-Tiga Puluh Tiga [End]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Terkadang akhir merupakan awal yang tidak pernah kau duga
.

Aku melihat cahaya.

Tapi masih buram dan gelap.

Mungkin aku tidur lagi saja.

Aku merasa ada yang aneh.

Tapi biarlah.

Mungkin aku bisa tidur lagi.

Aku lapar.
Benar, aku lapar. Sudah lama sekali aku tidak merasakannya. Aku tidak bisa tidur lagi. Kuusahakan membuka mataku, masih buram. Namun, aku tahu ada siluet seseorang.

Dia memberikan sesuatu dan aku menjadi kenyang.

Entah berapa lama, sampai aku melihat dan mendengar dengan jelas. Mereka memanggilku "Lisa."
Dan aku seorang bayi.

Mereka dipanggil Keluarga Burtone. Kupikir aku terlahir dalam garis keturunan Harvey entah aku ini cucunya atau siapa. Namun, ketika seseorang memanggil ibuku "Esme Burtone."

Ini pasti tidak salah lagi, waktu tidak begitu lama sejak aku pergi dari dunia ini. Esme, sahabatku, menjadi ibuku. Dan Harvey, sahabatku, menjadi ayahku.

Aku menerima dengan senang hati menjadi bagian dari keluarga ini. Saking senangnya, aku tidak banyak menangis meski gaya asuh mereka menurutku terlalu ceroboh dan membuatku tidak nyaman. Aku hanya akan berusaha makan dan tidur dengan tenang saja. Eh, tidak lupa dengan buang air dengan baik.

Sampai dengan aku yang mulai berjalan dengan kaki mungilku yang sangat sulit mengikuti keinginanku, aku mendengar celetukan Harvey.

"Aku tidak akan membiarkanmu kenapa-kenapa lagi sekarang. Kini kau putriku. Aku masih bisa menyayangimu."

Aku terperanjat sampai jatuh ke tanah dan bokongku terasa sakit--karena aku sedang belajar tidak memakai popok--lalu mulai menangis. Celetukan Harvey membuatku merinding dan seketika itu aku tahu kalau kemampuan Harvey mendengar suara pikiran orang masih bisa berfungsi meski hilang timbul seperti ikan paus. Kupikir sebelumnya kemampuannya hilang sepenuhnya seperti Esme yang kini hanya mampu melihat sesuatu yang nyata. Ia jadi benar-benar tidak bisa membedakan gula dan garam hanya dari sekali lihat seperti dulu.

"Aduh, aduh, sayang kau kaget ya. cup-cup sini."

Harvey berusaha menggendongku dan aku makin menjadi-jadi dengan menjerit-jerit dan memukulinya. Bahkan Esme yang berada di kamar mandi buru-buru memakai pakaiannya dan mendatangiku serta memelukku di ruang tengah. Aku memeluk erat Esme dan masih menangis. Mungkin bagaimana pun juga, mentalku kembali menjadi bocah satu tahun. Aku merasa sangat ketakutan dengan ucapan Harvey.

Setelah itu, aku merajuk pada Harvey dan benar-benar menghindarinya. Aku bahkan menangis saat Esme pergi bekerja dan aku harus bersama Harvey di rumah. Dia adalah bapak rumah tangga, tidak pergi bekerja keluar, aku sudah menduganya sejak kita semua masih sekolah.

"Awalnya ku tidak menyangka kalau putriku yang kini setahun memiliki pikiran yang sudah berusia 14 tahun," katanya sembari mengaduk bubur hangatku. "Ayo baikan," katanya yang kemudian menyodorkan sesuap bubur hangat padaku di udara. Perut kecilku berbunyi dan meski aku cukup gengsi akhirnya aku menerima sesuap bubur itu.

"Nah, begitu. Gadis pintar." Dia mengusap rambutku pelan dan aku setengah hati menelan bubur buatan Harvey lainnya sampai habis.

"Au jahat!" kataku padanya. Harvey pun meringis.

"Jahat karena mendengar kepala kecilmu ini? Dan tahu siapa dirimu? Aku tidak bisa melakukannya setiap saat kini. Aku merasa sudah terlalu tua dan menghabiskan banyak tenaga untuk melakukan itu." Ia menyodorkan botol sedot air minum untukku dan aku menerimanya, lalu meminumnya.

"Kebetulan saja saat kau mulai hadir di antara kami. Aku mengenalmu dan langsung mengusulkan nama Lisa. Lisa seperti Isla bukan?" Dia menunjukkan dengan bangga dan senang sekali setelah mengusulkan seperti itu.

"Hmmp!" aku mengembalikkan gelas sedot berisi air dan membalikkan badan dari Harvey.

"Kau tahu, aku dan Esme sempat putus asa karena kata dokter sulit untuk memiliki malaikat kecil di antara kami. Namun, saat kami memilikinya dan itu adalah kau. Jujur saja aku ingin mengatakannya pada Esme--dia pasti senang sekali, tapi bila kau tidak suka aku tidak akan memberitahunya."

Aku membalikkan badanku lagi lalu merangkak perlahan mendatangi Harvey dan menggeleng lalu memeluknya. Dalam hatiku yang paling dalam aku hanya ingin mencintai Esme dan Harvey sebagai orangtuaku untuk saat ini. Ini semua menjadi seperti ini karena terkait permintaan ketigaku yang membuatku masih seperti Isla.

"Besok kita pergi ke Lyona. Anak keempatnya baru saja lahir."

Aku mengiyakan dan kemudian Harvey mengajakku bermain. Sampai kemudian aku kelelahan dan jatuh tertidur. Aku tidak tahu hariku terasa menjadi begitu lebih cepat saat menjadi bayi seperti ini, sampai tiba-tiba Esme memberiku pakaian cantik, menyisir rambut kemerahanku yang senada dengannya dan mengajakku pergi naik mobil bersama Harvey.

Kami pergi ke rumah sakit. Harusnya mereka tahu kalau membawa anak balita ke rumah sakit itu ide buruk. Rumah sakit adalah tempat orang sakit. Namun Harvey yang tahu kalau aku pasti ingin bertemu dengan Lyona secepatnya, ia memaksa pada Esme, yang akhirnya membuat kami di sini.

Kamar Lyona penuh hiasan, siapa lagi yang menghiasnya kalau tidak tiga bocah yang tengah bermain ular tangga di karpet yang mereka bawa.

"Anak-anak ini teman-teman ibu, yang pernah ibu ceritakan," kata Lyona lembut membuat mereka serempak bangun dan mengawasi kami bertiga.

"Kau Esme yang katanya dulu bisa lihat fakta dari yang tak terlihat? Dan kau yang bisa mendengarkan pikiran? Dan-dan kau!"
Seseorang yang terlihat berusia di antara yang paling muda dan tua mengamatiku dengan sangat antusias.

"Kau yang berteman dengan makhluk-makhluk horor?"

"Dapa?"

Esme meringis dan menengahi serta memberitahu mereka kalau aku bukan yang dimaksud. Meski dengan sedikit bergetar Esme memberitahu kalau itu seseorang lagi.

"Maafkan anak-anakku Esme. Mereka sangat kagum dengan kalian." Lyona terbaring di kasur ia tidak bisa duduk untuk menyambut kami. Katanya, ia usai menjalani operasi saat melahirkan anak keempatnya ini. Dan anak keempatnya masih di ruang inkubator.

Esme dan Harvey mengobrol panjang lebar mengenai apa saja yang terjadi dalam beberapa tahun ini. Juga, mengingat-ingat tentang aku. Kebetulan ini karena Esme berniat mengunjungi makamku usai dari rumah sakit ini karena ia tidak sempat mengunjungi makamku untuk peringatan kemarin. Katanya pula, awal saat Isla meninggal 20 tahun yang lalu mereka semua merasa kosong bahkan tidak menangis saat ia dimakamkan. Namun, begitu surat untuk mereka tiba. Esme dan Lyona langsung menangis meraung-raung, seolah baru saja melupakanku. Sedangkan Harvey, hanya terdiam kaku. Entah ia juga lupa atau ingat saat itu. Esme bahkan memastikan sendiri ke adikku apa ia ingat atau tidak. Dan katanya, adikku hanya ingat secara samar kalau mereka juga tidak cukup dekat. Termasuk orangtuaku.

Ada rasa sedih luar biasa sejujurnya. Namun, aku tidak ingin semua orang menangisi kematianku. Maka dari itu, di surat yang kukirimkan pada Esme dan Lyona berisi tentang hal-hal yang kusembunyikan semua ini dan alasannya. Ketika sampai pada titik pembahasan Esme mengatakan ia merindukanku, aku mencengkeram kemeja Harvey yang tengah menggendongku. Dan kebetulan saat itu tiga anak Lyona yang mungkin berusia 10,7, dan 5 tahun ini minta main di luar.

Lyona tentu melarang karena tidak ada ayah mereka yang bisa mengawasi mereka. Lyona mengomeli ayah mereka sedang bekerja dan meminta mereka untuk menunggu sebentar lagi.

"Bagaimana kalau aku menemani mereka? Mungkin si kecil Lisa juga ingin bermain di luar," kata Harvey mendadak dan aku mengangguk-angguk.

"Astaga, anakmu sepertinya jenius sekali Esme," kata Lyona yang membuatku langsung panik kalau aku harus bertindak sesuai umurku. Aku juga sempat lupa kalau Lyona sosok yang mudah sekali peka.

"Ah, benarkah? Kurasa memang begitu. Bahkan ia sampai bertengkar dengan ayahnya dan merajuk."

Aku sungguh malu dan menenggelamkan wajahku di kemeja Harvey.
Begitu Esme dan Lyona melanjutkan obrolan mereka, Harvey mengajak keluar anak-anak Lyona yang bernama Wendy yang paling tua, Tessa, dan yang paling kecil serta laki-laki sendiri Gavin. Mereka langaung bersemangat keluar dan mengajak pergi ke taman rumah sakit untuk mencari serangga.

Untungnya di tengah taman yang panas ada beringin besar dan tempat dudukan. Harvey mendudukkanku di sana dan tiga bocah itu langsung berkeliling taman.

"Aus," kataku menunjuk bibir. Harvey mengerti permintaanku dan memintaku untuk duduk diam di sana. Katanya kalau ada orang yang mencurigakan mendekat ia menyuruhku langsung berteriak. Harvey akan kembali lagi ke sini secepat kilat.

Benar, daripada membawaku kembali ke kamar rumah sakit meninggalkan tiga bocah yang seperti punya afinitas yang tinggi pada serangga bahkan di tengah terik seperti ini dan hal hal aneh. Lebih baik meninggalkanku yang punya pikiran berusia 14 tahun ini untuk mengawasi mereka. Setidaknya aku bisa melaporkan ingatan pikiranku ke Harvey bila Harvey akan menggunakan kekuatannya. Atau bila aku diculik Harvey bisa menggunakan kekuatannya untuk mencariku. Aku cukup merasa aman karena ini.

Setelah Harvey pergi, aku yang duduk sendirian di bawah pohon merasa mulai mengantuk akibat semilir angin. Namun, langsung terjaga ketika ada yang berbicara di dekatku.

"Bayi?" katanya yang membuatku menoleh dan melihat seorang bocah laki-laki yang mungkin berusia tujuh atau enam tahun, seusia Gavin. Rambutnya pirang yang cantik dan sorot mata abunya mengingatkanku pada seseorang yang kukenal.

"Asshu?" celetukku yang agak tidak jelas khas bayi. Namun hal ini membuatku menyesal berkata demikian karena kaget. Meski tidak hanya diriku yang kaget, rupanya bocah laki-laki itu juga.

"Kau kenal aku, bayi?"

Eh?

"Aku Ashill."

~
1429 kata

Yeah, tamaaat aaaaaa. Aaaaaaa >< tunggu edisi cuap-cuap dan edisi revisinya yaa

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro