-Tiga Puluh Dua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Terkadang kegelapan tidak serta merta hitam
.

"Harvey!" Esme berteriak di ujung pagar Catherine wheel. Namun, Harvey tidak menyambut. Alih-alih bosnya yang berusia setengah baya datang menyambut.

Suasana Catherine wheel saat sore menjelang malam ini sepi. Jadi kami kemudian masuk memilih sembarang meja untuk duduk dan makan malam. Ibuku menyuruh mengajak Esme dan Lyona makan di Catherine wheel. Katanya, waktunya anak muda. Aku menuruti dan pergi bersama mereka.

"Dia ada tugas kelompok. Jadi baru bisa ke sini besok pagi," kata bos Catherine Wheel atau paman Harvey ini.

Esme terlihat mengerutkan keningnya dan bergumam kecil yang masih bisa didengar.

"Tugas kelompok? Malam ini? Awas saja kalau ada ceweknya!"
Esme dengan langkah berdebum bangkit pergi ke meja telepon dan segera menekan nomer orangtua Harvey yang sepertinya sudah sangat ia hapal.

Aku hanya meringis dan mengajak Lyona memilih menu.

"Kau tidak apa kan, Isla?"

Pertanyaan Lyona membuatku teralih padanya. Sebagai seseorang yang sangat peka, dan peduli pada sekitar. Aku tahu Lyona-lah yang akan paling cepat menyadari dan akan menanyaiku langsung.

"Aku bukan Esme yang akan menunggumu dengan gerutuan."

Jadi, senjata yang telah kupersiapkan untuk menghadapinya adalah gurauan.

"Ada apa, Lyona. Lihat aku tidak apa-apa. Justru aku yang harusnya menanyaimu kenapa tatapanmu begitu padaku." Aku meringis kecil.

"Jadi, apa yang akan kau pesan Lyona. Aku lapar. Dan aku yakin benar apa katamu Esme akan menggerutu nanti karena Harvey tidak ada."

Lyona diam menatapku tetapi kemudian dia tidak mempermasalahkannya lagi dan ikut memesan makanan melalui kertas yang kami tulis untuk diberikan ke kasir dan dibayar serta dibuatkan makanannya. Makan malam kami berlangsung dengan cerita Esme tentang Harvey yang berjanji padanya kalau malam ini pulang dan pagi-pagi sekali ia akan mengajak kami jalan-jalan pagi.

Betulan. Harvey pagi-pagi sekali mengajak kami berolahraga. Aku mengajak Tina juga, tetapi ia sudah tidak ada di kamar begitu aku bangun. Kata Ibu, Tina memang suka pergi pagi sekali untuk berolahraga seorang diri.

Aku, Lyona, Esme dan Harvey pergi menyusuri sungai Coln. Harvey menceritakan pengalamannya dikejar angsa sampai kami berjalan dan memasuki desa Winson yang sejauh kurang lebih 3km dari Bibury. Desa yang kecil sama seperti kami, tetapi tidak dilalui jalan besar dan ramai seperti desa kami. Setelah itu kami kembali. Selama di perjalanan aku tahu Harvey mencoba berbicara padaku, tetapi aku berhasil menghindar berkat bantuan Esme. Aku tidak tahu aku yang terlalu sensitif atau aku sempat melamun dan memikirkan itu. Yang jelas aku harus hati-hati dengan Harvey.

"Kau menyembunyikan apa?" suara segar khas Harvey menggema di kepalaku. Astaga. Aku tidak boleh memikirkan itu harusnya.

"Itu apa?" suara Harvey terdengar menuntut di kepalaku. Padahal, di belakangku dan Lyona ia terlihat sibuk mendengarkan Esme.

"Cepat beritahu aku apa itu," katanya lagi. Aku langsung melihat Esme yang tengah mengomentari angsa hitam yang ada di sungai. Aku jadi langsung terpikir lagu yang kutahu.

Swan swan over the sea,
Swim, swan, swim!
Swan swam back again,
Well swum, swan!

Tunggu aku terlilit di kalimat pertama karena lupa liriknya. Jadi aku langsung menanyai Lyona di sampingku mengenai tongue twister dari lagu itu yang benar. Katanya, Swan swam over the sea.
Lyona jadi bingung kenapa aku tiba-tiba menanyainya seperti itu. Namun, aku tidak mempermasalahkannya karena aku langsung mempraktekkannya di kepalaku. Hal ini membuat aku mendengar umpatan dari Harvey yang tidak biasanya. "Sialan."

Aku meringis dan melanjutkan perjalanan kami pulang ke rumah masing-masing. Lagu itu kupikirkan di kepalaku tiap kali aku bertemu Harvey sampai hari minggu. Karena hari minggu adalah hari Esme dan Lyona harus kembali ke asrama--mereka tidak mendapatkan izin tambahan untuk tinggal. Begitu pula Harvey. Saat Esme dan Lyona naik mobil ayahku--ayah tidak mempermasalahkan mengantar mereka--aku merasa tidak kuat membendung air mataku karena itu artinya terakhir kali aku menemui mereka.

"Apa maksudmu?" aku langsung menoleh ke samping halaman rumahku. Ada Harvey di sana membawa tas yang kutebak berisi makanan hangat untuk keluarga kami di sore hari sisa dari pub.

"Tidak ada apa-apa."
Aku bergegas masuk dan hendak mengunci pintu tetapi Harvey menahannya.

"Bukannya kau harus kembali ke Cirencester? Kenapa masih di sini!" kataku sembari menyuruhnya pergi.

Harvey berusaha menahan dengan satu tangan pada pintu. Dan ia begitu kuat.

"Awalnya begitu, tapi aku dipinta mengantarkan ini pada keluargamu."

Aku menawarkan tanganku di sela pintu meminta tas itu tetapi yang ada malah Harvey menarikku keluar.

"Jelaskan dulu, apa yang kau sembunyikan? Dan apa maksud pikiranmu tadi!?"

Aku terpaku, dan rasanya aku ingin mulai menangis lagi.

Jujur saja, aku juga tidak ingin meninggalkan semuanya. Aku berusaha kuat untuk melepaskan dan memberikan yang terbaik. Lalu ketika aku lahir lagi yang bahkan tidak ada jaminan aku mengingat semua. Lagipula semuanya juga akan melupakanku.

Pikiranku telah mengatakan semua, tetapi aku hanya diam tak berkutik sembari menangis sesegukan kecil. Aku tahu Harvey mengetahuinya. Dia hanya membeku dan hampir menjatuhkan tas berisi makanan untuk keluarga kami. Ia kemudian meletakkannya di rumput halaman dan memegang kuat bahuku.

"Ada kaitannya dengan hilangnya dirimu 3 hari dulu? Kenapa kau tidak bilang? Kenapa? Kami temanmu! Kita bisa mendiskusikannya."

Baru kali ini aku melihatnya semarah ini. Namun aku tidak tahu harus bagaimana lagi, karena hal ini tidak bisa didiskusikan. Aku tidak bisa membiarkan Tom pergi padahal ada yang selalu menunggunya.

"Tom, gurumu itu, Ash bukan? Kenapa kau harus memedulikannya. Kau tidak memikirkan kami yang menyayangimu?"

Aku mulai merosot dan berjongkok di lantai batu halaman rumahku. Sembari menutup wajahku yang sudah basah tak karu-karuan, aku berbisik. "Aku sempat menyukainya dan aku tidak bisa membiarkan kejadian seperti Daisy terulang lagi."

"Aku akan memberitahu Esme."

Harvey dengan langkah marah berniat pergi menghubungi Esme, tetapi aku mencegatnya dengan memegangi kakinya. "Aku mohon. Aku mohon. Aku tidak sanggup melihatnya terluka."

Harvey menarik napas panjang dan menanyaiku lebih detail tentang hal itu dan aku menjawabnya dengan jujur kali ini. Tidak melalui pikiran. Namun, aku mengatakannya.

"Kau tahu 10 detik sesaat sebelum manusia meninggal, apa yang terdengar dari pikiran mereka? Teriakan dengan suara blitz cepat tentang penyesalan mereka."

Harvey mengatakannya dengan nada serak. Aku tahu ia masih emosi tetapi jauh lebih reda daripada tadi.

"Apa penyesalanmu Isla?" katanya lagi.

"Bantu aku Harvey, aku mohon. Kau tahu, aku tidak punya banyak waktu."

***

Malam itu, setelah aku mengatakan kejujuranku pada orang yang paling kutakuti mengetahui semua rahasiaku membuatku lega. Namun, kelegaan ini masih kurang karena aku belum bisa mengatakan kejujuran pada dua sahabatku yang lain. Akhirnya aku menuliskan surat untuk Esme dan Lyona. Tentang semua hal yang kusembunyikan. Bahkan tentang hal yang mungkin membuat mereka lupa padaku.

Tidak lupa aku juga menulis sebuah pesan singkat untuk Tina. Cukup singkat hanya berisi dua kalimat. Tentang hiduplah dengan baik dan jaga orangtua kita.

Aku tidak menulis surat apapun untuk orangtuaku. Karena cukup aku mengatakannya sendiri. Aku mencintai mereka. Bila suatu saat entah di waktu apa, aku terlahir kembali. Aku masih ingin bisa melihat mereka.

Senin pagiku kubuat mengirim surat-surat itu ke kantor pos. Meski terletak satu desa, aku yakin surat itu tetap perlu sampai dalam waktu tiga hari di rumah mereka. Untuk surat Lyona, aku juga menitipkannya pada Esme.

Aku sengaja tidak memberikan surat pada Harvey. Namun, ada satu pesan yang kukhususkan untuk Harvey di surat Esme. Perihal menjaga Esme untukku.

Senin siangnya aku bertemu dengan Xi dan makhluk-makhluk mitos di desaku. Rack of isle yang kebetulan sepi atau sengaja disepikan karena makhluk-makhluk mistis berkumpul di sini dan membuat terasa sedikit horor bagi manusia biasa. Mereka berkumpul saling memberikan ucapan selamat tinggal padaku. Aku juga mencintai mereka bagaimana pun juga. Termasuk si Willy, peri desa sebelah, jennie greenteeth sungai Coln, dan semuanya.

Xi tiba-tiba meraih pundakku dan menanyaiku tentang keinginan ketigaku. Karena nanti malam saat pergantian hari aku akan pergi. Dan dia menyarankanku memakan bunga yang ia siapkan daripada langsung didatangi roh kematian yang prosesnya lebih menyakitkan.

Aku mengiyakan tawarannya dan tentang permintaanku ketiga. Kuputuskan kalau aku akan meminta itu. Kubisikkan permintaan itu pada Xi dan membuatnya sedikit kaget.

"Itu termasuk abnormalitas kehidupan. Hidupmu tidak akan normal, xi."

Aku menggeleng karena tidak mempermasalahkannya. Bagiku itu adalah hal penting. Lagipula menurutku selama aku tidak bertemu atau dekat dengan abnormalitas kelahiran dan memiliki kompleks abnormalitas kehidupan seperti mampu melihat makhluk dunia mistis aku masih bisa menjalani hidupku dengan baik.

"Kau tahu, xi. Kau orang yang unik. Xi tidak menyesal berteman denganmu. Dan sekadar tambahan, tidak semua abnormalitas kelahiran membawa masalah hingga perlu kau hindari. Terkadang, ada yang benar-benar spesial."

Xi tersenyum kemudian memeluk pipiku. Dan aku menggesekkan pipiku sebagai bentuk pelukan balik. Setelah itu ketika aku pulang ke rumah. Aku melihat kedua orangtuaku yang mengobrol di dapur. Dan aku langsung memeluk mereka serta mencium mereka dan mengatakan aku mencintai mereka sepenuh hati. Mereka tersipun dengan ucapanku yang terdengar seperti gurauan laku menyuruhku untuk segera mandi. Di depan kamar, ada Tina yang mencegatku dan ia mengatakan sesuatu yang langsung membuatku mencelus.

"Apa yang semalam kau ucapkan benar? Jangan pergi."

Aku langsung mengajaknya masuk ke kamar dan menceritakan cerita singkat untuknya.

"Ada seseorang yang terlahir dengan keistimewaan. Keistimewaannya itu membuatnya harus menyelesaikan tugas. Dan begitu tugasnya selesai. Ia harus pergi. Terlepas bagaimana pun dia cinta dengan tugasnya. Dia harus pergi usai melaksanakannya. Dan tadaa. Tugasku sudah selesai Tina."

Aku tersenyum dan melihatnya menangis dengan lebat. Aku pun langsung memeluknya dan meminta maafnya.

"Maafkan aku yang merebut semuanya, tapi aku memerlukannya untuk menyelesaikan tugasku. Dan sekarang. Semuanya akan kukembalikan. Mungkin kau akan ingat aku sedikit." Dalam pelukanku dia masih menangis dan memukul kecil punggungku dan mengatakan aku jahat berulangkali.

Aku mengusap rambutnya dan menbuatnya berjanji untuk tidak mengatakan pada siapapun tentang apa yang kukatakan. Meski itu sepenuhnya bohong. Aku tidak menceritakan kebenaran padanya. Aku tidak ingin membuatnya merasa sedih dengan kepergianku.

Setelah ia tenang aku menyuruhnya pergi ke kamarnya dan sampai jumpa besok pagi. Aku mengatakan padanya bahwa aku baru akan pergi lusa. Dan ia sendiri juga tidak tahu bagaimana caraku akan pergi. Namun, itu tidak penting lagi karena Xi sudah mengetuk kaca jendelaku.

Ia datang dengan membawa bunga biru keunguan yang sangat cantik. Aku tidak tahu jenisnya apalagi, yang jelas katanya ini bunga yang hanya tumbuh di tanah pixie-nya.

"Ah, dan satu lagi, xi. Tentang permintaan keduamu. Eksistensimu tidak sepenuhnya hilang. Hanya terasa memudar. Dan besok kau akan dimakamkan dengan tenang dan tunggu saja sampai kau yang berada dalam kegelapan bertemu dengan cahaya." Xi yang melompat ke telapak tanganku, kubawa ke nakas mejaku. Ia kemudian memberikan bunga yang ia bawa dan menyuruhku untuk memakannya semua lalu melarutkannya dengan air.

"Dan tentang permintaan ketigamu. Kau tidak akan merasakan perbedaannya kini atau nanti. Hanya saja, permintaan ketigamu akan terkabul begitu saja."

Xi mencium pipiku dan mengatakan selamat tidur untukku. Serta di kehidupan selanjutnya ia akan tetap mengawasiku bila bertemu denganku meski aku tidak bisa melihatnya. Ia mengatakan, aku adalah teman manusia terbaiknya. Aku terharu untuk itu.

Aku melahap dan mengunyah bunga berwarna biru keuanguan itu. Rasanya manis ketika di lidah, tetapi langsung kularutkan dengan air yang kuminum dan bergegas tidur di ranjang dan memakai selimut.

Saat aku memejamkan mata, aku merasa terhentak begitu saja. Dan saat aku bangun yang kulihat hanya kegelapan. Ada suara blitz seperti yang diceritakan Harvey lewat begitu saja. Dan itu berisi semua momenku.

Aku tersenyum kemudian menemukan sebuah cahaya. Ketika aku melangkah menuju sebuah cahaya itu. Aku menemukan kegelapan lagi.

Aku takut kalau semua yang dikatakan roh-roh itu dan para makhluk mistis itu palsu. Aku takut ditipu kalau aku tidak pernah bisa kembali. Namun ketika aku merasakan sedikit kehangatan yang mendadak. Aku menjadi tenang dan menyemangati diriku sendiri, terlepas palsu atau tipuan setidaknya aku sudah tidak punya cukup banyak penyesalan.

Aku hanya akan menunggu di kegelapan ini dan menjadi satu dengannya. Sampai suatu saat, seseorang atau apa pun menemukanku.

Dan aku tidak masalah bila aku benar mati, tidak terlahir lagi.

~
1918 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro