-Tiga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku, Isla Marshall, sulit rasanya meminta bantuan orang lain. Rasanya aku mengganggu saja
.

Mungkin itu imajinasiku saja karena begitu sampai di rumah aku menanyai Esme mengenai suara riang dan segar itu, tetapi dia menjawab tidak mendengar apa pun di pub yang berbicara seperti itu--melalui papan alpabet.

Aku pun hanya mendesah pasrah dengan menerima kenyataan itu imajinasiku. Atau mungkin harapanku akan sebuah suara. Jadi, aku melupakannya begitu saja.

***

Mungkin juga sudah jadi kebiasaan baru setiap dua-tiga kali dalam seminggu, Esme akan mengajakku jalan-jalan mengelilingi desa di sore hari. Bayangan musim panasku yang berwarna hitam perlahan kupikir mulai berwarna juga. Tidak mampu melihat dan mendengar tidak seburuk itu juga, benar tidak seburuk itu. Aku pun jadi teringat kata-kata seorang penyandang disabilitas yang diceritakan Tom kepadaku melalui Pantule. Namanya Helen Keller.

"The best and most beautiful things in the world cannot be seen or even touched, they must be felt with the heart."

Seperti membayangkan bunga jenggot jupiter yang selalu kusentuh saat sore hari berwarna merah terang diterpa angin yang memiliki aroma sungai untuk bergerak lembut. Bukankah itu indah? Barangkali cahaya matahari yang hangat menyiram suasana sore dengan begitu nikmatnya. Ini menyenangkan. Aku masih bisa melihatnya dengan hati.

Kebiasaan jalan-jalan sore kami selalu berakhir di pub. Di sana kami membeli cemilan dan memakannya langsung di tempat. Suatu hari sempat terpikir olehku menanyai Esme apakah ia tidak bosan hanya berkeliling-keliling di desa denganku yang merepotkan. Namun, balasan yang kudapatkan ialah sebuah gelengan dan tulisan dari papan alpabet yang berisi, "Kau memiliki pola yang unik."

Alih-alih seharusnya aku senang, tetapi justru aku merasa semakin sedih. Barangkali arti tulisan itu adalah karena aku aneh, sebab Esme tidak pandai membaca dan menulis-aku mengetahuinya belakangan ini.

Jadi, aku hanya tersenyum singkat ke arah mana pun Esme yang mungkin saja duduk di depanku. Lepas menikmati makanan di pub ini, aku tersentak ketika aku mendengar sebuah suara lagi.

"Jangan berpikiran buruk. Esme memiliki pandangan unik ke setiap orang. Jadi menurutnya kau adalah orang yang menarik."

Suara segar itu terdengar menggema lagi di kepalaku. Kali ini aku menanyakannya pada Esme secara langsung.

"Esme kau mendengar itu?"
Aku bertanya sembari meletakkan tanganku di pipinya, untuk memastikan dia akan mengangguk atau menggeleng.

Namun Esme menggeleng seakan tidak mengerti. Mengetahui kalau Esme tidak mengmdengarnya seperti ini membuatku sedih. Mungkin itu imajinasiku yang berwujud seperti suara pikiran. Namun, ini kali kedua. Apakah aku gila? Seperti yang ada di film itu, film tentang rumah sakit jiwa. Ada seseorang yang merasa seseorang berbicara di kepalanya.

Tidak. Aku tidak gila. Aku tidak mau ke rumah sakit jiwa. Itu imajinasiku. Itu adalah imajinasiku saja.

Esme kemudian mengantarku pulang, setelah itu dia langsung pamit pulang ke rumahnya. Kurang lebih hari-hari selanjutnya seperti ini, walaupun Esme pernah mengajakku keluar di pagi hari yang kemudian kutolak dengan tegas. Aku tidak ingin terlalu banyak turis yang melihatku seperti ini. Jadi saat pagi Esme tidak kemari, entah ia menghabiskan waktu ke mana. Hanya pada saat siang hari sampai sore ia mendatangiku. Ibu pernah berkata kepadaku, kalau Esme mungkin salah satu dari beberapa anak yang tidak pergi ke perkemahan musim panas tahun ini jadi dia kesepian.

Setelah itu, Tom datang. Artinya kegiatan sekolah formal mendekati masa masuknya. Esme jadi jarang ke kamarku, sepertinya dia mulai serius mengerjakan tugas musim panasnya. Padahal aku ingin mengenalkan Tom pada Esme dan mungkin Tom bisa mengajari Esme cara lebih cepat berkomunikasi denganku.

"Aku pikir kau harus menunggu tahun kabisat itu lagi, Isla."

Tom tiba-tiba membahas hal yang pernah kutanyakan itu di tengah istirahat usai belajar menghitung.

"Tahun kabisat memang perhitungan manusia, tetapi itu memperhatikan musim dan cuaca pada masanya."

Itu yang tertulis di duakali pantule. Namun, aku tidak mengerti maksudnya yang kupahami hanya akankah aku memiliki kesempatan atau tidak.

"Artinya aku memiliki harapan kan?"
Aku menunggu balasan pertanyaanku di pantule, dan Tom mengiyakan.

Aku tak menyangka, sungguh. Rasanya air mataku juga jadi turun. Ini berita bagus. Lagipula memangnya siapa yang tidak merasa sangat bahagia bila memiliki kesempatan untuk melihat dan mendengar lagi.

***

Tepat seperti yang dikatakan Tom waktu itu, aku menanti-nanti dengan sabar empat tahun selanjutnya. Tom berkata kabisat adalah tahun yang terjadi setiap empat tahun sekali dengan pengecualian tahun-tahun yang bernilai genap ratusan atau ribuan saja. Aku tidak mengerti mengapa manusia zaman dahulu membedakan tahunnya seperti itu, padahal kurang lebih setiap tahun musim dan cuaca akan sama.

Kata ibu yang kemarin kudengar, hari ini adalah tanggal 28 Februari empat tahun setelah kejadian itu, dan jam digital titik-titikku menunjukkan pukul dua belas malam kurang lima menit. Kuraba berulang kali jamku untuk memastikan waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam tepat atau yang bisa dikatakan pukul nol. Lantaran aku tidak bisa melihat walaupun kini bisa mendengar dengan bantuan alat dengar mahalku aku menghitung detik. Alat ini baru saja dibelikan orang tuaku dua tahun yang lalu sebagai kado hari ulang tahunku.

Kulongok kolong kasurku, dan berkata, "aku tahu kalian ada di sana. Siapa pun itu, kumohon dengarkan aku." Ya, aku mendengar gemerisik kecil dari sana.

"Oh, anak manis yang malang."
Aku mendengar suara, suara itu berwibawa dan lembut sekali. Ia membuatku tertegun sekaligus senang. Itu artinya aku ada harapan, dan suara itu kemudian membimbingku untuk kembali ke atas kasur. Tidak lagi melongok ke kolong. Aku yakin suara ini nyata karena aku tahu letak suara tersebut berbunyi.

"Maafkan kesalahan temanku roh kematian dan kelahiran yang tiba-tiba menghukummu. Sebenarnya ini kesalahan kami," katanya yang kemudian membuatku tercengang.

"Kami tidak memastikan portal roh kami ternyata berada di lingkungan manusia setelah beribu-ribu tahun lamanya. Jadi, wajar jika engkau mendengar atau bahkan melihat kami."

Aku mulai menitikkan air mata mendengar alasan barusan, sedikit marah karena itu kesalahan mereka mengapa aku harus dibuat menderita selama empat tahun belakangan. Walaupun selama empat tahun belakangan ini aku jadi banyak belajar dan menerima keadaanku. Namun, bagaimana pun juga aku masih mengharapkan mata dan telingaku. Sekalipun aku dibantu alat dengar yang mahal dan bodoh ini.

"Dan, aku akan memberimu hadiah pengganti atas apa yang mereka ambil darimu. μάτι dan αυτί."

Aku tidak tahu apa yang terjadi, tiba-tiba aku jadi dapat melihat bola cahaya emas di depanku. Telingaku pun serasa berdering keras, jadi kulepaskan alat bantu dengarku. Aku pun kemudian mendengar ia yang memperkenalkan diri sebagai roh kehidupan. Lalu ia mengatakan sesuatu yang membuatku sedih mengenai apa yang membuatku bahagia sesaat. Yakni, penglihatan, dan pendengaranku akan kembali menjadi tidak berfungsi dalam tiga hari jika aku tidak dapat menemukan penglihatan dan pendengaranku yang dibuang oleh roh kematian dan roh kelahiran yang menghukumku.

Ada dua hal yang dikatakan roh kehidupan untuk membantuku menemukan penglihatan dan pendengaranku yakni:
Yang pertama, dijaga oleh kesetiaan, tersembunyi di tempat yang nyaman, dan lahir bernoda tumbuh murni.
Yang kedua, tersembunyi dalam ketenangan, dan menumpang kehidupan.

Aku tidak tahu mengapa untuk menemukannya diberi teka-teki seperti ini terlebih dahulu. Namun, mengingat dampaknya ...
Jika aku tidak berhasil menemukan mereka, selain aku harus menunggu empat tahun lagi untuk mencoba mencari lagi, aku juga harus mencari portal mereka yang entah di mana-katanya mereka berencana memindahkan portal itu. Kuyakin, kecil kemungkinan mereka akan memberitahu letak portalnya nanti.

Pagiku kurencanakan untuk pergi ke peternakan ikan trout milik keluarga Owens dengan keadaan aku memilih pura-pura buta daripada aku harus menjelaskan banyak hal. Tidak ada banyak waktu. Setelah membujuk Ibu dengan susah payah untuk bertemu Esme, aku pergi di antar adikku, Tina yang takut-takut padaku.

Jujur, melihatnya saat waktu itu yang masih balita kini berubah jadi anak-anak. Terasa aneh. Aku seperti melihat diriku yang lain tengah berjalan di sampingku. Rambutnya hitam kecokelatan seperti milikku, tetapi yang membedakan biru matanya tak seperti milikku atau Ibu, miliknya terlampaui gelap. Barangkali ini karena aku dan ibu tidak suka keluar rumah, sedangkan Tina sangat senang sekali keluar rumah sama seperti Ayah. Aku tahu wajahnya takut-takut tak mau memegangku, seolah aku mampu menularkan penyakit. Namun, Tina sudah mengantarku dengan baik ke rumah keluarga Owens yang terletak di samping peternakan mereka.

"Nenek, apa kak Esme ada?"

Tina menanyakannya pada nenek yang tengah duduk di halaman rumah memperhatikan taman kecilnya. Aku yang tengah pura-pura buta di balik kacamata hitamku melihat semuanya. Tidak ada yang berubah dari yang terakhir kulihat saat dulu aku melewati sini. Rumah batu bercat madu yang menurutku monoton, kemudian taman yang berbunga dengan berbagai jenis tanaman.

Aku tahu, neneknya Esme saat pagi akan berada di halaman rumahnya lalu saat beranjak siang dia pergi ke dalam lalu saat sore ia akan ada di peternakan. Dalam empat tahun ini aku sudah sering kemari. Namun, aku tidak menyangka nenek Esme sudah setua itu wajahnya.

"Oh, Tina sayang! Kau bersama Isla? Tumben sekali. Sayangnya Esme sedang berada di sekolah. Dia akan pulang nanti siang."

Astaga, aku melupakan itu. Padahal aku berharap Esme dapat membantuku mencarinya sesegera mungkin. Pantas saja Ibu bersikeras dengan melarangku mengunjunginya sekarang. Setelah itu aku pergi dengan Tina melewati pondok arlingtown row dan aku berhenti di seberang arlingtown row, di dekat sungai Coln, tempat angsa-angsa berenang dan bunga jenggot jupiter tumbuh. Sungguh, sudah lama aku tidak melihatnya. Ini indah. Harusnya sebelum pergi ke rumah Esme, aku melewati jalan ini alih alih memilih jalan yang lebih dekat.

"Kau bisa melihatnya, kak?"

Aku terperangah. Jantungku jadi berdetak cepat. Oh ya ampun.
I-ini gawat.

****

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro