-Dua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku, Isla Marshall, yakin kalau testimoni satu indera itu bisa dipercaya

.

"Kau tidak cukup tidur?"

Pertanyaan itu meluncur dari jemari Tom kala ia tengah di kamarku pada suatu siang pembelajaran mengeja menggunakan buku titik-titik menonjol yang ia berikan padaku. Aku yang menerima sodoran pantule tersebut jadi terdiam.

"Apakah terlihat? Akhir-akhir ini aku tengah memikirkannya."

Kupegang wajahku dan merabanya, barangkali wajahku terasa kering hingga terlihat kurang tidur.

"Memangnya apa yang kau pikirkan?"

Pertanyaan itu tertulis di pantule yang disodorkan Tom kembali sampai tersentuh olehku dan aku melakukan jeda sebelum menjawabnya. Memilih kalimat agar tidak terdengar salah atau memiliki makna yang lain.

"Tentang makhluk aneh yang mendatangiku malam itu. Kupikir mereka membicarakan tentang suatu kata seperti kabisat. Aku rasa itu bisa menjadi kunci agar aku bisa bertemu dengan mereka lagi."

Kucoba mengingat persis perkataan mereka waktu itu. Walaupun aku sedikit takut membayangkan ingatanku malam itu. Ini karena aku berusaha memendam ingatan itu jauh di dalam kepalaku agar aku bisa menjalani hariku dengan tenang.

"Apa itu Kabisat, Tom?" Itu merupakan satu-satunya kata yang tidak kumengerti.

"Kabisat adalah tahun yang memiliki 366 hari. Namun, itu adalah perhitungan yang manusia lakukan untuk menggenapkan kejadian bumi memutari matahari. Sedangkan yang melakukan ini padamu jelas bukan manusia."

Tom menjelaskan pelan di pantule setelah tiga kali melakukan perulangan yang membuatku tetap saja pusing mengejanya.

"Tom ... menurutmu akankah mereka menemuiku lagi dan mengembalikan fungsi mata dan telingaku?" tanyaku untuk mengakhiri kepusingan memahami pesan Tom.

Tangan Tom kurasa tidak bergerak menuju pantule yang ada di depanku. Entah ke mana. Kunaikkan bibirku untuk tersenyum dengan sangat terpaksa karena sepertinya aku tau jawabannya, Tom tidak tahu. Tidak ada jaminan aku bisa sembuh. Tahu-tahu yang hanya kudapatkan ialah pelukan dan bahuku yang kemudian terasa basah. Aku ingin menanyakan mengapa ia menangis, tetapi tidak jadi. Aku terpikir bahwa Tom mengasihaniku oleh sebab itu dia menangis.

Seharusnya aku tidak menanyakan tentang itu karena tahu jawabannya. Meski barangkali aku bisa mendapatkan jawaban lain.

Setelah Tom tenang, pelajaran tetap dilanjutkan mengenai mengenal benda-benda dengan bahasa titik-titik, dan kata-kata yang tidak kumengerti tulisannya dilanjutkan. Hal itu berlangsung tiap hari hingga musim panas datang. Kata Ibu, Tom tidak akan datang selama sebulan karena ini adalah jatah libur anak sekolahan. Namun, ia akan datang di setengah bulan terakhir sebelum liburan berakhir, yakni mendekati akhir bulan Agustus nanti.

Liburan tahun pertama dengan keterbatasanku ini mungkin akan terasa sangat membosankan dan menyedihkan. Sampai suatu hari yang panas aku kedapatan tamu yang tidak terduga. Teman-temanku dari kelas Oak datang menjengukku, mungkin juga tidak dapat disebut sebagai teman karena aku belum resmi masuk ke kelas itu--harusnya baru bulan september nanti--berhubung kondisiku seperti ini dan aku batal masuk kelas mereka jadi mereka kemari. Mereka kemudian juga memperkenalkan diri padaku di papan magnet. Kata Ibuku ini merupakan bagian dari tugas musim panas untuk menambah teman.

Aku tidak menggubrisnya karena sebagian dari mereka gemetaran ketika bersalaman denganku. Bahkan, aku tahu mereka ada yang menangis karena ada air yang menetes di tanganku bersamaan tangannya yang dingin. Ibu juga menyuruhku melalui papan yang disodorkan kepadaku untuk tersenyum bukan menatap tajam mereka, tetapi melihat saja tidak bisa bagaimana bisa aku melirik pada orang.

"Aku Esme Owens."

Seseorang menuliskannya di papan besi dengan huruf alpabet dan kujabat tangannya. Alih-alih tidak seperti yang lain dia tidak gemetaran atau berkeringat dingin, bahkan ia menyentuhkan tanganku ke wajahnya. Saat kutanya mengapa ia melakukan itu, di papan khusus untuk tulisan alpabet dia menulis...

"Aku baik."

Aku tidak mengerti maksudnya barangkali maksudnya ia ingin agar aku mengenalnya lebih baik atau dia adalah sosok yang baik--aku heran jikalau dia bermaksud untuk mengatakan dirinya baik untungnya apa padaku.

Setelah itu di sisa-sisa liburan musim panasku yang masih begitu panjang, aku menghabiskan dengan mencium wewangian yang ibu berikan padaku. Ada yang berbentuk kotak, cairan, dan lembaran. Aku tidak mengerti apa itu, katanya semua itu adalah pengharum ruangan. Terkadang Ibu juga membawakanku makanan enak beraroma lezat atau tanaman pot kecil yang tidak berbahaya.

Namun bagaimana pun juga, aku tetap kesepian. Ini karena tidak ada Tom di sini sebagai satu-satunya orang yang sering mengobrol denganku. Ibu tidak bisa sering ke kamar karena harus menjaga Tina sembari membuat cemilan untuk dititipkan di pub. Terkadang saat hari liburnya pun, ibu juga tidak bisa menemaniku, ini karena Tina--adikku--takut kepadaku. Katanya ia terus-terusan menangis ketika melihat wajahku. Jadi, selain menikmati wewangian yang ibu berikan, cemilan, dan satu-satunya buku berbahasa titik yang dapat kubaca pemberian Tom, tidak ada yang dapat kulakukan.

Saat tiba-tiba seseorang memelukku, aku terperanjat kaget dan mencoba mendorongnya, aku tidak tahu siapa itu, tetapi begitu aku meraba wajahnya. Aku mengenalnya. Hidung yang mungil, dengan alis berbulu yang tebal dan bentuk pipi yang kutahu. Itu, Esme Owens temanku dari kelas Oak yang kapan hari mengunjungiku.

"Owens!" Aku berseru sembari memekik, ada apa dia kemari dan dengan tiba-tiba memelukku. Di papan untuk alpabet dia menuliskan. "Ayo, main."

"Tentu saja, aku tidak bisa bermain, Owens. Kau tahu sendiri aku tidak bisa melihat dan mendengar. Permainan apa memangnya yang dapat kita lakukan dengan keterbatasanku? Tidak ada."

Aku menjelaskan panjang lebar sembari mulai menunggu ia menuliskan jawaban di papan alpabet. Namun, itu tidak terjadi. Tidak terjadi apa-apa setelah aku mengoceh seperti itu. Atau barangkali Esme Owens telah mengatakan sesuatu tapi aku tidak tahu itu. Dengan tindakan tak terduganya kembali ia menarik tanganku dan meletakkannya diantara pipinya sembari aku merasakan dia tengah menggeleng.

"Lalu, bagaimana cara kita bermain?"

Esme Owens terlihat terdiam dengan tanganku yang masih ada di pipinya, ia kemudian menggerakkannya pelan lepas dari pipi dan aku merasa tangannya mulai bergetar. Beringsut memelukku, kini Esme Owens menangis di pundakku. Tidak tahu mengapa ia menangis cukup lama dan aku membelai rambut keritingnya yang terasa sedikit kasar di tangan.

Kupikir ia merasa bersalah dengan mengajakku bermain padahal aku sendiri tidak tahu harus bermain apa dengan keadaan seperti ini, jadi aku berkata,

"Sudah, tidak apa. Mungkin kau bisa menemaniku jalan-jalan saja? Kurasa cuma itu yang bisa kulakukan, Owens."

Ya memang hanya itu yang dapat kulakukan. Aku jarang keluar rumah, sekali keluar hanya saat Ayahku mengambil jatah liburnya dan mengajakku berkeliling desa saat sore hari--waktu di mana desa ini sepi pengunjung. Kupikir saat ini sudah cukup sore, cuaca musim panas yang penuh keringat perlahan menjadi lebih berangin sejuk.

Esme Owens menggenggam tanganku dan mulai menarikku. Namun, aku mengkaku karena ingat sesuatu.

"Sebentar, aku perlu kacamata hitamku dan tongkat yang ibuku belikan."

Tahu-tahu aku merasa Esme Owens sudah memakaikannya di wajahku dan memberikan tongkatku di tangan kiri. Dia sangat bersemangat sekali mengajakku pergi jalan-jalan, seperti gerakan tangannya yang cepat dan udara terasa cepat di sampingnya. Mengetahui ia bersemangat seperti ini aku tidak mengerti padanya. Untuk apa memangnya dia bersemangat seperti ini?

Aku diajak pergi keluar rumah, dan merasa udara luar cukup dingin lebih dari dugaanku. Tiba-tiba tangan Ibuku memakaikan jaket untukku. Sepertinya Esme Owens sudah berpamitan dengan ibuku untuk mengajakku jalan-jalan sore jadi tangan Ibu memasangkan jaket padaku. Kugerakkan tongkatku dengan tangan kiri sembari terus menyamai pergerakan tangan kananku yang ditarik Esme Owens kemudian.

Pertama-tama kami pergi ke pinggir sungai Coln dekat dengan Arlingtown row karena aku menyentuh tembok batu dan bunga jenggot jupiter yang tumbuh di sisi sungai itu. Lalu kami naik ke jembatan, bergerak ke barangkali ke peternakan ikan trout--aroma ikannya begitu terasa. Di sana aku berjumpa dengan Paman atau barangkali Ayah Owens beserta Neneknya yang tengah menikmati teh--mereka memelukku dan mendorongku duduk sembari menyodorkanku segelas teh di genggamanku. Namun, karena aromanya yang sangat kuat dari ikan-ikan ini, jujur saja aku kurang suka di sini. Bisa dibilang sejak aku mulai seperti ini aku sangat melatih indera penciumanku dan perabaanku sehingga bau yang mungkin tidak tercium oleh orang lain akan sangat tercium olehku.

Seperti menyadari ketidaknyamananku, Esme Owens mengajakku menyudahi acara meminum teh ini. Ia kini mengajakku pergi, entah ke mana. Aku meraba sekitar begitu sampai di suatu tempat, aroma makanan-makanan dan meja-meja yang tertata rapi. Sepertinya aku tahu ini di mana. Satu-satunya pub di Bibury ini yang buka sampai hampir tengah malam, Catherine wheel. Esme Owens menyuruhku duduk dan sepertinya ia memesankanku makanan karena ia mendorongku duduk di kursi dan ia tidak kutemukan di sampingku. Aroma bawang tiba-tiba lewat di sampingku dan sepertinya berhenti di depanku.

Rupanya, Esme Owens memesankanku roti bawang di sore hari seperti ini untuk cemilan. Sedikit aneh tetapi aku tidak akan berkomentar karena aku tidak tahu apa-apa selain mengikutinya. Sudah cukup lama aku tidak mampir-mampir seperti ini, saat aku berjalan-jalan bersama ayah pun aku tidak akan mampir-mampir. Ayah sudah cukup lelah pergi ke luar kota sebagai pramuwisata dan hari liburnya dia juga perlu istirahat.

Setelah menghabiskan beberapa potong roti bawang yang ditaruh di hadapanku, Esme Owens memegang tanganku lagi dan mengajakku melangkah keluar. Beberapa langkah setelah meninggalkan pub itu, kurasa aku mendengar seseorang dengan suaranya yang riang mengatakan, "Lainkali mampirlah ke sini lagi."

Padahal, aku kan ... tuli.

****

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro