11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kudengar kau tidak masuk kemarin karena terserang flu. Kau sudah sembuh?"

Aku mengangguk singkat, sibuk mencatat materi yang ketinggalan. Tanganku menulis cepat menyalin catatan teman sekelas.

Paula menoleh ke luar jendela. Mendung. Sepertinya hujan akan membungkus Kota Hallow malam ini. "Kepala Sekolah sepertinya serius tentang program 'Satu Bulan Belajar Setelah Sore'. Apa komite tidak turun tangan? Ini tidak baik untuk kesehatan murid!"

"Mereka menginginkan bioritme sirkadian dalam tubuh kita tidak hanya menyesuaikan di siang hari saja, Paula. Suatu saat ini akan berguna, terutama bagi mereka yang suka berkemah. Nikmati saja prosedurnya." Aku berkata sembari terus mencatat.

Paula mendengus, menatap masam. "Gaya bicaramu seperti profesor saja. Apa otakmu seencer itu?"

"Aku bahkan bisa menerangkan Teori Nebula dan Teori BigBang padamu sekarang juga. Atau mengenai geoelektrisitas."

Paula mengangkat tangan.

Billy yang memperhatikan percakapan, ikut menyeletuk. "Aku penasaran kenapa Ram bisa sepintar itu. Mamamu memberi asupan susu Einstein, ya?"

Mana ada yang seperti itu. Aku mengedikkan bahu, "Aku hanya membaca buku. Tak lebih tak kurang."

"Tetap saja kamu terlalu pintar untuk anak 12 tahun, Ram," Billy menatapku selidik. "Atau jangan-jangan yang mengisi ragamu jiwa kakek-kakek genius? Ngaku tidak!"

"Suka hati kau."

Tek

Tanganku berhenti menulis. Ada benda padat yang menganggu pemandangan, berada di depan mataku. Aduh. Aku baru saja sembuh dari masuk angin konyol semalam, jangan ditambah dong bebanku.

Ideo beserta gengnya tersenyum bengah, pelaku meletakkan bola ke depanku. "Yo, ketua Ram! Aku dengar kau absen karena sakit. Utututu, apa ketua sudah sembuh? Bagaimana kalau besok pagi main bola di lapangan?"

Aku manyun. Untuk seukuran anak berusia 12 tahun, Ideo adalah nomor satu yang paling mencerminkan. Dasar anak nakal.

Telunjuk Paula teracung ke wajah Ideo, menatap galak. "Eh, kalian, tidak ada kerjaan lain hah menganggu Ram melulu. Kalian suka padanya, heh? Aduh. Masih kecil sudah bermasalah kesehatan psikis kalian. Ckckck."

Wajah Ideo menggelembung marah. "Anak cewek jangan ikut campur, bisa? Ini masalah pribadi antar pria. Atau kau-lah yang suka sama Ketua Ram dan mati-matian membelanya."

Semburat merah memenuhi muka Paula, melotot, menarik kerah Ideo. Hendak menonjok. "Kau cari masalah, ya?! Ayo sini! Aku tidak takut pada laki-laki cengeng sepertimu!"

"Aku kan cuman mengajak Ram main bola! Kenapa kau ikut-ikutan?! Kau yang cari masalah!"

"Apa ini? Ternyata kau segitunya ingin mendapat perhatian Ram? Bilang saja kau gengsi jadi temannya!"

"A-apa katamu?!"

Terjadilah 'perkelahian' kecil di depan mejaku. Paula menjambak rambut Ideo, lalu Ideo menarik-narik baju Paula. Billy susah payah menarik Paula mundur, juga antek-antek Ideo. Penghuni kelas makan pop corn, lumayan dapat tontonan gratis.

Aku manyun. Apa sih yang mereka debatkan? Nggak jelas banget. Menganggu proses menyalin-ku saja.

Satu pesan masuk ke ponsel baruku, Mama yang membelikannya kemarin. Tak kusangka Mama amat antusias dan langsung tancap gas ke toko handphone. Aku menginstall beberapa game online dan offline kala aku bosan nanti, lalu beberapa gadget kecil.

Siapa kau sebenarnya, Clandestine?

Aku menatap kesal. Lagi-lagi pesan ini? Hei! Ponselku ini baru saja terbeli tadi malam! Kenapa sudah bisa diretas sih? Apa populasi hacker di kota ini meningkat? Kalau terus begini, identitasku terancam.

Maka sepulang sekolah, aku bergegas menyalakan PC, menyambungkan kabel USB ke ponsel. Jika mereka bisa melacak identitas pemilik sebuah ponsel, aku tinggal memasukkan data palsu ke cip ponselku.

Entah siapa kalian, kalian pikir aku bodoh? Nah! Lacak sana topengku selama ini. Pekerja keras bernama Benny Roberto, 32 tahun, bekerja di Industri Otomotif Komersial, masih lajang dan single.

Aku tertawa keras di dalam kamar. "Hahaha! Kemenangan mutlak Clandestine!"

#

Seluruh perkakas di dalam ruang berjatuhan ke lantai. Empunya rumah marah besar, melampiaskan emosinya pada benda mati. Semua perabot dalam keadaan sungsang.

"Ka-kami sudah memeriksa identitas itu berkali-kali, Kapten. Tapi nama Benny Roberto tidak tercantum di data sensus penduduk Hallow. Juga tidak ada nama pekerjaan demikian di pabrik yang tertulis. Sepertinya Clandestine tahu pergerakan kita dan membawa kita ke informasi yang melenceng. Dia sangat pintar dari kita."

PLAK!

Sudah tahu musuh mereka Marmoris, malah dipuji. Anak buah yang keceplosan itu terbanting berkat pukulan Bos, beringas.

"Coba ulangi? Lebih pintar dari kita? DIA HANYA PLAYER PONGAH YANG PENUH KEBERUNTUNGAN! AKU TIDAK PERNAH MENGAKUI KEHEBATANNYA! TIDAK AKAN! Dia hanya beruntung, tak lebih. Lalu aku akan menunjukkan padanya siapa pemain terhebat di dunia ini."

Makhluk hidup di ruangan dengan berbagai macam interior, menelan ludah.

"Cepat temukan dia! Takkan sulit menemukannya di kota sampah ini. Cari dan temukan, atau kalian semua kubunuh. Periksa seluruh CCTV yang kita pasang! Cari sesuatu yang ganjil, aneh, ganjal!"

"Ngomong-ngomong soal hal aneh, aku menemukan rekaman Hermit, Kapten."

Bos menoleh cepat. "Hermit?"

"Ya. Dia dipalak oleh orang mesum dan diselamatkan oleh dua bocah," Anak buah yang bertugas memantau kamera menunjukkan sebuah rekaman.

Untuk meluaskan pencarian, mereka memasang banyak CCTV di tempat-tempat terpencil, jauh dari jangkauan kamera keamanan. Bahkan satu dua kamera merekam kegiatan harian member Marmoris yang sudah dilacak.

"Melihat seragam yang mereka kenakan, sepertinya mereka berasal dari SD Trick."

"SD Trick?" Bos mendecih, terkekeh menyeramkan. "Sekolah dasar yang diisi para kecebong. Apa menariknya fakta itu?"

"Tapi, Bos, mereka berdua berhasil mengelabui pria yang mengejar Hermit. Mereka jelas diarah oleh seseorang dari jauh. Satu di antaranya adalah murid terkenal di Kota Hallow, namanya Rorobon Ram."

Bos mengernyit, asing oleh nama itu. "Rorobon Ram?"

"Benar. Anak muda cerdas yang amat berprestasi di bidang pendidikan. Dia mengikuti berbagai perlombaan nasional, selalu pulang dengan kemenangan. Dia anak terpintar di kota ini lho."

Layar meng-close up wajah Ram, membuat Bos tersenyum miring.

"Selidiki latar belakangnya."

#


Aku pikir Ideo tidak serius soal ajakan bermain bola, namun dia benar-benar datang. Yang tak kupercaya adalah aku menyetujui ajakannya.

Dan di sinilah kami sekarang, lapangan luas di dekat jembatan rel kereta. Berseberangan dengan danau Pamkin.

Sial, ini gara-gara aku termakan provokasi teman-teman di kelas. Mereka mungkin sudah disogok oleh Ideo. Aku masih ingat percakapan tadi malam.

"Ram, apa kau ikut ke lapangan besok pagi? Kita main sepak bola."

"Iya nih. Ram selalu pulang duluan dan jarang main sama kami-kami di luar sekolah."

"Ayolah, Ram. Sepak bola itu olahraga kesukaan para pria lho. Kamu bisa jadi penjaga gawangnya."

Aku melambaikan tangan, tersenyum kikuk. "Tidak, kawan. Aku ada urusan di rumah. Kapan-kapan saja, ya."

"Ikh, alasan Ram itu mulu. Memangnya kau sibuk ngapain? Kerja? Kita baru kelas 6 SD! Masa anak-anak yang butuh hiburan dan bermain sepuas-puasnya sebelum masuk SMP."

Yeah, aku memang bermain. Tapi bukan permainan bocah seperti itu. Dan hari ini ada event Deathmatch. Aku tidak boleh terlambat online.

"Nggak mau tahu! Ram harus ikut!"

"Tapi—grep!" Lenganku ditarik. "Sebentar, aku sudah punya urusan. Aku tidak bisa ikut dengan kalian."

"Ram punya rahasia, ya? Kudengar di rumah kau suka mengurung diri."

Aku mengerjap. "Tahu dari mana?"

"Ram introvert? Tapi itu tidak mungkin. Secara, kau ini bintang di sekolah kita. Juga ketua kelas kami."

Bersungut-sungut, aku mengambil posisi penjaga gawang, dalam hati masih sibuk sumpah-serapah. Aduh, jika saja mereka tidak berbondong-bondong ke rumahku tadi, Mama tidak akan memberi izin.

Ada ya orang tidak mau dipaksa.

Setengah jam kemudian, kami larut dengan pertandingan. Semua berjalan damai hingga aku tak sengaja menyepak keras (memakai segenap tenaga karena masih kesal) bola kaki. Benda itu melambung tinggi ke luar dari lapangan rumput. Home run untukku.

"Keren! Jadi rumor mengenai ketua kelas 6B membantai semua penghargaan di lomba olahraga itu betulan nyata!"

"Tendanganmu keras sekali, Ram."

Aku cengengesan paksa. "Hehehe, maaf. Aku akan segera kembali."

Dalam hati, aku tertawa setan. Ini kesempatanku kabur. Bisa saja mereka menunggu dan berdecak aku tak kunjung kembali membawa bola. Besok aku bisa memberi alasan perutku mules dan bergegas pulang ke rumah. Atau kukasih saja alasan aku diculik dan baru bisa melepaskan diri sore hari.

"Ini bolamu, Nak?" Seseorang berkata, memegang bola yang kucari (supaya bisa kusembunyikan).

"Wah! Kita bertemu lagi, Robon!"

"Robon? Oh, jadi dia anak kecil yang menolongmu?"

"Ah, dia menggemaskan sekali~"

"Hei, aku kepanasan di sini, Mangto. Bisakah kau kembalikan bolanya dan kita lanjut ke Kafe Ceibar? Lancang sekali membuatku berkeringat."

"Apa pun demimu, Pangeran Northa! Aku sudah membawa pakaian ganti, handuk dan air dingin."

"Jangan menyentuhku!"

Aku terhenyak di tempat. Ini mimpi buruk. Semua anggota Marmoris berkumpul di depanku, dengan Mangto yang tersenyum menyodorkan bola. Rasanya ingin pulang.

•••
19 Januari 2021


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro