10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Bagaimana ini, Kapten? Ada empat lereng landai. Kita tidak tahu di mana jalan keluar. Bisa jadi jurang dalam. Pasukan-pasukan itu sudah mengejar di belakang."

Hermit menggeleng pucat. "Terlambat. Mereka sudah datang."

Belasan pasukan berbaju teroris berderet membuat barikade menghadap anggota Marmoris, menodongkan senjata. Pimpinan mereka menyeringai lebar, puas melihat Marmoris tersudut. Clandestine berdecak.

"Inilah akhirnya. Terimalah kekalahan kalian!"

Clandestine mendengus. "Semuanya, ambil posisi. Ulur waktu," perintahnya menarik pin bom asap lantas melemparnya ke arah teroris. "Berlindung di balik tembok."

BUM! Dor! Dor! Dor!

Manik mata Clandestine bermain, mencari suatu tempat untuk dijadikan perlindungan. Satu anggota teroris sudah mengambil posisi untuk melepaskan rudal, membidik ke seluruh anggota Marmoris.

"Ketua, kita kehabisan amunisi!"

Berdecak untuk kedua kalinya, Clandestine tidak punya waktu lagi. "5 detik lepaskan pistol, kita berpencar ke masing-masing lereng. Satu-satu jalan akan dilewati 2 member. Hermit-Mangto lorong pertama. Tobi-Northa lorong tiga. Dien-Castle lorong dua. Begitu sampai di ujung lorong, jangan segan-segan menghancurkannya. Kita kembali ke titik yang sama. Berhati-hati karena lereng ini boleh jadi licin. Yang terlambat, yang terpeleset, akan ditinggalkan!"

"PAHAM!" Mangto lebih dulu berhenti menembak, menarik tangan Hermit, segera masuk ke lorong satu.

"5! 4! 3!" Clandestine mulai menghitung mundur, mengeluarkan banyak bom dari sabuk. Sementara itu Dien, Castle, Tobi dan Northa perlahan masuk ke lorong yang sudah diperintahkan.

"2! 1!" Terakhir, Clandestine menekan pelatuk bazoka. Tubuhnya terlempar ke belakang sebab tak kuat menahan daya dorong senjata.

DUAR

"A-choo!" Aku bersin untuk kesekian kalinya, mengelap ingus. Notif win muncul di layar komputer.

[Ampun deh, Kapten, kau tak enak badan masih saja bisa memberi perintah sejitu itu. Kepalamu terbuat dari apa sih?]

[Sudah cukup dengan ronde ke-8, Ketua. Kau harus istirahat. Jangan terlalu memaksakan diri. Game tidak baik dimainkan terus-menerus. Itu merusak kesehatan.]

"Satu ronde lagi," kataku mengambil tisu. "Kita sudah lama tidak push rank guild, Mangto. Nanti poin kita tertinggal."

[Ketua baru bilang itu dua ronde yang lalu. Kalau terus seperti ini, Ketua bisa sakit. Aku udahan. Game hanya untuk hiburan.]

Sialan. Tidak kusangka aku malah masuk angin gara-gara pakai rok pendek kampret itu. Kenapa anak cewek tahan memakainya setiap hari? Ini tidak bisa dipercaya. Apa aku selembek itu?

[Ayo, Kapten, tidurlah. Banyak istirahat. Belum lagi Kapten habis lembur, kan?] Hermit berkata khawatir.

Yah, sepertinya aku juga sudah tidak kuat lagi memelototi layar PC. "Baiklah, kuserahkan pada kalian event ini."

[Siap, Kapten!]

Clandestine telah log out.

Beranjak turun dari kursi, aku beringsut naik ke kasur. Mainan langit-langit kamar terlihat ganda. Kepalaku pusing. Aku tidak bisa tidur kalau begini.

Ketika aku demam atau tidak enak badan karena kelelahan, ada Mama di sisiku, siap merawat. Tetapi sekarang? Huh, si Dhave sialan masih mengurung Mama entah di mana. Makanya aku takkan pernah menerima pria tengil itu. Orang dewasa sepertinya memuakkan!

Tapi, berbeda dengan Mangto, Sokeri, dan Dien. Mereka orang dewasa yang beradab serta berkelas. Tertib. Kira-kira apa reaksi mereka begitu mengetahui bahwa orang yang memimpin mereka selama ini adalah seorang bocah SD? Apa mereka akan memaafkan kebohonganku?

Sudah jelas, tidak. Itu melanggar etika dan sopan santun terhadap perbedaan umur. Mereka tidak boleh tahu siapa Clandestine yang sebenarnya.

"Aku mau Mama ...."

Ckit!

Terdengar suara decitan ban mobil.

Tanpa basa-basi, aku melompat dari kasur, menyingkap tirai jendela, tersenyum sumringah. Itu mobil Dhave!

*

"Mama!" Aku berseru riang, berlarian menghampiri Mama yang baru turun dari mobil. Sebuah topi pantai menempel di kepala beliau.

Seolah memang menunggu, Mama langsung menangkapku lantas menggendongku. "Ah, ini dia putra kesayangan Mama! Mama merindukan Ram!" Mama terkesiap merasakan panas menjalar ke kulitnya, mendekatkan kening ke keningku. "Ampun deh, sampai demam begini. Kamu tidak sesuka itu sama Bibi Nah?"

Aku menggeleng cepat. "Ram hanya mau Mama! Jangan pergi lagi," kataku menatap sinis Dhave yang malah cengar-cengir. Si busuk ini minta ditembaki pakai AK-47. Masih bisa tersenyum kau, hah? Gayanya seolah tidak melakukan kesalahan apa pun.

Dhave tertawa lebar. "Sudah kuduga, memang keputusan bijak kita pulang dini hari. Aku sudah mendapat firasat Ram akan begini kalau kita tinggalkan lama-lama."

Aku hendak mengumpat, menyumpah-nyumpah, gregetan ingin memukul kepala Si Busuk itu dengan apa pun yang bisa dilempar. Enak saja dia bicara begitu setelah membawa Mama pergi tanpa izin. Apa dia tidak punya akhlak?

Mama satu lagi, kenapa Mama malah terkekeh kecil seakan mereka berdua pasangan paling bahagia di bumi yang dikaruniai satu anak gamer? Hei, sadar, Ma! Ram takkan merestui hubungan ini! Ogah!

Peka terhadap rengekanku, Mama pun melangkah masuk ke dalam rumah. Bibi Nah segera membersihkan ruang tamu kemudian menuju dapur. Membuatkan kopi untuk Dhave—andai aku sehat, akan kuracuni dia pakai sianida!

"Eh, Ram, apa Mama boleh masuk ke kamarmu? Bukankah Ram melarang semua orang termasuk Mama?"

Aku tidak menjawab. Badanku panas. Biarkan saja Mama masuk. Toh, komputerku sudah kumatikan. Beliau tidak akan curiga dengan perangkat PC, mengira aku menggunakan itu hanya untuk bermain game offline. Seperti poker mungkin.

"Ampun deh," Mama menidurkanku ke kasur. "Mama pikir ada sesuatu di dalam sini sampai kamu bersikeras melarang masuk. Jangan-jangan kamu menyembunyikan majalah pornografi, hmm?"

"Pornografi? Apa itu, Ma?" Aku bertanya polos. Ah, mungkinkah hal-hal yang bersangkutan dengan orang dewasa?

Mama membawa semangkok air yang sudah dicampur es batu, dan sehelai kain. Mulai mengompresku. Manik mata beliau bermain ke lemari kaca, berdecak kagum memperhatikan deretan piagam dan medali.

"Tapi, anak Mama benar-benar pintar. Ram selalu membuat Mama bangga," ucapnya tersenyum simpul. "Maafkan Mama ya sayang, pergi tanpa memberitahumu. Sebagai permintaan maaf, Mama akan jadi rekanmu seharian ini."

"...."

"Atau kamu mau sesuatu, hmm?"

"Ponsel."

Ck, segengsi apa aku terhadap benda petak itu, aku sangat membutuhkannya saat ini. Nanti-nanti kuurus ejekan teman sekelas. Atau jangan bawa ke sekolah. Toh, aku menggunakannya untuk membantu member-ku. Marmoris dalam bahaya.

"Hahaha! Akhirnya kamu memintanya, Ram! Apa kamu tahu? Mama amat menunggu kamu menginginkan sesuatu pada Mama." Mama berseru riang, memelukku.

Aku cemberut, menepuk perut. "Ram lapar."

"Siap, Kapten! Rekanmu yang rendah hati ini akan membawakan masakan lezat untukmu!" Mama hormat.

Aku terdiam. Lagi-lagi kata itu. Apa benar lata Paula gelar 'kapten' cocok padaku? Aku selalu merasa aneh ketika anggota Marmoris, teman-teman sekelas, memanggilku 'ketua' atau 'pemimpin'. Apa karena aku ketua kelas?

Nyaman sebutannya?

Setelah kepergian Mama ke bawah, aku duduk di kursi, kembali menyalakan PC. Kenapa aku merasa tidak enak?

Benar firasatku. Ada pesan masuk dari anonim di device-ku. Sepertinya aku punya kekuatan baru selain pandai strategi, bisa merasakan sesuatu yang buruk.

Aku terdiam, mematung.

Siapa kau sebenarnya, Clandestine?

•••

Minggu, 10 Januari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro