-Satu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku, Isla Marshall, aku percaya apa yang ada di buku dongeng itu nyata.

.

Dan aku tahu itu lebih dari sekadar hantu.

Jantungku pun berdegup kencang. Imajinasi liarku mengatakan mereka adalah pixie--makhluk dongeng berbentuk ultra mini yang kubaca di buku kumpulan dongeng pembelian ibuku. Ya, memangnya siapa yang tidak menduga seperti itu, ada yang mengobrol di bawah kasurku. Suaranya kecil seakan berbisik tetapi kau juga tahu kalau itu tidak sekecil mengembuskan napas. Jadi aku sangat yakin.

Namun, untuk apa mereka di kolong kasurku?

Aku pun mendengar percakapan mengerikan mereka. Mulai dari, "kabisat kali ini, manusia mengalami kekeringan panjang. Kematian menjadi lebih banyak, pekerjaanku menumpuk," kata suara sangar yang berat. Aku tidak tahu apa itu kabisat tapi mendengar kekeringan dan kematian adalah hal yang membuat bulu kudukku meremang.

"Wah, berkebalikan denganku. Anak manusia banyak yang tidak berhasil lahir di dunia ini, aku jadi tidak tahu harus berbuat apa karena menganggur," kata satunya lagi dengan suara lembut yang terdengar sedih.

Aku terpikir untuk melaporkannya pada ibuku sekarang. Sayangnya tidak jadi karena aku kemudian membayangkan ibuku yang mengomel, mengatakan kalau aku hanya membual karena takut tidur sendiri--ini hari pertamaku tidur di gudang yang telah disulap jadi kamar super cantik. Ditambah bila ayah yang ikut mengomel akan mengatakan imajinasiku terlalu tinggi dan mengarah ke hal yang tidak baik di mana nantinya berujung aku tidak diperbolehkan membaca buku dongeng lagi. Jadi kuputuskan aku tidak akan ke mana-mana. Namun, rasa penasaranku yang sangat besar membuatku tidak tahan untuk mengintip bentuk akan suara berisik di dini hari tanggal 29 februari ini.

Semula aku melakukannya dengan mata terpejam--takut-takut ada seekor monster berwajah menyeramkan seperti yang ada di dongeng mendadak melahapku--tetapi begitu aku membuka mataku perlahan....

Tidak ada apa pun seperti monster di sana atau pixie mungil nan lucu. Kecuali dua bola cahaya mengambang yang berwarna abu-abu dan putih terang.

"Itu anak manusia kan?" kata bola bercahaya kelabu sembari bergerak-gerak sedikit.

"Kau melihat kami, nak?" tanya bola yang berwarna putih dan kujawab dengan anggukan singkat nan cepat.

Kedua bola cahaya itu bergerak sedikit seperti saling mengangguk lalu terbang keluar dari kolong kasurku. Aku tersentak dan terjerembap begitu saja di lantai dengan kepala yang terantuk terlebih dahulu.

"Kau mendengar pembicaraan kami, nak?"

Aku bangun dan duduk di lantai menghadap mereka yang kini berada di atas kepalaku, lalu mengangguk ragu-ragu menjawab pertanyaannya sembari menggosok pelan kepalaku yang terantuk.

"Kau, anak nakal rupanya. Baiklah. Kami akan memberimu pembelajaran agar kau selalu ingat untuk tidak menguping lagi," kata bola kelabu dan disetujui oleh bola putih.

Bola-bola itu terbang mengitariku perlahan membuat seakan-akan seluruh ruangan menjadi berpendar dan aku terhanyut dalam rasa kantuk karena cahaya-cahaya itu menggiringku tidur. Aku tidak tahu hukuman apa yang akan mereka berikan padaku karena sekonyong-konyong pagi yang dingin karena musim dingin masih berusaha menumbuhkan musim semi, aku merasa ada tangan yang menggerakkan tubuhku. Tangan itu gempal seperti tangan ibu. Aku membuka mata mencoba bangun, dan menyadari semua masih gelap. Ini aneh.

Apa ada orang iseng mengelem mataku? Eh, tapi aku bisa mengedipkannya.

"Mom? Kok gelap sekali?"

Aku tidak tahu apa yang kemudian harusnya ibuku katakan. Kutahu Ibu mencoba memegang tanganku, tanpa berbicara apapun dan mengangkatku ke suatu tempat yang sepertinya kasurku.

Sungguh aku tidak mengerti apapun karena mendadak tangan ibu yang kukenali menghilang dan berganti dengan tangan-tangan hangat lain yang datang tak lama kemudian. Ada banyak orang yang sepertinya mendatangiku--mereka memegangku. Namun, aku masih tidak mengerti dan ini membuatku ketakutan karena aku tidak tahu siapa itu.

Aku tahu semua orang di sekitarku berusaha menjelaskan sesuatu padaku, juga meminta penjelasan kepadaku. Seperti tiba-tiba aku diberi sebuah papan scrabble yang ketika aku raba susunan kotak-kotaknya secara alpabetis mengatakan "Buta? Tuli?"Secara singkat, padat dan jelas.

Demi langit yang melahirkanku di antara Ibu, Ayah, dan adikku Tina yang berusia dua tahun dan aku 6 tahun, aku masih sangat kesusahan mengeja banyak kalimat lanjutan yang disodorkan ini. Jadi kueja pelan-pelan dengan bibirku dan aku mendapatkan respon pelukan. Mereka--yang entah siapa—dalam papan itu menanyaiku mengapa dalam semalam tiba-tiba aku seperti ini.

Aku teringat kejadian semalam--yang kemungkinan ini adalah hukuman dari bola cahaya aneh yang muncul di bawah kasurku. Bila aku menceritakannya, akankah mereka percaya? Apa aku akan dibawa ke rumah sakit jiwa dan dikurung di sana? Itu jauh lebih buruk daripada hukuman yang kuterima saat ini. Aku tidak mau. Pada akhirnya yang dapat kulakukan hanyalah mulai menangis.

***

Ibu mengatakan hari ini aku kedatangan seseorang yang penting melalui diskusi papan khusus yang amat panjang ini--ibu harus menyusunnya satu-satu yang katanya sembari menggendong adikku. Jadi, begitu tangan Ibu pergi, aku hanya diam di atas kasur. Aku sudah mulai mencoba menerima kenyataan yang kejam. Walau terkadang tiap malam aku masih menangis diam-diam.

Sampai tiba-tiba aku merasakan tangan seseorang menyentuh tanganku dan kubalas sentuhan itu dengan meraba tangannya. Bukan seperti tangan ibu yang berisi dan ada cincin di jari manisnya. Tangan ini memiliki punggung tangan yang menonjol dan keras.

Dia memperkenalkan dirinya di papan baru khususku--papan baru ini merupakan papan besi yang ditempeli magnet kuat berbentuk keping digunakan untukku memahami pesan seseorang ketika merabanya--namanya Tom. Tom berasal dari Devon, dan ia akan menjadi guruku.

Tangan ibu menyentuhku dan membantuku mengeja sebuah tulisan yang berkata 'homeschooling' aku tidak mengerti maksudnya sampai tahu-tahu aku diajari oleh Tom tentang sebuah kode. Aku memahaminya demikian. Dengan benda berbeda lagi, yang katanya bernama pantule1. Sebuah papan berlubang-lubang dengan tiap kotak ada enam lubang, beserta pasangannya yang Tom berikan sesuatu seperti paku payung tumpul. Cara menggunakannya dengan memasukkannya ke lubang di papan.

Tom dengan sabar melatihku memahami apa maksudnya. Mungkin aku sejenis diajari bahasa alien yang katanya ini akan memudahkanku saat dewasa nantinya. Mengetahui kata dewasa yang diucapkan Tom membuatku sedih. Tom tiba-tiba memegang kedua bahuku menegapkan bahuku yang beringsut jatuh. Seolah ia tahu aku bersedih.

Aku tidak tahu apa yang diucapkannya karena ia tidak menuliskan di papan magnet keping sampingku tetapi yang jelas ia mengucapkan sesuatu dan kemudian mengelus rambutku. Tahu-tahu, dia pergi meninggalkanku dan ada Ibuku yang datang. Katanya, pembelajaran pertama sampai di situ saja.

Setelah itu, Tom sering datang ke kamarku. Mengajariku membaca buku-buku yang dibawanya. Mungkin sudah kurang lebih tiga bulan aku mulai menerima keadaanku seperti ini dan juga sudah dua minggu sejak Tom mulai mengajariku.

Hingga pada suatu titik Tom menanyakan hal yang benar-benar ingin kurahasiakan rapat-rapat.

"Kudengar, kau mengalami kebutaan dan ketulian dalam semalam? Apa yang terjadi?" Tom menuliskannya di pantule dan aku mengejanya pelan-pelan.

Aku terdiam dan sedikit enggan menjawab, sampai tiba-tiba Tom mengubah susunan pantule lagi.

"Baiklah, aku tidak akan memaksa."

"A-aku melihat dan mendengar mereka." Aku tiba-tiba berkata demikian tidak dengan menuliskannya di pantule atau papan magnet.

Kutarik napas dalam-dalam dan berpikir keras. Bila aku menceritakannya lebih lanjut akankah kemungkinan aku dimasukkan ke rumah sakit jiwa masih besar? Spiral-spiral bayangan keadaan rumah sakit jiwa yang pernah diam-diam kutonton saat Ayah tengah mendengkur di ruang tengah dengan tv yang menampilkan film horor masih menyala menghantuiku. Aku sudah seperti ini, tidakkah terlalu kejam jika mereka membawaku ke sana karena aku mengatakan sesuatu yang tak masuk akal? Anak di film itu juga seperti itu masalahnya.

Tom memegang tanganku, tangannya yang lebar dan hangat menenangkanku dan membuatku kembali pada dirinya. Aku menjadi merasa aman dan berpikir Tom seperti kakakku--bila saja aku tidak terlahir sebagai anak pertama. Selain itu kupikir aku memang sudah tidak sanggup untuk menahannya sendiri. Aku akan menceritakannya dan membuatnya berjanji untuk tidak menceritakan ini pada siapapun.

"Aku melihat dan mendengar mereka berbicara mengenai kematian dan kelahiran. Aku tidak tahu apa mereka, tapi mereka bercahaya. Redup dan terang."

"Lalu kau dihukum karena ketahuan oleh mereka?" katanya di pantule.

Aku mengangguk dan mulai menangis. Menurutku ini hal sangat berat. Sungguh, memangnya siapa yang tidak akan menangis bila diingatkan akan sebuah trauma mengerikan seperti ini. Spiral-spiral ingatan waktu itu sangat menakutkan terlebih bila sampai kejadian ini diketahui orang lain yang jahat padaku, aku akan dimasukkan ke rumah sakit jiwa.

"Itu pasti berat. Sudah, jangan menangis. Dan lagi tenang saja aku tidak akan membocorkan ini ke siapapun. Selain itu aku akan membantumu mencari tahu siapa mereka dan bagaimana cara agar kau bisa sembuh," katanya dengan amat begitu panjang sampai harus menggunakan dua kali pantule.

"Apakah kau percaya?" sungguh aku menanyakannya karena tidak menyangka akan ada orang seperti ini kepadaku.

Tiba-tiba Tom mengacak-acak rambutku dan menulis sesuatu di pantule.

"Aku percaya padamu."

A/N

pantule1 = Papan tulis braille

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro