12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

A-a-apa yang mereka lakukan di sini?!

Yang ceria ini tak pelak lagi si Hermit, kami sudah bertemu sebelumnya. Remaja berpakaian bangsawan memakai aksen khas konglomerat itu pastilah Northa, lalu wanita fans berat di sebelahnya adalah Sokeri, hanya dia maniak Northa. Gadis di belakang, menutup diri, menatapku dengan ekspresi: apa yang sedang dipikirkan anak ini? adalah Castle! Yang barusan menyebutkan 'mengemaskan' pastilah Dien. Dia dokter, kelak bertemu banyak jenis pasien. Terakhir, CEO dari perusahaan ternama di Kota Hallow, wakilku sendiri, tengah mengembalikan bola yang kucari. Tak lain tak bukan Mangto!

Walau minus Tobi, kenapa mereka semua berkumpul di sini? Apa mereka melakukan meet up? Aku ingat! Percakapan mereka di event minggu lalu, bilang akan saling bertemu dan makan-makan bersama, namun ajakan itu kutolak. Apa mereka berniat melaksanakannya hari ini?

"Hermit, bukankah anak kecil yang kau sebut itu perempuan? Dia terlihat laki-laki." Castle membuka suara, memecah balon pikiranku.

Gawat! Aku lupa, aku tidak pakai rok atau pita. Tidak. Aku bersumpah takkan memakai pakaian pendek itu lagi! Trauma aku dibuatnya.

Hermit bergumam. "Cewek kok."

Aku menelan ludah, menatap serius. Di game, Castle adalah player paling hati-hati yang bahkan melampaui kehati-hatianku. Hermit mungkin sudah menceritakan masalahnya pada Castle. Aku tidak boleh gegabah dan harus bersikap sealami mungkin.

"I-iya!" Aduh, mulut, bekerja samalah denganku sekali ini. "A-anu, tidak semua perempuan suka memakai rok atau bendo. Aku kurang suka."

"Benar!" bela Hermit, meloncat senang ke arahku. "Robon adalah tipe gadis tomboi. Aku menyukainya!"

Castle menatap tajam. "Lalu kenapa kau mengejar bola ini? Apa kau bermain bola? Berarti kau bareng teman-temanmu."

Aku mati kutu. Castle takkan membiarkanku lepas semudah itu. Perihal pesan teror yang menganggu Northa dan Hermit membuat Castle menambah tingkat kewaspadaan.

"Lho? Tidak apa, kan, anak cewek main bola? Lagi pula Robon masih kelas 6 SD. Dan dia tomboi." Bagus, Hermit! Bela terus sementara aku mencari kesempatan keluar dari situasi pelik ini!

"Tomboi, ya...," mata Castle nakal menatapku dari atas sampai bawah.

Aku melotot, secepat kilat membalikkan badan. "A-aku pergi dulu, Kak Her—Hana! Teman-teman bakal marah kalau aku terlalu lama pergi." Aduh, di saat seperti ini bisa-bisanya kepeleset lidah.

"Tunggu," Aish! Kenapa Mangto malah menghentikanku sih! Kepepet atuh.

"A-ada apa?"

"Aku ingin mengucapkan terima kasih."

Hah? Apa?

"Jika bukan karenamu, jika kau tidak meneleponku, Hermit bisa celaka. Aku benar-benar berterima kasih."

"I-itu bukan masalah besar." Masalahnya sekarang kau terlalu dekat denganku, Mangto. Kau bisa mendengar detak jantungku yang mau meletus saking takutnya.

"Menarik." Castle menceletuk lagi, bertambah masalah. "Bagaimana cara anak kecil sepertinya mengetahui nomor ponsel Mangto?"

"Paman ini seorang CEO terkenal di kota Hallow, tentu identitas pribadinya dicetak eksemplar dan ditempelkan di mana-mana." Yah, walau alasan aslinya aku hapal nomor HP-nya Mangto sih.

"Kau pintar sekali, Robon!" puji Hermit tersenyum manis.

Syukurlah. Aku bersyukur Ideo datang menyusulku, hampir menangis bahagia di dalam kalbu.

"Robon," Ideo terengah-engah. "Kenapa kau lama sekali...." kalimatnya menghilang demi melihat Mangto dkk. Mengernyit. "Siapa mereka? Mafia?"

Northa melotot jengkel. "Siapa bocah tak tahu diri ini?"

"Tenanglah, Northa. Dia hanya anak-anak."

Aku secepat kilat menyambar bola di pegangan Mangto. "Ka-kalau begitu aku permisi dulu! Terima kasih, Paman CEO!"

Kami berdua lima langkah menjauh dari rombongan Mangto.

"Tapi, tak kusangka mereka kuat sekali." Ideo bergumam random, mengelap keringat. "Secara individu, kekuatan kelas 6A bukan main-main. Kita belum mencetak gol."

Benar juga. Meski aku tidak serius bermain bola, aku bisa merasakan perbedaan kekuatan di pertandingan.

"Apa kau punya saran?"

"Kenapa kau bertanya padaku?"

"Bukankah ini keahlianmu? Memerintah, memberi arahan, menyusun strategi."

Aku mengelus dagu. "Karena gawangnya bukan gawang asli, tingginya mungkin sekitar 3,35 meter dengan lebar 6.22 meter. Sementara tinggi penjaga gawang lawan 139 sentimeter. Masih ada jengkal menyentuh tiang gawang, namun susah berkelit sebab matanya lincah. Sudah begitu fokus pemain kita pecah karena perselisihan skor."

"Jadi bagaimana harusnya?"

"Gunakan gerakan tipuan."

"Eh?"

Aku benar-benar lupa kalau aku masih di depan Mangto dan yang lain.

"Paling tidak ada tiga pemain di garis gawang, satu mengiring bola, satu di pertahanan tengah, dan satu lagi di sisi kanan gawang. Tipu penjaga gawang seakan kau hendak menendang bola. Matanya akan menangkap gerakan tersebut. Tetapi, bagaimana jika kau justru mengoper? Tetapi, bagaimana jika dia masih bisa menangkap titik gerakan strategi? Maka satu-satunya cara yang tersisa ya pemain ketiga, gerakan tipuan kedua. Selama mereka tidak melakukan agresivitas, kita punya kesempatan mencetak gol."

Ideo manggut-manggut. "Boleh juga tuh. Mari kita coba."

Aku mengangguk. Kami melesat kembali ke lapangan. Lupakan masalah kabur. Bermain bola dengan Ideo lebih baik harus melewati Mangto dan yang lain.

Hermit mengerjap tiga kali. "Wah, tak kusangka Robon sepandai itu memberi perintah."

Wajah Castle serius. "Ada yang aneh pada anak itu."

Dien, Sokeri, dan Northa hanyut dalam pemikiran.

Mangto diam. Dia-lah yang paling dekat dengan Clandestine.

*

Aku keluar dari kamar mandi, mengembuskan napas lega. Mandi obat terbaik melupakan beban masalah. Aku jadi lupa sesaat kalau aku bertemu anggota guild-ku tadi pagi.

Ini malam minggu, sekolah libur—sebab sekolah dasar hanya melakukan PBM senin sampai jumat. Aku punya rencana buat malming nanti, ngegame sampai pagi.

"Ma, makan malam sudah si—" Aku membeku di balik anak tangga, spontan membuang wajah ke samping. Ini pemandangan yang belum boleh kulihat.

Mama secepat kilat mendorong tubuh Dhave, memperbaiki bajunya yang hampir lepas. "Aduh, Ram, kamu bertanya apa tadi?"

"Lupakan," kataku ketus. "Aku ingin menginap di rumah Billy. Nikmati waktu kalian."

"Tunggu, apa? Ram! Dengarkan Mama dulu!"

Aku tak mengindahkan seruan Mama, menyamar jaket, menuju pintu. Bisa-bisanya mereka melakukan hal senonoh seolah tidak ada orang lain di rumah. Menyebalkan, menjijikkan. Walau itu Mama sekali pun.

Dhave mencerkau lenganku. "Segitu tidak sukanya kau padaku? Katakan, apa pun masalahmu padaku. Aku akan berubah supaya kau bisa menerimaku."

Aku menatap tajam. "Berubah pun percuma kalau dalamnya sudah terlanjur busuk," ucapku menepis tangan Dhave. Segera berlari keluar dari rumah.

"Ram, tunggu!"

Kenapa Mama tidak mengerti juga? Harusnya Mama belajar dari pengalaman dibuang Papa! Mengambil hati, lantas memperbudak, menjajah seisi rumah. Menyuruh Mama yang bekerja dan dia di rumah.

Menyebalkan. Semua pria dewasa tak bisa dipercaya!

Bruk!

"Ah, maaf." Aku berkata dengan hidung kedat. Mataku panas.

"Tidak apa," ucap orang yang kutabrak. "Kau habis menangis?"

Suara ini, macam pernah dengar.

Aku mendongak, refleks menelan ludah.

"Mangto?"

•••

13 Maret 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro