22

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kapten! Tunggu!"

Aku menulikan telinga, terus membelah kerumunan taman bermain, tak peduli tatapan ingin tahu penduduk sekitar.

Sialan, ini penghinaan besar. Aku sudah 12 tahun. Masa manja, masa bermain, masa merengek, itu semua sudah berakhir olehku! Lalu mereka, ingin aku bertingkah memalukan seperti itu?

Ogah! Mana mau! Aku mati-matian meninggalkan masa kecilku agar bisa membahagiakan Mama serta membalas dendam pada Ayah. Aku sudah sampai sejauh ini, tidak boleh oleng.

"Kapten! Tolong tunggu kami! Berhenti!" seru Mangto dan Dien panik melihat jarakku kian jauh. Aku memang atletis.

Aku berbelok, seketika menghentikan langkah. Gang sempit itu tidaklah sepi. Terdapat dua pasangan paruh usia tengah melakukan adegan dewasa. Satu di antaranya orang yang amat kukenali.

Merasa ada yang mengawasi, mereka saling melepas pagutan. Tubuhku merinding ketika wajah itu menatap lurus ke arahku.

Beliau tersenyum. "Ternyata Ram, ya?"

Itu Ayah! Dasar dunia sempit.

Sialan ini keliru! Kenapa pula aku harus mengambil jalan ini! Pelaku dari penderitaan kami, pelaku dari orang yang selalu membuat Mama menangis di tengah malam, pelaku yang menyiksaku saat masih bayi, kenapa kami harus dipertemukan.

"Siapa dia, Sayang?" gumam wanita di pelukannya. Serba pakaian minim.

"Hahaha, mantan anak mungkin?" Ayah melangkah maju ke tempatku. "Terakhir kali melihatmu masih merangkak di lantai. Tak kusangka kau sudah tumbuh sebesar ini. Mengagumkan."

Sial, tubuhku tidak mau bergerak. Ayolah kaki! Bawa aku pergi dari sini!

Ayah sampai di depanku yang masih termangu. "Dan kudengar kau sangat berprestasi di pendidikan. Ah, Ayah sangat bangga punya putra genius sepertimu. Tidak sia-sia aku membuatmu."

Sial. Sial. Sial. Kakiku tidak mau bergerak, mulutku kehilangan fungsi, kepalaku tidak mau menunduk ke bawah. Ayolah, kumohon, aku tak ingin di sini!

"Mungkinkah dia Rorobon Ram?" celetuk si Wanita Malam menepuk tangan senang. "Jika dia benar-benar anakmu, kalau kita jual dia, kita akan dapat banyak uang. Kita adakan pelelangan!"

Apa?

"Kau pintar sekali, Cantik. Idemu bagus. Kita bisa hidup mewah. Lelang tertinggi akan mendapat anak paling pintar di Kota Hallow." Ayah mengelus dagu wanita itu lantas tersenyum padaku. "Ram mau ikut Ayah, kan?"

Mereka berdua sudah gila! Menjual dan melelangku? Situ pikir aku barang antik?! Aku manusia, sialan.

"Ayah bertanya padamu," kata beliau.

Tidak. Aku tidak mau pergi. Jual saja sana isi organmu kalau mau hidup mewah instan. Salahku melewati jalan ini. Padahal dunia luas, tetapi kenapa? Aku tak henti-hentinya mengumpat dalam hati.

"Kalau orangtua lagi bertanya," beliau mengangkat tangan. "Dijawab!"

Plak! Aku terjatuh, meringis tertahan. Panas menjalar ke pipi. Pedih. Alat bantu pendengaranku ikut jatuh. Si Wanita Malam terkikik di belakang Ayah.

Ayah menjambak rambutku. Menatap dingin. "Masih mau diam, hmm? Apa Mamamu tidak mengajarkan sopan santun? Atau selain tuli kini kau bisu?"

"I-iya, Ram ikut Ayah. Ampun..." lirihku tak berdaya. Kepalaku sakit.

"Hah? Kau bilang sesuatu? Yang keras sedikit!" bentaknya kembali menamparku. Tawa si Wanita Malam makin melengking.

Aku tidak takut wahana ekstrim, preman, senjata api, atau lainnya. Manusia di depanku ini. Manusia yang ikut andil membuatku lahir. Dialah ketakutanku.

Sebelum genap tamparan ke sepuluh, seseorang menahan gerakan tangan Ayah.

Aku duduk bersimpuh. Babak belur. Kedua pipiku lebam. Seragam sekolah putih dinodai bercak darah. Rambutku berantakan. Tapi aku masih bisa melihat dengan jelas.

Marmoris.

"ASTAGA, KAPTEN!" pekik Sokeri menarikku supaya jauh dari Ayah. "Ya ampun, Kapten berdarah. Dien! P3K sekarang!"

Tidak ada jawaban. Empunya nama sedang menatap penuh kemurkaan pada Ayah. Auranya lebih berbahaya daripada Mangto.

"Dia hanya anak-anak. Dia baru 12 tahun." Suara Dien berat. "Tapi Anda berniat menjualnya? Anda bahkan berani memukuli anak Anda sendiri."

Mangto menelan ludah. Gawat. Di antara mereka, Dien lah yang paling menyayangi anak kecil. Harus melakukan sesuatu...

Ayah mengernyit, berkacak menantang. "Siapa kalian ini? Jangan ganggu kami. Ini pembicaraan keluarga. Kembalikan Ram—"

Bugh! Tak tertahan lagi amarah Dien. Dia langsung meninju telak wajah Ayah. Ya ampun, apa yang mereka bicarakan? Sial, aku tak bisa mendengar!

"TIDAK BERHARGA BAGIMU BUKAN BERARTI BERLAKU PADA ORANG LAIN!"

"Sudah, Dien! Sudah!" Mangto mengambil alih. Dibantu Tobi dan Castle, mereka mencoba meredakan emosi Dien, menarik diri dari situ.

Ayah yang tak terima dipukul mentah-mentah, berseru marah melihat kami pergi. "Ingat, Ram! Ayah akan menjemputmu besok! Lihat apa yang akan Ayah lakukan jika kau tidak datang!"

Dia bicara apa? Aku tak mendengarnya.

"Oh, ya?" Pangeran Northa bersuara. Matanya menatap tajam. "Kalau begitu lihat juga apa yang akan menantimu jika berani mengganggu Kapten. Ini peringatan."

Nyali Ayah ciut. Apa sebenarnya yang dia lewatkan? Siapa orang-orang yang menolong putranya?

*

"Ini, Kapten." Hermit menyerahkan alat bantu pendengaranku yang sempat dia ambil sebelum pergi.

Aku menerimanya dan segera memakainya. Apes sekali hari ini. Sekarang Marmoris tahu masalahku dan aku bakal dikasihani. Sudah susah payah kututup rapat.

Dien mondar-mandir, mengipasi wajah. "Pria itu benar-benar membuatku marah. Bagaimana bisa dia tega melakukan itu pada anaknya? Dasar tua brengsek."

"Aku tak percaya yang tadi itu Ayahmu, Kapten." Castle mengeram. Dugaannya benar. "Mangto! Kau pasti punya pengacara, kan? Kita bisa jebloskan orang tua tadi ke penjara! Kasus kekerasan anak!"

Mangto berpikir keras. "Memang bisa sih, tapi itu tergantung pada Kapten dan walinya. Kita tidak bisa mengajukan persidangan sebelah pihak."

Dien menoleh cepat. "Kapten! Kau harus... Lho, Sokeri, mana Kapten?"

Baru lah mereka bertujuh tersentak menyadari aku sudah tidak ada di sana. Seperkian detik mereka berbincang, aku segera meloloskan diri dari pelukan Sokeri dan mengendap kabur.

Aku kembali ke sekolah pukul lima sore, rencana mengambil tas. Untunglah kelasku masih terbuka.

"Ram? Kau belum pulang?"

"Sore, Buk Prateek. Tadi terjadi sesuatu." Aku membungkuk hormat.

"Ada apa dengan wajahmu?" Beliau mengusap-usap pipiku yang keunguan. "Ayo ikut Ibu ke UKS. Kau butuh salep."

Aku menggeleng. "Tidak apa, Buk. Saya capek, saya mau pulang."

"Ibu rasa Ibu terlalu memaksamu, Ram. Kau butuh istirahat. Ibu bangga kau bijak meminta bantuan pada Anno. Kau membuat satu dari teman-temanmu melangkah seimbang denganmu."

"Buk Prateek..." Aku menghela napas panjang. "Bisakah saya meminta bantuan?"

"Ada apa, Nak?"

"Jika ada lomba, olimpiade, atau apa pun, segera panggil saya."

"Nak, itu akan membebanimu. Ibu mau kau istirahat."

Aku menggeleng lagi. "Tidak apa, Buk. Saya kuat kok tiga olimpiade sehari. Saya hanya ingin menyibukkan diri." Untuk menghindari mereka, sambungku dalam hati.

Buk Prateek mendesah. "Baiklah jika itu maumu. Sekarang pulang, mandi, dan isi tenaga. Jangan memforsir diri, oke?"

Aku mengangguk mantap, salam pada beliau, dan berlalu dari kelas.

Skakmat. Marmoris sudah menungguku di luar gerbang sekolah seolah tahu aku kembali kemari.

Sokeri bersedekap. "Kapten, aku marah lho Kapten main kabur-kaburan begitu. Nanti Kapten diculik. Apalagi ini sudah sore."

Hermit tersenyum. "Pulang sama kami, ya? Northa akan mengantar kita kok."

Aku diam sejenak. Kemudian menunjuk ke langit, berseru, "Lihat! Ada paus terbang!"

Mereka bertujuh menoleh malas. Aku menyeringai senang. Kesempatan! Dan belum aku mengambil langkah seribu, tasku sudah dipegangi Tobi.

"Cara menipumu gampangan, Kapten." Tobi terkekeh geli. Menusuk-nusuk pelan pipiku.

"Lepaskan, Tobi! Aku mau pulang—"

Castle merampas tasku. Wajahnya datar menatapku yang kuyakin sebal. "Aku sita benda ini. Ng?" Dia mengernyit ketika tahu yang dipegangnya berbobot berat. "Isinya apa sih?"

"Tidak! Jangan buka harta karunku...!"

Castle membalikkan tasku. Semua ragam buku pelajaran berjatuhan ke tanah. Kamus-kamus tebal, buku paket soal lengkap tingkat daerah-provinsi-nasional, buku simulasi, dan sebagainya.

Marmoris diam. Hanyut dalam pikiran.

Oh, tidak. Aku akan dicap kutu buku. Rahasiaku satu lagi terbongkar...

Aku menyipit. Eh? Mengucek kedua mata. Sebuah titik merah kecil hinggap di kepala Northa. 

Northa mendengus. "Aku kalau niat juga sering baca buku. Anak ini masih kalah pintar dariku."

"Lalu kenapa nilaimu masih 50 ke bawah?" celetuk Tobi masam.

Perasaanku saja kah?

Glek! Northa menelan ludah. "A-ah, itu! Ulangannya diadakan mendadak. Jadi aku tak punya persiapan."

"Ya ampun, Northa! Kau bikin gemas!" seru Sokeri mode onee-chan aktif.

Mataku melotot. Tanpa babibu langsung mendorong Northa. "AWAS!"

Dor! Peluru itu mengenai tanah kosong.

Castle menyapu pandangan secara liar. "Di mana arahnya?!"

"DIA AKAN MENEMBAK LAGI! CEPAT MENYINGKIR!" Aku berseru melihat titik merah tersebut bergeming di tempat sama, memegang lengan Northa ke balik pohon besar.

Dor! Peluru kedua juga mengenai tanah kosong. Marmoris berhasil cekatan mencari perlindungan.

Aku berhitung dalam hati. Sial, apakah bos asli Woodzn unjuk gigi juga? Kenapa banyak sekali yang terjadi dalam satu hari.

"Bagaimana sekarang, Kapten?" tanya Tobi.

Kalau tidak salah tadi... Aku bergumam tak jelas. Menganggukkan kepala.

"KAPTEN! APA YANG KAU LAKUKAN?!" Mangto panik melihatku justru melompat ke titik tembak.

Namun, sepuluh detik berlalu. Tidak ada yang terjadi. Tidak ada tembakan misterius. Aku mengepalkan tangan. Sudah kuduga!

"Pistolnya sudah diatur menembak dua kali secara otomatis," kataku menjelaskan singkat. "Aku sadar ketika peluru kedua menembak di arah yang sama pada jeda lima detik."

"Si-siapa itu tadi?" Northa mencicit. "Apa dia mengincarku?"

"Siapa itu, Kapten?"

Aku tidak menjawab. [04/09/21]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro