8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tenang. Tenang, Ram.

Mereka berdua tidak tahu siapa aku.

Mereka berdua tidak tahu wujud asli Kapten Marmoris. Mereka takkan tahu aku Clandestine!

Mereka hanya mengira aku adalah paman-paman pekerja kantoran berumur 30-45 tahunan, bukan anak kecil SD. Siapa yang menyangka kan. Aku harus tenang agar bisa lolos dari situasi ini dengan aman.

Sial. Tubuhku tidak bisa bergerak saking gugupnya. Aku harus segera enyah sebelum mereka mulai bertanya. Ayo, bergeraklah kaki!

Bagaimana tidak?

Ada Mangto dan Hermit bercakap-cakap tepat di depanku. Dua anggota guild Marmoris yang selama ini tidak pernah tatap muka denganku, ada di hadapanku sekarang. Nyata bukan mimpi. Jika mimpi, ini adalah mimpi terburuk yang pernah kualami.

"Ah, pahamu memar. Pasti berkat benturan tadi." Celaka! Aku telat melompat dari titik penglihatan mereka! "Kakak benar-benar minta maaf."

"T-tidak apa. Aku baik-baik saja," kataku kikuk, berusaha menutupi luka memar itu. Paula sialan! Billy sialan! Jika bukan karena mereka, aku takkan pulang dalam keadaan memalukan! Jika Paula tidak menumpahkan minumannya, aku takkan memakai rok ini!

Ram yang tersulut emosinya. Ram yang batal bersikap tenang.

Hermit menatap sinis kepada Mangto. "Ini salahmu, kau tahu."

Mangto mengembuskan napas panjang, jongkok di depanku. "Paman akan bertanggung jawab. Ayo, kita pergi ke rumah sakit."

Aku secepat kilat mengibaskan tangan. "Tidak! Tidak! Tidak! Aku sungguh baik-baik saja! Luka ini bukan apa-apa!" tolakku meloncat-loncat. "Lihat, tidak sakit sama sekali kok!" Huh! Luka sekecil ini membuat seorang Ram menangis? Mereka pikir mereka berurusan dengan anak SD polos? Isi hatiku. Tetap menyombong soal kebugaran.

"Baiklah, jika kau bersikeras." Mangto kembali menatap Hermit. Aku sempat menghela napas lega dia tidak memperpanjang topik. "Nah, sekarang, giliranmu. Akan kuantar kau sampai rumah."

Hermit menggeleng cepat. "Kau tidak dengar kata-kataku, Mangto? Aku bisa pulang sendiri! Aku tidak sudi diketawai berhubungan dengan om-om."

"Kenapa kau keras kepala sih?" ucap Mangto sebal. "Stalker itu masih berkeliaran. Dia jelas mengincar kita, member Marmoris. Aku seperti ini karena mencemaskanmu karena kau masih remaja. Tidakkah kau mengerti? Aku risau."

Aku terdiam.

Eh? Apa Mangto bilang tadi? Stalker? Maksudnya stalker yang mengirim pesan aneh padaku, Hermit, dan Northa? Juga penyusup di perusahaan tempat Mangto memimpin?

Oh, benar! Aku yang menyuruh Mangto agar pergi ke rumah Hermit untuk menyelidiki!

"Aku berterima kasih niat baikmu, Mangto, namun tidak. Aku bisa jaga diri." Kata orang yang menjerit-jerit dikirimi bangkai kucing. Aku memanyunkan bibir.

"Ini bukan hal yang bisa remaja lakukan sendiri, Hermit. Biarkan aku, orang dewasa, membantumu supaya kau tidak terluka."

"Aku bilang tidak ya tidak! Aku tidak mau teman-temanku salah paham."

"Ini demi kebaikanmu, Hermit. Aku tak peduli kau menolak."

"Apa kau tak punya sopan memaksa kehendakmu pada wanita?"

Aku pusing mendengar debat mereka. Yang satu ingin melindungi, yang satu malu dikata-katai. Padahal di game Hermit adalah player kalem. Kenapa di dunia nyata dia secerewet ini? Memang, realita tak seindah ekspetasi.

Yah, kalau yang dikatakan Mangto itu benar, berarti Hermit belum bisa dibilang aman. Dia tidak bisa dibiarkan sendiri. Harus ada yang menemaninya sampai tugas Castle selesai.

Aku harus melakukan sesuatu.

Melihat luka di paha, aku cringe. Masa sih aku harus melakukan itu?

"Jujur saja, kau masih takut semenjak dikirimi paket itu, kan? Kau butuh pengawal, Hermit. Aku rela meninggalkan perusahaanku untukmu."

"Kenapa kau melakukannya sejauh itu? Tidak mungkin kan Mangto punya rasa tertarik pada anak SMA?"

"Itu karena aku tak ingin member guild terluka! Kau tak ingat kata-kata Ketua? Marmoris adalah guild penuh solidaritas! Kenapa kau malah berpikir aneh-aneh...."

"Anu—"

Mereka berdua menoleh.

"Se-sepertinya aku tak bisa berjalan," ucapku berbinar-binar.

Mereka berdua terdiam dan KABOOM! Filter bunga dan blushing memenuhi latar belakang Mangto dan Hermit.  Aku tak punya pilihan lain selain bertingkah anak-anak. Sebab, itulah kelebihan "anak kecil".

"KYAAA!! ANAK SIAPA SIH KAMU? AAAAAAA IMUTNYA! SIAPA NAMAMU, MANIS?" teriak Hermit memelukku gemas.

Aku tersenyum, menjawab percaya diri.

"Namaku Robon. Salam kenal."

Tak kusangka aku akan memakai nama ejekan dari Ideo.

•••

"Bagaimana? Apa kau sudah mendapat data semua player elit Marmoris?"

"Aku baru menemukan data Hermit, Northa, Mangto, Dien dan Sokeri. Hermit adalah pelajar dari Akademi Quddux, 17 tahun. Kita semua sudah tahu kalau Northa adalah anak bangsawan penuh perlindungan ketat dan Mangto seorang CEO dari perusahaan ternama."

"Bagaimana dengan Sokeri dan Dien?"

"Ada sesuatu yang menganggu peretasanku, jadi aku tak mendapat informasi yang detail. Sokeri seorang guru di sebuah sekolah. Kemudian Dien dokter terkemuka."

"Huh! Siapa lagi yang jago teknologi selain Castle? Dia menantangmu tuh."

"Aku akan menghancurkan gadis itu. Aku lebih pintar darinya! Akan kubuat dia menderita!"

Pria yang dari tadi mengajukan pertanyaan menoleh ke papan besar. Terdapat banyak foto, garis merah, bagan, dan alamat-alamat di sana.

"Pemimpin, kami sudah berhasil melacak posisi Tobi!" seru anak buahnya yang bekerja di sisi samping. "Dia ternyata murid SMP Octobris! Itu artinya Tobi seangkatan dengan Northa."

"Hah! Bocah ingusan! Marmoris kumpulan player bocah."

"Tutup mulutmu! Kemampuan tidak ada hubungan dengan umur! Mereka sudah terlahir dengan bakat alami. Hanya kita yang terlahir pecundang."

"...."

"Karena itulah kita akan membuktikan bahwa kita yang tak berbakat ini bisa menggulingkan mereka yang berbakat. Kita akan mengalahkan mereka di pertarungan aslu. CEPAT CARI LEBIH BANYAK INFORMASI MEREKA!"

"Siap, Kapten!"

Dia kembali menatap papan besar, menyeringai.

"Sekarang tersisa kau, Clandestine."

•••

"APA?! KAU LUPA MEMBAWANYA?!"

Paula mengetuk kepala, menyengir. "Besok deh aku bawa. Habisnya aku tadi buru-buru sih takut terlambat."

Ah, tamat sudah reputasiku. Aku sengaja memakai rok milik Paula supaya kami bisa menggantinya hari ini juga. Plot twist, Paula malah tidak membawa celanaku. Tahu begini aku pakai saja celana olahraga tadi.

Tapi tapi sesuai peraturan kebersihan, siswa dituntut berpakaian yang sesuai dengan aturan. Apa jadinya aku pakai celana olahraga di hari senin-rabu? Mana mungkin seorang Ram melanggar peraturan!

"Lagi pula," Paula kembali berkata, memasang wajah yang menyebalkan. "Ram imut kok pakai rok. Hawa feminimnya menyebar bagai parfum!" lanjutnya bikin hati ini ingin meledak.

"Aku ini laki-laki. Kau pasti sengaja meninggalkannya! Ngaku nggak?!"

"Heh! Aku bilang lupa, ya! Ram main nuduh nih sekarang? Buk Guru!! Ram jahat!" Gawat. Paula berlari ke arah Buk Taff yang kebetulan berjalan di koridor, menuju kelas 6-D. Citraku dalam bahaya. Aku harus menghentikannya!

"Woi, tunggu! Aku minta maaf—"

"BAHAHAHA!" Sial! Geng Ideo lebih dulu memergokiku. Si angkuh itu bersedekap tangan. "Apa kau bosan jadi lelaki, Robon?"

Aku itu malas menjawabnya. Diemin saja deh.

"Kenapa diam saja? Apa karena tidak ada sanggahan?" Ideo berdiri di pintu kelas. "Hei, semuanya! Ketua kelas kita yang agung sekarang pakai rok lho! Sepertinya rok anak gadis lagi tren!" serunya keras-keras menarikku masuk ke dalam.

Tawa satu kelas pecah. Anak laki-laki kok pakai rok? Jelas lah memalukan dan menyedihkan.

Wajahku memerah. Ideo sukses mempermalukanku.

"Besok sekalian kubelikan pita," bisik Ideo tersenyum penuh kemenangan. "Mempercantik dirimu, Ketua~"

Walau hal ini melukai harga diriku, ada untungnya aku memakai rok. Aku baru menyadarinya setelah berpisah dengan anggota guild yang kutemui secara mendadak.

Mangto dan Hermit tidak tahu bahwa aku sebenarnya laki-laki.

•••
Minggu, 29 November 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro