7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Clandestine kill you. Clandestine kill you. Clandestine kill you. You lose. 3-0. Clandestine win.

BRAK!

"Brengsek! Clandestine sialan! Kuharap kau serta anak buahmu mati saja!"

Dia mengembuskan napas panjang. Dia tahu yang marah dan jengkel bukan hanya dia dan member guildnya saja, namun setengah player lain server Asia. Marmoris terlalu mendominasi, terlalu kentara sehingga guild-guild lain tertutupi.

Diliriknya kalender di nakas. Ada bulatan merah di antara tanggal. Peringatan halloween. Runic Chaser akan update untuk spesial halloween beserta event-event terbaru. Dia percaya, pasti, lagi-lagi, Marmoris yang akan menonjol.

"Orang-orang sombong seperti mereka tidak perlu bermain game," ucapnya menyeringai miring. Jemarinya menari di atas keyboard, mencari apa pun yang berhubungan dengan anggota Marmoris. Dia mendapatkan beberapa.

Mangto, wakil kapten Marmoris adalah seorang CEO perusahaan.

Northa, si sniper terbaik di Runic Chaser seorang anak aristokrat.

Dien, seorang dokter ahli saraf dengan banyak piagam penghargaan.

Dia menggenggam erat mouse komputer, menelan bulat-bulat rasa iri dan marah. Kenapa yang mengisi Marmoris adalah orang-orang yang berpengaruh di Kota Hallow? Kenapa Marmoris seberuntung itu?

Kesampingkan rasa irinya yang menyala-nyala. Dia mencatat semua biodata anggota Marmoris. Berbagai kode, sandi, tulisan-tulisan aneh muncul dari layar komputer. Dia juga menandai lokasi tempat tinggal masing-masing anggota.

"Hehehe, kalian akan kalah pada event kali ini. Kami yang menang."

Cekrek! Cekrek! Cekrek!

Berbagai foto personil Marmoris tergantung di dinding. Foto kegiatan mereka sehari-hari.

•••

Aku menatap bengong.

"Ma-maaf, Ram, aku benar-benar tak sengaja." Mata Paula mendung. Air matanya berkumpul hendak tumpah. Bertambah repot aku nantinya jika dia menangis.

"Ya, ya. Lupakan saja. Aku bisa bersihkan di rumah," ucapku mengelap noda di celana yang ditumpahkan oleh minuman Paula. Ukh, apa ini bisa hilang ya? Semoga saja bisa. Hitam begini.

"Biar aku cucikan!"

"Hah? Bicara apa kau? Tak usah repot. Aku bisa sendiri." Aku lurus menolak tanpa kata-kata yang diperhalus.

"Aku akan bertanggung jawab!" seru Paula maju dua senti, menatapku bersungguh-sungguh. "Aku yang mengotorinya! Aku yang harus membersihkannya!"

Aku tersentak, menahan napas. Wajahmu terlalu dekat!

Memalingkan wajah malu, aku berseru-seru, "Sudah kubilang...! Kau tak usah repot-repot! Aku bisa membersihkannya sendiri."

"Biarkan saja dia, Ram." Billy di meja samping menyeletuk sembari sibuk menatap anak-anak cewek barisan depan dengan pandangan ngefly. Hah? Apa-apaan wajah memuakkan Billy itu? Menjijikan!

Aku menatap Paula yang tampaknya ngotot ingin mencuci celana sekolahku, menembus kesalahannya. Baiklah, aku menyerah.

Tetapi, tunggu.

Apa yang kukenakan sebagai gantinya? Aku tidak bawa seragam olahraga. Billy sepertinya juga tidak karena tidak ada pelajaran olahraga hari ini. Lebih tepatnya kelas olahraga ditutup sampai bulan oktober habis.

"Ram pakai saja rokku. Kita ganti bawahan sampai besok," cetus Paula dengan entengnya.

Aku melotot, ingin menjitak namun kutahan. "Enak saja! Apa yang orang-orang katakan nanti, hah? Aku bisa dicap cabul dan aneh."

"Daripada nggak pake apa-apa. Lepasin sekarang atau aku yang lepaskan?"

Aku manyun. "Kenapa aku merasa ada unsur paksaan di dalamnya?"

Billy tersenyum miring. "Sepertinya menarik melihat Ketua Ram yang agung memakai rok perempuan. Aku tidak sabar melihatnya."

"Itu takkan terjadi!"

Paula menggelembungkan pipi. Aku berkeringat. Wah, sepertinya ada yang mau meledak.

"Bukannya Ram sendiri yang bilang?"

Aku menatap tanda tanya. "Bilang apa?"

"Kita takkan selamanya jadi anak-anak. Belajarlah disiplin mulai sekarang." Aku bungkam. Dari mana Paula mendengarnya? Dia kan beda kelas denganku.

Kulirik tajam Billy yang peace. Sialan.

Air muka Paula serius. "Aku akan mulai belajar bertanggung jawab dari kecil supaya besar nanti tidak ada yang kukecewakan. Tidak ada yang tidak suka terhadapku. Jadi, biarkan aku tanggung jawab atas tindakanku."

Aku menghela napas panjang. "Baiklah, baiklah. Sepertinya kau sangat bersungguh-sungguh," kataku tersenyum nakal. "Justru aku senang melihat keseriusanmu. Mau ganti kapan?"

"Sepulang sekolah!"

•••

"Hei."

"Tayo," sahut Billy menjilat es krim.

Tanda jengkel muncul di dahiku, menatap Billy sebal. "Apa kau sudah meramal bahwa Paula akan menumpahkan minumannya?"

"Tidak kok tidak."

"Lalu kenapa dia tahu soal kalimat itu?"

Billy mengedikkan bahu. "Mana kutahu. Sesungguhnya, Paula memintaku untuk memperhatikanmu, untuk memberitahunya apa saja yang terjadi padamu. Sebagai gantinya aku akan dibayar—grep!"

Es krim yang di mulut Billy jatuh ke tanah karena aku mencengkeramnya. "Kau teman siapa sih, Budak Uang?"

Billy menepis cengkeramanku. "Tentu saja temanmu, Bocah Nolep Kutu Buku."

Kami pun berkelahi detik itu juga.

"Siapa yang kau panggil nolep, hah?!"

"Siapa juga yang kau sebut budak uang?! Itu upah jasaku!"

"Kenapa kau menerima permintaan konyol itu?! Apa kau semiskin itu, hah?!"

"Ya! Ya! Tak sepertimu yang rajin menabung! Aku mah yang boros ini cuman abu!"

"Aku remahan semesta!"

"BACOT!"

Selagi kami bertengkar di depan toilet perempuan, Paula keluar dengan raut wajah kalem seolah terbiasa. Dia sudah selesai mengganti bawahannya dengan celana sekolahku.

"Guys, jangan lupa waktu, ya. Sudah jam sembilan lewat lho. Yok, pulang. Tengkarnya nyambung besok saja."

"Huh!" Aku dan Billy sama-sama melempar pandangan ke samping, mendecih. "Maaf saja, aku ingin pulang sendiri."

Billy mencibir. "Siapa juga yang mau pulang bareng! Dalam mimpiku!"

"Pfft! Mulutmu typo atau gimana? Mimpimu kali!"

"RAM BODOH MANIAK JUARA!"

Aku cabut dari sana lebih dulu sebelum ubun-ubunku semakin panas. Biarlah Billy pulang bersama Paula. Setidaknya ada yang menemaninya. Aku agak khawatir Paula pulang sendirian jam segini. Dia bilang orangtuanya lembur, tidak bisa menjemput. Paula juga tidak punya sopir.

.

.

Aku menoleh malu ke sekitar. Orang-orang melihatku sambil berbisik-bisik. Tentu saja! Aku cowok, kok pake rok? Ya ampun malunya!

Berjalan seraya menutupi kepala, aku menghindari jalan yang ramai. Aduh, rumahku di mana sih? Apa masih jauh? Aku bisa mati karena malu kalau terusan dipandang begini. Besok-besok aku harus protes pada kepala sekolah kenapa rok anak SD mesti di atas paha!

Tapi soal sekolah, sudah kuduga, memang ada yang janggal mengapa dewan guru menyekolahkan murid-muridnya pada malam hari. Ini bukan sekadar memperingati bulan halloween. Ada yang aneh.

Aku mendongak menatap langit malam, memandanginya, mengambil posisi berdoa.

Apa pun yang terjadi nanti, aku—

"AWAS!"

Bagai sepeda turun dari tanjakan tinggi tanpa rem, aku meringis merasakan bokongku menyentuh aspal sangat kencang.

"Sakit!" teriakku mengusap-usap pantat.

"Ma-maafkan aku, Dek!"

Aku masih meringis sembari menoleh ke orang yang menabrakku. Pasalnya suaranya terdengar tak asing. "Tidak apa. Lain kali hati-hati, Kak...." Mataku terbelalak sempurna.

"Hana, sudah kubilang tunggu. Kau lupa kau dalam situasi tak aman?"

Kembali menoleh syok, aku terdiam. Keringat mengalir padahal udara malam mencekik. Suara-suara ini. Aku ingat. Ingat sekali!

Gadis SMA yang menabrakku bersungut-sungut. "Gara-gara Mangto aku jadi nabrak orang. Aku sudah aman sekarang. Mangto tak perlu mengawasiku lagi. Teman-temanku jadi curiga aku bergaul dengan paman-paman."

"Paman katamu? Aku masih 28! Lalu jangan memanggilku dengan sebutan itu. Ini di dunia nyata, Hermit."

"Heh, kau sendiri memanggilku begitu?"

MANGTO DAN HERMIT?! KENAPA MEREKA ADA DI SINI?!

•••
31 Oktober 2020, Sabtu

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro