-Tujuh Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Terkadang bagi sebagian orang, waktu tidak berjalan semudah itu
.

"Hati-hati!" seruku melambaikan tangan pada Esme dan Lyona naik mobil yang dikemudikan ayah.

Kini hanya tinggal aku sendiri selama tiga hari ke depan. Esme sedang mencari jawaban, maka aku juga harus mulai mencari jawaban. Aku pergi ke kantor Nyonya Merry dan memohon untuk meminjam perpustakaan sore yang beranjak malam ini. Nyonya Merry sebenarnya adalah penjaga perpustakaan. Namun, entah sejak kapan katanya ia jadi guru penjaga asrama angkatanku. Tidak ada yang menjaga perpustakaan jadinya perpustakaan tersebut sering dikunci. Terlebih perpustakaan tersebut memang ada rencana di renovasi, walau belum direalisasikan.

"Ash?" panggilku pada dalam gedung perpustakaan yang seukuran rumah ini. Kunyalakan lampu dan tidak menemukan apapun di sana.

Aku pergi mengarah pada rak-rak buku dan menemukan Ash di sana. Ia memegang buku.

"Ka-kau bisa menyentuh sesuatu?"tanyaku kaget dengan buku yang ia pegang dan kemudian jatuh begitu saja.

"Ya, tetapi sebentar kemudian tembus seperti barusan,"katanya sembari melihat buku yang menembus kakinya.

Aku mengambil buku itu dan melihat judul di sampulnya.

"Buku sajak anak-anak? Untuk apa?"

"Aku pernah mendengar kalian mengira aku Georgie Porgie. Aku sendiri tidak pernah dengar itu jadi aku mencoba mencari tahu."

Aku mengangguk-angguk dan membalik-balikkan halaman untuk mencari sajak anak-anak yang berjudul Georgie Porgie.

Georgie Porgie, Puddin' and Pie,
Kissed the girls and made them cry,
When the boys came out to play
Georgie Porgie ran away

Aku meringis menyanyikan sajak ini.
"Tidak ada anak laki-laki yang keluar dan mampu membuat si Georgie Porgie ini pergi. Dia kan ada di asrama perempuan."

"Tapi ada yang membuatnya pergi. Itu dirimu," katanya dingin yang membuatku menatapnya tajam.

"Kau masih tidak suka ya kularang seperti ini?"

Dia menghela napas panjang. "Kau melarangku menemukan seseorang yang kucari dan tujuanku saat ini. Memangnya siapa yang tidak suka?"

"Tapi kan, aku membantumu. Lihat aku akan pergi mencari buku album sekolah dan tentang dirimu."

Aku beranjak bangun dan segera pergi ke rak album sekolah dan menemukan banyak buku tebal berjejer sepanjang tiga sel ke bawah dan tiga sel ke atas.

"Sedikit berat. Sekolah ini sudah dibangun cukup lama rupanya."

Aku mendecih tidak terima dan mulai mengambil tiga buku tebal di pojokan sel paling bawah. Kusuruh Ash duduk di hadapanku. Aku tidak tahu ia benar-benar duduk di kursi atau duduk di atas angin. Kupinta wajahnya untuk terus menatapku. Kuarahkan pandanganku antara buku album sekolah dan dirinya.

Sampai tiba-tiba aku yang terus membandingkan dirinya dengan wajah-wajah di buku mulai berbicara, "kau tidak kembali ke kamarmu? Jam sudah menunjukkan pukul 11."

"Ah, astaga. Kau benar!" Aku pun segera menutup buku dan berlari menaruhnya kembali ke rak buku. Kudapati ternyata Ash sudah pergi ke depan pintu yang membuatku bertanya-tanya.

"Akan kutemani kau kembali ke kamar," katanya begitu.

"Kau tidak cari-cari kesempatan saat semua orang sedang tidur kan?" Aku skeptis padanya.

"Tidak. Sepertinya aku adalah orang yang menepati janji jadi tidak mungkin aku melakukannya."

"Sepertinya? Apa kau ingat dirimu?"

Dia menggeleng. "Aku hanya menduga saja."

Hal itu membuatku menghela napas dan segera menutup serta mengunci pintu.

Aku tiba di depan kamar setelah mengantar kunci dan mendapati Ash masih mengikutiku. Aku hendak masuk tetapi rasanya aneh ada dia di depan pintu.

"Aku akan masuk. Kau bisa pergi, dan terimakasih." Aku mengatakan demikian masih sambil berdiri di hadapannya yang tidak beranjak.

"Besok apa yang kau lakukan? Sepertinya teman-temanmu tidak ada di kamar. Tidak ada suara mereka atau mereka muncul mengikutimu."

Aku menggeleng. "Mereka sedang pergi. Aku tidak ikut karena mengawasimu. Besok mungkin aku akan mencari lagi di album sekolah. Akan kulakukan hal seperti ini terus setiap hari libur. Kuyakin dalam satu sampai dua bulan aku akan menemukan identitasmu."

"Kau tidak perlu berusaha sekeras itu. Katamu dua tahun kan? Aku bisa menunggu dan menunggu itu tidak masalah bagiku. Aku tidak merasakan waktu. Waktuku terhenti," katanya.

"Bagaimana cara agar membuat waktumu berjalan?" Sebuah pertanyaan yang terlontar begitu saja di kepala.

Ash terdiam, dan aku juga tidak tahu harus mengatakan bagaimana lagi langsung masuk ke kamar dan menutup pintu.

Di balik pintu aku bersandar dan merutuki kebodohanku. Sudah jelas bahwa waktunya tidak berjalan dia jenisnya saja tidak jelas. Pipiku jadi merah dibuatnya.

Besoknya aku menemukan Ash bersandar di depan kamar. Hari libur seperti ini selasar asrama masih kosong. Kebanyakan orang masih terlelap karena ini hari liburnya.

Kutanyai ia mengapa berada di depan kamarku dan ia menjawab ada yang ingin ia lakukan bersamaku.

Ia merenungkan pertanyaanku semalam. Ia mengatakan ada sosok yang pernah berbicara dengannya dan mengatakan mengenai dunianya.
Katanya, Ash bisa saja memilih diantara dua dunia yang menjadi tempatnya bernaung saat ini dan sesuatu yang mengatakan itu adalah yang kutemui kemarin. Si Tan yang tinggal di bunga Phlox.

"Dia yang mengatakannya," kata Ash. Aku tahu Tan ada di balik bunga-bunga tetapi ia tidak mau keluar ia malu pada yang asing sekali pun mereka pernah mengobrol.

"Apakah yang kau katakan benar? Tan?" tanyaku pada Tan yang sembunyi.

"Tan tidak tahu, Tan tidak tahu xi. Kau bisa tanya pada tetua xi saja xi. Tan tidak tahu xi." Nada Tan terdengar takut dan marah. Aku pun tidak berani melanjutkannya karena aku tidak ingin mengambil resiko.

"Sekarang kau akan ke mana?" tanya Ash padaku.

"Kau mau mengikuti? Mungkin ke perpustakaan. Tidak ada hal yang dapat aku lakukan. Ah atau mungkin ke kebun yang dialiri air dari danau buatan?"

"Ini hari liburmu tidak kah kau penat pergi ke perpustakaan? Aku menyarankanmu ke kebun," katanya.

Aku meringis kecil. Dia saja yang waktunya tidak berjalan tidak merasakan penat. Untuk apa dia mengkhawatirkanku?

"Kau aneh Ash."

"Entitasku saja sebenarnya juga sudah aneh."

Aku tersenyum dan mengajaknya pergi ke kebun yang terletak di belakang gedung asrama. Kebun Rendwench sebenarnya berupa green house dengan pipa-pipa dalam tanah yang tiba-tiba mencuat di dekat greenhouse yang berisi air untuk tanaman-tanaman di sana. Katanya dulu, sebenarnya kebun ini tidaklah berbentuk greenhouse. Lebih seperti tanah kering, tetapi karena semakin majunya sekolah ini membuat sekolah ini meningkatkan fasilitasnya menjadi sebuah rumah kaca yang dingin.

Masuk ke arah pintu, angin segar sudah tersebar. Ini masih pagi, barangkali mungkin sekarang sudah jam 7—satu jam semenjak aku bangun—tetapi tetap saja udaranya masih enak mengingat musim dingin mendekat.

Di sana aku melihat tiga orang gadis yang sedang menanam tanaman di lokasi yang berbeda-beda. Sampai salah satunya menghampiriku dan menanyai tujuanku kemari.

"Aku hanya ingin lihat-lihat," kataku.

"Apa kau ingin bergabung ke ekstrakurikuler berkebun?" tawarnya mendadak dengan mata berbinar.

Aku meringis lagi,"akan kupikirkan."

"Okay, take your time," katanya yang kemudian menyilakanku untuk melihat-lihat rumah kaca ini.

Aku menghampiri salah satu sudut rimbun rumah kaca. Sebuah rimbunan bunga berwarna merah menarik hatiku.

"Bunga tulip merah," kataku.

"Lalu?"

"Deklarasi cinta, aku memikirkan Esme. Apa ia sudah mengatakannya."

"Aku tidak mengerti maksudmu."

"Tidak perlu dimengerti karena aku bicara sendiri."

Aku tersenyum dan lanjut berjalan-jalan lagi melihat rumah kaca ini.

Ada bunga morning glory yang merambat di tiang-tiang yang sengaja ditanam. Aku mengamatinya dan bunga itu rupanya baru mekar. Bahkan ada titik titik embun masih menempel.

"Kau sangat suka sekali bunga ya," kata Ash. Aku mengiyakannya sembari lanjut berjalan.

"Saat aku buta dan tuli dulu. Seseorang memberitahuku untuk melihat dunia dengan hati. Membayangkan keindahan bunga-bunga ini mustahil untukku.

"Jadi, aku hanya mampu menciumi aromanya, merabanya dan memahami makna-makna yang ada di sana sebagai wujud caraku melihat dunia."

Aku mencium aroma-aroma tanah yang basah, dan aroma bunga pagi hari yang lembap. Bagiku itu menyenangkan dan sedikit bernostalgia sewaktu aku masih buta dan tuli dulu yang sering kali dibawakan bunga, tanaman, bahkan aromaterapi.

"Rasanya aku pernah mendengar apa yang kau ucapkan barusan."

Aku menoleh ke belakang melihat Ash yang terdiam menatapku. Sosoknya yang diterpa cahaya matahari dengan sorot mata menatapku dengan suatu tatapan membuatku terdiam.

Rambut pendeknya sedikit terterpa angin musim gugur bergoyang, aku tahu itu artinya rambutnya lembut, mata abunya mengunciku dalam diam dan dirinya yang hanya mengenakan kemeja putih dan celana putih yang terkadang seringkali membuatku berkhayal sebenarnya dia malaikat yang turun. Atau barangkali seperti hantu pendendam dengan segala aura tidak mengenakkan ketika dia marah terutama ketika puding dan Pai tersebutkan.

"Boleh aku mencoba mencium pipimu?"

Perkataannya membuatku membeku dari yang semula memperhatikan fisik tak nyatanya menjadi mencoba mencerna apa yang Ash katakan barusan.

"Eh?"

~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro