14

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku bangun, mengucek mata, menyesuaikan pencahayaan di ruangan. Selimut tebal membalut tubuhku.

Eh? Aku tidak ingat punya selimut ini?

Berpikir cepat, aku menatap sekitar yang asing. Oh, astaga! Ini bukan kamarku! Sejak kapan pula kamarku semewah dan 'sejantan' ini? Apa yang terjadi? Aku diculik? Mama!!

Ingatan semalam terlintas di kepalaku.

Aku ingat, aku kabur dari rumah, bertemu Mangto dan kami bermain catur,  lalu aku ketiduran di... di pangkuan Mangto,

Spontan aku menjambak rambut frustasi, berteriak, "Ram bodoh! Ram bocah! Bodoh! Bodoh! Bodoh! Kenapa kau malah tertidur, hah?! Harusnya kau melarikan diri! Bukan malah menerima ajakannya bermain catur! Dasar naluri anak-anak!"

Ini memalukan. Ini keliru. Ini menyebalkan. Mangto sekarang sudah tahu siapa Clandestine, yang paling menjengkelkan, aku tak bisa membela diri untuk menghindari anggapan itu. Sial!

"Kau sudah bangun, Kapten?" Mangto muncul dari kamar mandi, mengeringkan rambut dengan handuk, membuatku refleks melompat kaget,  membuang muka ke samping.

Aduh, kejadian tadi malam sangat memalukan membuatku tidak punya nyali menatap Mangto. Pemimpin guild Marmoris tertidur pulas di pangkuan wakilnya. Astaga.

"Aku kan sudah bilang, Kapten, untuk tidak memandang umur dalam kasus ini." Mangto berkata serius. "Aku juga sama sekali tidak kecewa dengan dirimu yang asli, justru mengagumkan anak kecil yang baru berusia dua belas tahun mempunyai otak brilian. Jadi, bisakah Kapten bersikap normal? Aku tahu Kapten bukan tipe pemalu."

"Be-berhentilah memanggilku begitu."

"Aku belum tahu namamu, Kapten."

"Na-namaku Ram."

"Baiklah, Ram, sekarang apa yang harus kita lakukan?"

Hari ini hari minggu. Pertama-tama aku mungkin kembali ke rumah, Mama pasti khawatir ke mana aku semalaman. Kedua, mengajak Billy bermain ke luar. Untuk jalan aman aku akan mengajak Ideo dan gengnya, dengan begitu aku bisa leluasa mengawasi dari jauh. Mereka takkan curiga.

"Mangto, apa kau punya earphone vega? Kau bisa melakukan apa yang kusuruh nanti." Aku selonjor di kasur empuk. "Jangan mencolok, sebisa mungkin berpikirlah bahwa kalian melakukan meet up biasa.  Atau mereka bisa sangsi. Jika ada yang membahas soal teror, kau harus pandai-pandai mengalihkan topik. Terutama perhatikan Castle. Anak itu sangat jeli."

Mangto mengangguk. "Aku mungkin bisa melakukannya. Lalu, Kapten sendiri bagaimana?"

Aku manyun. Orang ini menyebutku begitu lagi. "Kau jangan pedulikan aku, Mangto. Ketika target meletak perhatian ke sesuatu, mereka akan tertarik pada 'sesuatu' tersebut. Aku yang kena batunya nanti."

"Baik, tapi berjanjilah kalau kau tidak bertindak gegabah, Kapten. Ini bukan permainan, yang mana player bisa hidup kembali."

Katakan itu pada dirimu sendiri! Aku lebih mencemaskan Mangto yang tidak bisa mengontrol sikapnya saat meet up

"Tapi, Kapten,"

"Apa lagi?"

"Jika situasinya rumit, jangan ragu untuk berteriak. Umurmu bisa dimanfaatkan di sini. Mereka berpikir Kapten diganggu orang mesum, lantas akan menggebuki pelaku. Jangan sampai disogok permen, boneka atau cokelat, Kapten!"

Aku melotot, melempar guling ke mukanya.

*

"Ke mana kamu menginap semalam?"

Aduh, lebih baik aku tinggal di rumah Mangto untuk sementara waktu. Kalau 'Bos Rumah' marah besar, bisa-bisa aku dikurung seharian.

"Rumah Billy," jawabku seadanya. Sebelum pergi aku memang menyebutkan tujuanku. Hanya saja aku tidak mengira akan jadi seperti itu.

"Jangan membohongi Mama, Ram. Mama sudah menelepon belasan kali, namun mereka tidak mengatakan kamu ada di sana. Apa kamu tahu seberapa khawatir Mama, hah?"

"Sudah tahu khawatir, kenapa Mama tidak mengerti juga perasaanku? Aku tidak suka Dhave. Aku membencinya. Kapan Mama bisa menyadarinya?"

"Ram!"

"Kalau tidak, begini saja. Mama memilih siapa, Ram atau Dhave?"

Mama terdiam, tak menyangka aku akan melemparkan pertanyaan itu. Aku juga tak menyangka seberani itu mengucapkan pertanyaan rumit.

"Ram, Mama mohon beri Dhave kesempatan. Dia berbeda dari Ayahmu. Dia akan menjaga kita."

Aku menahan kekecewaanku, tetap bersikap tegas. "Baik, berarti Mama memilih Dhave, bukan? Baik, kuterima. Aku akan keluar dari rumah ini. Silakan pacaran sesuka hati Mama."

Ini menyedihkan, amat menyedihkan. Baru rasanya beberapa menit lalu aku meninggalkan rumah Mangto dengan damai, sudah disambut keretakan keluargaku. Bagaimana mungkin Mama menjawab begitu? Apa Mama tidak menyayangiku lagi?

Tanganku memegang gerendel pintu. Hendak memutarnya, namun terhenti. Tersentak.

Dari jauh, puluhan kilometer jaraknya, mendesing sebuah peluru. Aku refleks melempar tubuh ke samping. Peluru itu mengikis lubang intip (door viewer).

Mama nanap, menoleh panik. "Astaga! A-apa itu peluru? A-ada yang menembak kita?"

Aku menelan ludah. Nyaris saja kepalaku bocor telat sedetik menghindar. Apa-apaan itu? Bukan main, itu beneran peluru sungguhan. Ada sniper yang mengincarku?

Belum selesai gundah di benakku, Mama langsung menarikku masuk ke dalam, mengunci pintu rapat-rapat, kemudian memanggil polisi.

"Jangan, Ma."

"Kita harus lapor polisi, Ram. Ada penjahat di luar sana."

Aku menggeleng. "Bukan ide bagus, Ma. Melihat jaraknya, pelaku bisa berkilo-kilo meter dari sini. Waktu sempit. Belum lagi polisi membutuhkan setengah jam kemari. Pelaku keburu kabur. Kita hanya akan menerima malu, bilang melakukan panggilan iseng."

"Ta-tapi bagaimana...."

"Mama diam saja sini, panggil Tante Selan untuk menemani Mama." Sisanya biar Ram yang urus, lanjutku dalam hati.

Aku beranjak naik ke lantai dua.

"Ram, kamu mau ke mana?"

"Kamar."

Jika benar dugaanku, mereka sepertinya sudah tahu identitas Clandestine. Tetapi pertanyaannya, kapan dan bagaimana? Kenapa mereka bisa tahu? Di mana mereka menemukan celah mengetahui rahasia Clandestine?

Aku berhenti melangkah, mengatupkan rahang.

Baiklah, Ram. Jangan panik. Kau tak bisa berpikir jernih kalau pikiranmu sedang rancu. Mangto sekarang mungkin sudah pergi menemui member Marmoris. Aku tak boleh membuang waktu lagi.

Mengeluarkan ponsel, aku mengetik pesan di obrolan grup yang diisi empat orang termasuk aku.

Billy, Paula, Day. Aku butuh bantuan.

Aku menatap serius ke depan.

Ini pertempuran di dunia nyata. Menas, aku sendiri yang akan menghabisimu karena mengusik anggota guild-ku.

.

"Luar biasa."

Menas (ketua guild Woodzn) tertawa keras di basement demi melihat cuplikan video yang ditampilkan.

"Daya refleks yang menakjubkan. Indra pendengar di level tinggi. Sungguh anak menarik! Bagaimana mungkin bocah ingusan sepertinya memiliki insting setajam itu? Tembakan dari radius kilometer jauhnya? Dia jelas bukan sekadar anak-anak."

"Bos, kami sudah mendapatkan alamatnya! Member Marmoris akan bertemu di Kafe Ceibar. Semua pemain inti minus Clandestine."

"Tidak apa," Menas berkata dingin. "Hari ini Clandestine akan datang secara terbuka. Dia takkan membiarkan anggotanya terluka. Habisnya mereka 'keluarga', kan?"

Rekan-rekan Menas berkedip bingung. "Apa Bos yakin?"

"Tentu saja," Menas menyeringai. "Clandestine akan datang. Semua member Marmoris akan bertemu leader pemalu yang menutup diri. Dan di saat itulah kita hancurkan mereka semua."

Menelan ludah, suasana di dalam basement mencekam. Menyisakan tawa sarkas.

"Ini pertarungan dunia nyata, Marmoris vs Woodzn. Kita yang akan menang kali ini. Kita akan menurunkan rasio kemenangan Marmoris. Kita akan menjadi guild pertama yang mengalahkan mereka. Bersiaplah!" <>

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro