angsa malah terkenal setia? Omong-omong pertanyaanmu acak sekali."

Tahu-tahu malah Harvey yang di belakang kami, ikut menyahut. "Nah, itu dia! Itu dijaga oleh kesetiaan! Itu artinya di sekitar sini."

Setelah itu, Harvey melompati dinding pembatas dan kuikuti lalu memasuki area pinggiran sungai untuk mencari sesuatu yang bisa jadi berbentuk bola mataku. Kata Harvey selanjutnya, barangkali bentuk yang harus kami cari ialah sesuatu yang menyerupai telur. Hal ini karena sesuai dengan petunjuknya, yakni dijaga oleh kesetiaan atau dapat dipahami sebagai si angsa dan tersembunyi di tempat yang nyaman di mana dapat dipahami sebagai telur. Telur angsa berada di sarangnya yang nyaman. Walau ini dugaan saja, tetapi kami merasa sangat yakin.

Lantaran takut memijak bakal bunga jenggot jupiter yang sangat kusukai di sini, kumasukkan kakiku di air. Airnya sedingin es meskipun sudah mulai masuk musim semi. Aku jadi berandai lagi jika saja cuaca di sini seperti di London. London merupakan kota yang sangat ingin kukunjungi.

"Aku menemukan polanya!"seru Esme yang berasal dari pinggiran dinding. Rupanya ia tidak ikut melompati dinding dan mencari sepanjang sungai seperti yang aku dan Harvey lakukan.

Namun, aku masih tidak mengerti apa yang dimaksud pola oleh Esme.

"Esme melihat semua hal di sekitarnya menghasilkan pola."

"Barangkali, dia menemukan pola unik di sekitar sini," tambah Harvey yang masih melangkah di pinggiran sungai dengan hati-hati menuju arah yang ditunjuk Esme.

Aku mengikutinya dari belakang dengan air yang sepaha, dan celanaku yang basah kuyup. Setelah kupikir ulang, pilihan untuk masuk ke air adalah salah besar.

Mereka berhenti terlebih dahulu, dan aku memastikan angsa yang berenang di dekat kami akan menyambar kami atau tidak, rupanya tidak. Ia terlihat tenang dan seperti menginginkan kami pergi ke tempat yang ditunjuk Esme. Di sana, ada sarang di dekat semak-semak. Sarang itu berisi dua telur yang cukup besar dan dua lagi berbentuk seperti telur ayam maupun bebek. Namun, yang membedakan ialah pola mencolok disitu. Pola abstrak kemerahan di telur yang berwarna putih tersebut.

"Mungkin, ini saraf-saraf di matamu,"ucapan Harvey sukses membuatku merinding.

Aku tidak pernah membayangkan bentuk saraf mata seperti ini, lagipula pelajaran pengetahuan alamku masih sampai ovipar, vivipar, dan ovovivipar ditambah kemarin pelajaran siklus hujan. Belum sampai bagian-bagian tubuh manusia. Jika Harvey sampai tahu, berapa usianya?

"Aku akan naik ke KS 3 tahun depan," katanya tiba-tiba yang kemudian membuat Esme ikut refleks menoleh padanya.

"Kau membaca pikiran orang lain lagi, Harvey? Kau tanpa sopan santun seperti kucing tetanggaku yang pup sembarangan di kebunku!" Esme memelototkan matanya ke arah Harvey yang malah cekikikan dan mengancam menghujani Esme lumpur sungai kalau ia masih tetap memelototinya dan mengomel di pikirannya.

Aku yang tidak tahu Esme punya teman sedekat ini, segera mengambil telur itu dan memasukkannya ke celana lalu segera keluar dari sungai. Ini dingin sekali.

"Esme, sepertinya kita harus segera mengantar Isla pulang. Ia terlihat menggigil."

Kali ini Esme nampak setuju. Tak lupa ia memasangkan kacamata hitamku yang ia bawa di kantongnya dan memanjangkan kembali tongkat butaku. Aku harus kembali menyamar.

"Kusarankan kita beralasan tadi main di Arlington row dan kau terjatuh ke paritnya," kata Harvey. Aku setuju-setuju saja padanya karena aku ingin segera pulang dan bergelung selimut. Rasanya aku mulai bersin-bersin.

Setelah itu, aku diantar dan pulang ke rumah. Ibu mengomel kepadaku karena aku yang basah kuyup. Ia heran padaku mengapa sampai bisa terjatuh ke parit, walaupun aku sendiri juga heran mengapa aku harus masuk ke sungai untuk menghindari memijak bakal-bakal bunga jenggot jupiter sedangkan Harvey malah menginjaknya.

Aku dimandikan oleh ibuku setelah itu, jujur saja ini memalukan, lalu dihangatkan di kamarku. Penghangat ruangan kamarku dinyalakan dan aku dibawakan sup hangat oleh Ibuku. Sembari menikmati itu semua, aku tahu adikku mengintip dari pintu kamarku yang terbuka sedikit. Namun, aku diam saja.

Meskipun aku sudah mendapatkan kenyaman dan kehangatan luar biasa, besoknya aku masih saja tetap demam dan pilek. Ibu pun jadi melarangku keras untuk pergi menemui Esme dan Harvey. Jadinya aku tiduran di kamar mengamati telur dengan cangkang abstrak berwarna merah dan putih di sana.

"Isla, kami menemukannya."

Itu suara segar dan dalam khas dari Harvey yang berbicara di kepalaku. Ia pasti di sekitar sini. Kuambil tongkatku dan kacamata hitam untuk mengenakannya terburu-buru, lalu segera berjalan keluar menemui mereka. Kebetulan, sepertinya ibu sedang tidak ada di rumah dan aku mendengar suara gemerisik  di kamar adik yang menyala.

Kubuka pintu dan nampak Esme dan Harvey yang tengah tersenyum ceria. Esme kemudian menyodorkan tangannya yang membuatku kemudian geli. Ada dua buah sesuatu yang terlihat kenyal berwarna cokelat gelap yang terlihat agak bening. Bentuknya aneh, seperti telinga, tapi aku tahu itu jamur karena aku sering mengumpulkannya dulu saat kecil.

"Kalian yakin ini telingaku? Bukan jamur biasa kan?"

Esme dengan mantap kemudian menunjuk ke arah lipatan jamur yang katanya mirip tulang daun telinga. Padahal aku merasa itu tidak mirip apapun jadi kuanggukkan dan kuterima saja.

Sampai tiba-tiba celetukan Harvey membuatku berpikir keras.

"Jadi, selanjutnya bagaimana?"

Jawabannya, aku tidak tahu. Roh kehidupan hanya berkata kalau aku harus menemukan mereka dan dalam artian mengumpulkan mereka juga. Apa aku harus memasak lalu memakannya? Namun, itu tidak mungkin. Itu menjijikkan terutama telur angsa kemarin.

"Benar, itu menjijikkan." Harvey berulah lagi dengan menguping pikiran orang lain, hal itu membuatnya mendapatkan cubitan dari Esme.

"Aku harus bagaimana. Pikiran kalian bergema seakan kalian juga terlihat bicara di depanku." Harvey membela diri yang kemudian mendapatkan cubitan kedua dari Esme atau barangkali seterusnya karena Esme juga mengomel mengenai dirinya yang melihat terlalu banyak pola sampai mual, tapi ia berusaha memilahnya satu-satu dan tidak memperhatikannya.

"Kalian, sejak kapan memiliki hal-hal seperti itu?" tanyaku sebagai satu-satunya orang yang tak mengerti mengapa Esme dan Harvey memiliki sesuatu yang istimewa.

"Ah, kalau aku sejak lahir. Namun, aku baru dekat dengan Esme barangkali saat ia berumur 4 tahun dan mengatakan polaku cantik."

Sedangkan Esme bercerita mengenai dirinya yang saat berusia dua tahun jatuh dari tangga dan kemudian tidak bisa mencium apapun saat itu, selain itu ia jadi melihat begitu banyak pola yang tumpang tindih.

"Lalu, ia jadi mendekati orang berdasarkan pola dan yah begitu."

Perkataan Harvey membuatku terdiam. Aku tidak pernah mengetahui hal seperti ini dari teman terdekatku. Bahkan aku tahu hal ini dari orang lain. Ini sedikit. Aku tidak menyangka, apa aku hanya yang menganggapnya teman dekatku tapi dirinya tidak.

"Tidak seperti itu, Isla. Yah, kau temannya yang cukup dekat dengannya juga, malah ini karena Esme tidak-"

Esme menyikut keras perut Harvey sampai membuatnya mengaduh kesakitan.

"Akan aku ceritakan padamu. Segalanya nanti." Esme tiba-tiba berkata pelan lalu menoleh ke arah sampingku.

"Kupikir kau perlu istirahat lagi Isla, dan selamat pagi yang indah di hari libur kan Tina! Tidakkah pagi yang cukup indah untuk sekadar berjalan-jalan bersama?" Esme menawarkan berjalan-jalan bersama pada Tina yang ternyata berjalan mendekatiku dari belakang. Aku tidak tahu kalau Tina sudah keluar dari kamar kalau tidak Esme yang berlagak seperti itu.

"Oh tidak, Esme. Aku akan di rumah saja sambil menemani kakakku. Kau tahu, dia sakit kan."

Esme mengangguk dan kemudian pamit undur diri bersama Harvey. Lalu, aku diantar adikku menuju kamar. Sempat, ia bertanya ada keperluan apa Esme dan Harvey pagi-pagi menemuiku. Kuutarakan jujur kalau mereka memberiku dua buah jamur yang kugenggam saat ini.

"Jamurnya lebih aneh dari biasanya. Untuk apa ini Isla? Jangan bilang terkait mimpimu dan kau seolah-olah harus mengumpulkan ini untuk lepas dari kutukan? Maka dari itu kau meminta tolong ke Esme untuk mencarikannya sebagai satu-satunya temanmu?"

Perkataan Tina hampir betul semua. Walaupun bumbu fantasi di perkataannya terlihat lebih masuk akal ketimbang kenyataan yang seolah fantasi ini. Namun, aku tidak berani menjawabnya karena aku tidak tahu harus mengatakan apa. Apa aku membentulkannya saja?

"Aku akan meminta Mom untuk membuangnya. Kakakku mulai agak gila karena sudah lama tidak membaca buku dongeng sepertinya."

Aku langsung meraih badan Jennie yang berniat pergi dariku, mengabaikan akting butaku, aku memohon padanya.

"Tolong, Tina. Tolong. Jangan biarkan ibu mengetahui lalu membuangnya. Izinkan aku memilikinya sampai lusa. Baru aku akan membuangnya sendiri. Kumohon tolong."

Namun, Tina tidak menggubrisku ia hanya berusaha melepaskan peganganku dan menyuruhku untuk berjalan sendiri mencapai kamar dengan bantuan tongkatku.

Aku menjadi tidak tenang.

****

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro