9

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ah..., begitu rupanya. Jadi, Paula tidak sengaja mengotori celana Ram. Kalian pun berganti bawahan dan Paula lupa membawanya. Tidak apa, Ram, Ibu akan membiarkanmu. Nah, Paula, besok jangan lupa membawa celana Ram, ya. Kembalilah ke kelas kalian dengan tertib."

"Siap, Buk."

Aku menatap masam Paula begitu keluar dari ruang guru. "Puas kau sekarang, hah? Harga diriku sebagai ketua kelas sudah buruk. Aku tahu Buk Taff mati-matian menahan tawanya supaya aku nggak makin malu."

"Kau ingin menyalahkan orang yang pelupa? Ck ck ck, bagaimana cara kau berhadapan dengan orang tua nanti? Latihlah mulai sekarang."

Gadis ini...! Aku mengeram dalam hati. Dia yang salah, dia juga yang seenaknya menasehatiku. Masa sih masih kecil begini sudah pelupa! Besar nanti mau pikun, hah?

"Ah, sudahlah. Capek ngomong," decakku sebal. Lebih baik pergi daripada berbincang dengannya. Tak ada faedah.

"Tapi sungguh, Ram, kau terlihat manis sekali memakai rok. Sudah kuduga, Kapten Ram yang terbaik!"

"Berisik."

Aku buru-buru meninggalkan Paula sebelum dia melemparkan pernyataan-pernyataan yang membuatku malu. Anak itu sesekali harus ditempeleng agar berhenti menjahili orang.

Ukh. Berjalan-jalan di koridor sekolah mengenakan rok. Udara malam berembus. Dingin sekali di bawah sini, hei! Apa ini yang selalu dirasakan oleh murid perempuan?

Dan Ram pun tiba-tiba mengasihani Paula.

•••

"Pulang bareng, kuy!" ajak Billy mengemasi buku-buku pelajaran.

"Ya."

Sudah hari keenam di bulan Oktober. Para peneror Marmoris itu belum menunjukkan aksi. Terakhir mereka berulah mengirimi bangkai kucing ke rumah Hermit. Apa mereka menunggu sesuatu? Atau aku yang terlalu khawatir, ya?

Aku tidak bisa tenang main jika perasaanku gelisah begini. Rasio kemenangan Clandestine akan menurun kalau aku memaksa bermain.

Makanya aku meminta izin pada Mangto untuk menggantikanku sementara dengan alasan lembur bekerja. Aku jadi sedih sendiri membohongi Mangto yang notabenenya beda umur bertahun-tahun dariku. Maaf ya, Paman Mangto.

Mama juga belum pulang. Dhave sialan. Mau sampai kapan dia mengurung Mama? Aku tidak suka Bibi Nah. Dia terlalu mengatur.

"Oi, kenapa bengong sih?" Billy menceletuk. "Banyak pikiran? Santai saja. Aku takkan menertawaimu kok."

"Yah, kalau kau menertawaiku, dapat kupastikan kita baku hantam tadi."

"Heiii, jangan ganas gitu dong. Image barbar tidak cocok dengan ketua kita yang berhati hello kitty," ledek Billy merangkul bahuku. Menyengir kuda.

"Kepalamu hello kitty. Kau pikir aku cewek, hah?"

Billy mengangguk. "Kau memakai rok tuh—tuk!"

"Meledekku lagi berikutnya lebih keras," ujarku masam. Hatiku masam pada semua orang yang menyebalkan. "Padahal ada yang katanya nggak bakal nertawain."

"Maaf, maaf deh. Cuman bercanda."

"Tidak lucu!" Menyebalkan. Kenapa rasanya semenyebalkan ini? Oh, tidak! Aku tersulut dengan emosi amarah! Aku butuh game untuk menghilangkan rasa marah yang membara ini! Ngegame lima jam!!

"Ng?" Billy berhenti melangkah. "Ada apa di depan sana?"

Tsk, apa lagi sekarang? Aku ikut menghentikan langkah, menatap ke depan.

Mengerjap, aku tersentak. Hermit? Dengan siapa dia? Dia tidak bersama Mangto melainkan bersama om-om asing. Bukankah kemarin Mangto berjanji akan menemani Hermit sampai Hermit aman?

Penculikan remaja, kah? Atau aksi peneror itu?

"Aku bilang aku tidak mau ikut!" seru Hermit berusaha melepaskan cengkeraman si paman asing.

Pria dewasa itu menyeringai penuh nafsu. "Ayolah, temani Paman sampai situ saja kok. Paman traktir makan malam deh! Paman akan bayar kamu!"

"Aku tidak mau!"

Oke, opsi pertama.

"H-hei, Ram, sepertinya paman itu mau melakukan kekerasan!" bisik Billy di sampingku. Mencicit sendiri. Oi, kau baik-baik saja?

Itulah mengapa kau butuh Mangto, Hermit. Karena tidak semua orang dewasa itu baik. Jarang-jarang pria seperti Mangto bersikap jujur dan tidak nafsuan untuk seukuran pria dewasa. Mangto orang yang baik. Kuharap kejadian ini bisa membuatmu membuka hatimu bahwa tujuan Mangto adalah demi kebaikanmu sendiri.

Aku melepaskan dasi, membentuknya jadi pita kupu-kupu cewek, memasangnya ke kepala.

Melihat itu, Billy tercenung. "Kau tidak lupa gendermu kan, Ram? Kau ini laki-laki! Laki-laki! Lihat tuh, rokmu—"

Aku menutup mulut Billy, berbicara santai. "Baik, baik. Cukup sampai di sana, jangan dilanjutkan. Kau akan membuat banyak pihak salah paham."

Billy menepis tanganku. "Habisnya...! Kau jangan lupa jenis kelaminmu dong! Siapa yang bisa kujadikan tumbal dalam sepak bola lagi kalau bukan kau, hah?"

Wait a minute.

Sadar bahwa dirinya keceplosan, Billy menutup mulut. Percuma sih. "Mati aku."

"Hei, apa katamu barusan?" gumamku dengan filter suram. "Mungkinkah selama ini kau mengajakku bergabung ke lapangan karena takut cedera? Kau menjadikanku tamengmu? Wah."

"Ti-tidak! Bukan itu maksudku—" Kalimat Billy tersumpal melihat auraku meruncing. Dia merinding bukan main. "A-AMPUN! AKU TAKKAN MENGULANGINYA! AKU BERSUNGGUH-SUNGGUH MENGAJAKMU BERMAIN BOLA KOK! SIASAT ITU HANYA UNTUK JAGA-JAGA."

Lah? Dia keceplosan lagi.

Aku menarik kerah Billy. "Oh, aku tameng cadangan begitu?"

"HIYYY!!! AMPUN, RAM! AMPUN!"

Karena kami terlalu berisik, Hermit dan pria asing di depan pun akhirnya menoleh kepada kami. Hermit tersentak melihatku, menatap pria tersebut, langsung berlarian ke sini.

Oke. Aku melepaskan tarikan terhadap Billy yang jongkok minta ampun. Sesuai rencana, kegaduhan akan membuat suatu fokus rusak. 

"Ternyata kamu, Robon! Apa rumahmu di dekat sini?"

Aku menggangguk, tersenyum cerah. "Iya! Kita bertemu lagi, Kak Hana."

"Kebetulan sekali, kita satu arah. Mau Kakak antar? Kalian masih anak-anak lho, tidak baik pulang sendirian malam-malam gini. Apalagi kamu perempuan."

Katakan itu pada dirimu sendiri! Lagi pula aku laki-laki! Tahan, Ram, tahan. Jangan ngumpat. Kalem. Jaga image dong. "Boleh kok!"

"Ayo kita berangkat!"

Tetapi, langkah kami terhalang berkat paman mesum yang tak membiarkan kami lewat. Sesuai dugaan sih. Namanya juga nafsu, siapa yang bisa menahannya? Seperti menahan nafsu dari makanan.

"Hei, Hei, siapa yang mengizinkan kalian pergi? Aku dan Kakak cantik itu masih punya urusan lho. Benar, kan?" Ukh! Bau alkohol dari tubuh orang ini menyengat sekali!

Hermit menggeleng. "Aku tidak punya urusan dengannya. Ayo kita pergi!"

Grep!

Si Billy penakut bersembunyi di belakangku. Paman itu menarik paksa lengan Hermit.

"Anak-anak harus menghormati orang dewasa. Apa Ibumu tak mengajarkanmu, hah?!" serunya mulai marah. Mau pingsan karena bau minuman keras ini sangat berat untuk indra penciuman anak kecil. Mual.

"Sakit! Lepaskan!"

"Ikut Paman baik-baik atau Paman pakai kekerasan. Pilih."

"Aku tidak akan ikut!"

"Wah, sepertinya aku harus menyeretmu dengan paksa. Orang nakal harus dihukum."

Aku menceletuk, "Kalau begitu Paman juga harus dihukum karena nakal."

"Hah—" Mata pria itu membulat sempurna. Sebuah tas sekolah menghantam wajahnya. Dia mengaduh, melepaskan lengan Hermit.

"Kesempatan. Ayo kabur dari sini!" Aku sudah melompat di depan Hermit, menariknya pergi. Billy takut-takut menyambar tasku di tanah, menyusul langkahku. Kami segera melarikan diri.

"Oi, Ram! Apa yang kau lakukan, hah?! Bagaimana kalau dia bawa senjata dan berhasil mengejar kita?! Kita bisa dalam bahaya!" sorak Billy ngos-ngosan.

"Ide bagus. Aku akan memeriksanya."

"Hah?! Bicara apa kau ini—" Billy berhenti berbicara, menoleh, lantas berngidik.

"KEMARI KALIAN, BOCAH-BOCAH NAKAL!" Terdengar seruan dari belakang. Oh, dia mengejar kami. Tunggu, larinya kok kencang sekali?! Apa dia benar-benar mabuk?!

Aku memperlambat lariku, membiarkan Hermit tetap berlari di depan.

"OI! OI! APA YANG MAU KAU LAKUKAN, RAM?!"

"Tinggimu berapa?"

"Ini bukan waktunya untuk bertanya hal konyol! Ngomong-ngomong jawabannya 129."

"Kalau begitu aku lebih pendek darimu." Bahuku naik-turun, mulai lelah. "Dengar, aku akan pindah ke belakang paman itu. Kau lempar lagi tas ini, oke? Tak peduli kena atau tidak, pokoknya lempar saja sekuat tenaga. Dia sepertinya olahragawan, bisa menyusul kita secepat itu walau dalam kondisi mabuk. Tapi aku yakin dia tak bisa menghindarinya karena dia mabuk. Saat keseimbangannya goyah, aku akan mengail kakinya. Begitu dia jatuh, maka selesai sudah."

"Aku tidak mengerti, tapi baiklah."

Yosh! Tanpa basa-basi, aku memutar arah lariku, yang tadinya maju menjadi mundur. Tentu pria mesum itu kaget. Kenapa aku malah berlari ke arahnya?

Sukses! Sesuai dugaan, dia akan membuka kedua lengan besarnya untuk menangkapku. Makanya pendek itu menguntungkan. Aku bisa menghindarinya dengan mudah dan sekarang aku berhasil berada di belakangnya.

"Billy, now!"

"Okey!"

Billy melempar tasku. Lagi-lagi sesuai perkiraanku. Aku yakin dia dapat menghindarinya (tapi berbohong bilang tak bisa pada Billy) karena tak mungkin cara yang sama bisa bekerja dua kali.

Tapi, walau dia bisa menghindari tas itu, dia tak bisa menghindari keterkejutannya. Ah, bicaraku berbelit-belit ya? Aku sendiri sampai bingung.

Aku membungkuk mengambil tas yang dilempar Billy—untung isinya tidak ada konsol gameku—mengambil kuda-kuda, lantas melakukan lemparan ganda. Kali ini kau takkan bisa menghindarinya!

Bruk!

Billy benar. Dia membawa senjata. Sebilah pisau perak jatuh menggelinding dari kantong celana pria tersebut. Berkeling disinari cahaya rembulan.

"Hei! Yang tadi itu tidak sesuai rencanamu!" protes Billy terengah-engah.

"Ehe! Aku mengubah strateginya!"

"BAHAYA TAHU TIDAK?!"

"Sekarang tidak lagi." Aku mendongak ke atas. Di sana sudah menunggu Mangto dan polisi. Sirine mobil patroli bergaung. Tepat waktu.

Singkat cerita, para polisi menangkap pria mesum itu dan mengamankan Hermit. Mangto bertanya bagaimana keadaannya dan blablabla. Aku malas melanjutkan. Malam ini malam yang melelahkan. Malam yang seharusnya aku sudah gaming malah main kejar-kejaran.

"Nih," Aku mengembalikan ponsel Billy. "Kupinjam tadi."

"Kapan?" Billy mengernyit.

"Saat pura-pura menarik kerahmu tadi. Tangan kiriku sebenarnya merogoh ponselmu lalu menelepon polisi. Yang kita lakukan hanyalah mengulur waktu," ujarku malas, menggeliat. "Sudahlah, ayo pulang. Aku sudah lapar."

Billy tercengang. "Wah..., tak kusangka kau sepintar ini dalam aksi, Ram. Kau ahlinya mengomando!"

Karena aku Clandestine, Kapten Marmoris. Aku sudah terbiasa menyusun rencana.

Di luar pengetahuanku, aku lupa satu hal.

Tempat kami melarikan diri dari kejaran pria dewasa mesum yang marah, dipenuhi kamera CCTV.

•••

Sabtu, 5 Desember 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro