23

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Besoknya.

Aku menerima lembar ulangan matematika. Ada nilai 96 di sana. Wow.

"Ibu tidak tahu lagi sebenarnya sudah sampai mana otakmu meresap pelajaran. Materi itu padahal baru Ibu ajarkan minggu lalu." Beliau memijat pelipis. Pusing aku terlalu pintar atau curiga aku berbuat curang saat repitisi. "Kembalilah ke kursimu."

Aku menghela napas, menyurukkan kertas tersebut ke tas. Hmm, pamer ke Mama bakal dapat apa, ya? Mengingat aku jarang sekali meminta sesuatu.

"What's wrong, dude? Wajahmu kenapa? Habis syuting aksi?" bisik Billy sarkas. Ingin kujitak sumpah.

"Enyahlah, Bil. Aku lagi gak mau canda-candaan samamu," kataku tak baku.

"Eh, hei, kau rada aneh setelah dibawa anak sultan kemarin. Lemas gitu. Jangan bilang dia melakukan sesuatu padamu?"

"Ngomong sekali lagi bedak ungu memolesi wajahmu." Aku berkata datar.

"Apa sih, sensitifan banget. PMS, huh?"

"Oh yeah! Irritable male syndrome! Kenapa tanya, hah?!" balasku ketus, membuka acak buku.

"Irri... Apa? Hei, kau belajar bahasa planet dari siapa coba! Gak ngajak-ngajak," katanya ikut-ikutan tak baku. Dasar generasi copy paste.

Aku menepuk dahi.

Untunglah bel pulang berbunyi kala aku benar-benar nyaris meledak marah. Luapan emosi memenuhi rongga dada. Tentang Marmoris yang mengetahui sifat Ayah, tentang penembak misterius yang masih mengincar Marmoris, atau tentang Marmoris yang ingin aku bersikap anak-anak normal.

Pekerjaanku sebagai ketua kelas sudah selesai, jadi aku bisa langsung pulang. Ngegame sampai sore boleh juga menyemangati jiwa raga. Sudah lama tidak maraton event.

"Ketua kelas!" Anno berseru.

Aku menoleh. "Apa?"

"Kumohon, tolong pinjamkan aku kamus bahasa Inggris buatanmu!"

"Lah, untuk apa?" Seingatku seminggu ke depan tidak ada janji ulangan bahasa Inggris deh. Aku selalu siap siaga soal jadwal.

"Aku mudah memahami materi berkat ringkasanmu, ketua kelas. Lihat ini!" Anno memamerkan ulangan matematikanya tadi, nilai 89. "See? Sebelumnya aku hanya dapat nilai 60-an. Tapi semenjak kau meminjamkan harta karun itu aku bisa memperbaiki kelemahanku."

"Well, aku tidak keberatan sih." Aku mengeluarkan kamus bahasa Inggris karyaku sendiri. "Tapi itu tidak selengkap buku kamus official. Aku hanya—"

Anno memotong dengan menyambar kamusku. Wajah berbinar-binar. "Aku lebih percaya kamusmu, ketua kelas! Ini membuatku pintar!"

"Oi, bisakah kau berhenti memanggilku ketua kelas? Di luar panggil aku Ram saja."

"Ketua kelas kan ketua kelas kami. Apa yang salah?" sahutnya polos. Tidak mengerti maksudku. "Sampai jumpa besok, ketua! Akan kujaga baik-baik hartamu!"

Aku berkacak pinggang. Bermonolog. "SMP nanti aku janji takkan mengajukan diri jadi ketua kelas. Profesi melelahkan. Ng?" keningku bertaut tidak menemukan lembar ulangan harianku. "Rasanya sudah kumasukkan deh."

Kusapu pandangan ke tanah, mungkin jatuh. Atau salah letak kali, ya?

"96 untuk matematika, hmm?" Suara familiar menyapa. "Betapa pintarnya kapten kita. Pantas saja Marmoris bisa menang berturut-turut."

Aku membalikkan badan. Seketika tersedak.

Mangto menyengir memegang kertas ulanganku yang terbang dibawa angin ketika mengambil kamus untuk Anno. Lengkap dengan anggota elit Marmoris yang habis pulang sekolah/kerja.

"Kalian semua ngapain di sini?!" Aku bersorak panik spontan.

Eh? Aku mengerjap bingung. Maksudku, aku bersorak spontan panik. Tidak, tidak. Yang benarnya aku spontan bersorak panik. Nah itu dia!

"Tentu saja melanjutkan pertemuan kita kemarin, Kapten." Hermit melambaikan tangan senang.

Castle berdeham. Wajahnya serius. "Kita harus membicarakan perihal kemarin, Kapten. Tentang member Woodzn yang masih mengejar kita."

Aku diam.

"Kapten bilang pemimpin asli guild itu bukanlah Menas melainkan seorang player yang meniru ejaan nickname-mu. Klendestin, benar?" Tobi saling tatap dengan Northa.

Klendestin. Clandestine. Aku mendengus masam. Dasar generasi copy paste! (2)

Tidak! Pokoknya tidak! Aku tidak ingin terlibat lebih jauh. Cukup sudah si Menas yang tahu identitasku. Walau kecil kemungkinan Klendestin tahu tentang Rorobon Ram, aku tidak mau lagi terlibat.

"Bagaimana, Kapten? Kita akan ke rumah Sokeri untuk membahasnya."

"Tenang saja, Kapten. Tante Sokeri punya banyak cemilan di rumah, ehe!"

Aku mengembuskan napas. Tersenyum kalem. Menggulung kertas ulanganku membentuk kerucut, membentuk megafon.

Mereka menaikkan satu alis ke atas. "Sedang apa, Kapten?"

Menarik napas panjang, aku berteriak sekuat mungkin. "HEI, SEMUANYA! ANGGOTA INTI MARMORIS DATANG KE SD TRICK! JANGAN SAMPAI KELEWATAN TANDA TANGAN!"

Rata-rata murid di sekolahku memainkan game Runic Chaser. Mamang tukang bakso di luar sekolah pun juga. Ibu kantin, satpam, pak tukang kebun. Mereka semua ngefans sama Marmoris!

Tak menunggu waktu lama para manusia di sekitar menyerbu mereka bertujuh.

Aku menyeringai senang dalam hati. Berdiri seorang diri di halaman kosong, salam dua jari. "Good luck then!" gumamku berjalan mundur. Waktunya pulang.

*

Toko elektronik Chevelure.

"Sungguh Ram, buat apa sih semua alat-alat ini? Anak-anak sepertimu lebih baik main kereta-keretaan di rumah. Atau yang dikatakan Day itu benar? Kau sebenarnya punya rahasia?"

"Tidak ada kok, Kak Hari. Aku hanya ingin bermain." Aku tersenyum bocah.

"Sepuluh CCTV, tujuh pelacak, dua puluh granat EMP." Dia terkekeh geli. "Kalau kau bukan teman Day, aku takkan membiarkanmu memakai benda-benda ini. Bisa-bisa aku tekor bandar."

"Oh ayolah Kak Hari, aku membayar DP-nya kok. Kak Hari lah yang tidak mau menerima uangku."

"Orang dewasa macam apa meminta uang pada teman adiknya yang masih SD," kekehnya lagi, menyodorkan bungkusan. "Baik, baik. Ini dia pesananmu. Jangan sampai kedapatan polisi atau Mamamu lho. Aku bisa berakhir di penjara."

"Makasih, Kak. Kau yang terbaik." Aku keluar dari toko saat sunset datang, menyiram lembut permukaan Bumi.

Sekarang waktunya bekerja.

Aku pergi ke titik-titik daerah tertentu. Menjelajah Kota Hallow. Sesekali bertingkah seperti anak kecil, sesekali menyapa pasangan yang sedang jalan-jalan santai, sesekali istirahat.

Sampai pukul enam petang, napasku tersengal, duduk di kursi taman. Akhirnya selesai.

"ROROBON RAM!" Seseorang berseru.

Aku membuka mata yang terpicing, menoleh lesu ke kanan, tak ada. Menoleh ke kiri, langsung melotot. Wajah ketujuh member inti Marmoris memerah marah. Lho? Kenapa mereka bisa menemukanku? Perasaan Kota Hallow itu luas deh. Tak adil.

"Lebih baik datang kemari baik-baik atau kami seret secara paksa, Kapten~" Sokeri tersenyum menyeringai.

Aku menelan ludah. Mereka semarah itu kutinggalkan di kepungan fans? Habis aku jika tertangkap. Dalam hitungan ketiga. Satu, dua, kabur!

"KAPTEN! TUNGGU!"

Baiklah, Ram, fokus. Hindari gang-gang sempit. Aku tidak mau bertemu Ayah seperti kemarin. Jam-jam segini pasti waktunya berpesta pora bersama wanita-wanita malam.

Duh, kalau aku memutar, aku akan jauh dari rumah. Tapi tidak ada pilihan lain. Pertama-tama aku harus lolos dari mereka bertujuh...

Bruk! Aku menabrak seseorang. Sialan, apa sih yang kuhantam?! Sakit sekali woi! Rasanya tulang bahuku bergoyang.

"Maaf, aku tidak memperhatikan jalan." Orang yang kutabrak ternyata sebaya. "Kau baik-baik saja?"

Aku melihat bordir namanya. Ain. "Tulangmu dari apa sih? Aluminium? Ini betulan sakit," gumamku meringis. Dia meminta maaf sekali lagi.

Abaikan itu. Marmoris sudah datang mengejar. "Permisi," kataku buru-buru, melanjutkan pelarian.

Tapi, lama-kelamaan ini mulai menyebalkan.

Aku berhenti berlari, mengatur napas. Mereka bertujuh terpisah belasan langkah kaki dariku (yang kian terpangkas karena mereka berlari), heran mengapa aku mendadak berhenti.

"Baiklah, jika itu mau kalian..."

Kalian pikir tengah berhadapan dengan siapa? Aku tersenyum miring. Jika fisik tidak bisa mengalahkan mereka, maka aku akan menggunakan otakku.

Mangto dan yang lain memperlambat lari, berhitung dalam hati apa yang sedang kulakukan.

Aku mengeluarkan bedak bayi dari tas. "You guys wanna play with me? Let's play!"

Castle tersentak melihatku bergerak tiba-tiba. "Kapten merencanakan sesuatu. Ayo cepat ikuti dia!"

Pertama, tepuk botol bedak ke sepanjang gang. Biarkan angin membawa baunya. Sokeri si pedofil itu pastilah tahu aku memakai benda ini dan menuruti insting mengikuti aromanya. Jadi, aku kacaukan dulu rute tujuan mereka.

Kedua, buat mereka bingung dengan tidak fokus ke satu gang saja. Mangto si wakil akan menyuruh Marmoris untuk menyebar. Ketika pemimpin (Mangto) dikendalikan, maka pondasi Marmoris akan hancur.

Dua puluh menit kemudian, aku kembali ke titik awal dalam kondisi bebas. Tak ada satu pun anggota inti Marmoris tampak. Strategiku berhasil.

"Fufufu, itulah yang terjadi kalau kalian melawanku. Andai kalian tidak datang, kalian tidak perlu linglung bertemu gang yang sama berkali-kali." Aku tertawa penuh kemenangan. [Clandestine, pemain dengan skor tercepat dalam maze game.]

Tapi, yah, aku menguap. Lari-lari dari tadi membuatku kelelahan. Tidur sebentar tidak apa lah ya. Toh aku masih jauh dari rumah. Nanti tinggal kukarang alasan sama Mama.

Aku tertidur di bangku taman.

*

"Bagaimana? Apakah Kapten sudah ketemu? Kurasa kita hanya berputar-putar di tempat sama deh." Northa menyerah.

Dien menghela napas. "Hadeuh, kena deh kita."

Tobi menggaruk kepala. Tidak ada salah satu dari mereka yang menyadari masuk jebakan labirin gang oleh sang pemimpin, Clandestine.

"Bahkan sampai kau pun tertipu?" Hermit menoleh ke Castle yang sudah sibuk bermain tablet dengan Mangto. "Eh, kalian melihat apa sih? Kita kehilangan jejak Kapten."

Castle diam-diam tersenyum misterius. "Kapten memang cerdik, menjadikan bedaknya sebagai pengalih perhatian kita. Tapi aku lebih cerdik lagi."

Tobi, Dien, Hermit, Northa, dan Sokeri spontan menoleh ke mereka berdua.

"Ingat saat Mangto mengambilkan kertas ulangan Kapten? Sebenarnya saat itu aku menempelkan pelacak kecil. Aku tahu posisi Kapten sekarang."

"Hoo, jadi itu alasannya mengapa Kapten bisa ketemu dalam waktu singkat. " Hermit manggut-manggut, menabuh punggung Castle, tertawa. "Kau pintar, Castle!"

"Jadi, di mana Kapten sekarang?" tanya Northa.

"Ehem, itulah masalahnya sekarang." Castle menggaruk tengkuk, menunjukkan layar tablet. "Kapten kembali ke titik awal kita menemukannya. Entah tahu aku memasang pelacak atau meninggalkan umpan. Kalau kita ke sana tanpa pemikiran matang dan Kapten ternyata tidak ada, sama saja menunda satu hari lagi berdiskusi tentang Klendestin."

Dien menoleh ke Mangto. Dia lah wakilnya.

"Kita ke sana," kata Mangto lugas. Dia pertama yang mengenal Clandestine. Tentu dia paham pola pikir ketua guild Marmoris itu.

*

Cekrek! Cekrek! Cekrek! Bunyi jetrek kamera menemani Marmoris. Sokeri tidak henti-hentinya mengetik klik kamera, mengambil banyak gambar. Kesempatan langka tak muncul dua kali. Sokeri tidak boleh melewatkannya.

Bagaimana tidak?

Rorobon Ram. Seorang pelajar ternama dari SD Trick yang membantai seluruh mata pelajaran baik akademi maupun non-akademik. Berfisik bugar, otak yang amat cemerlang, serta kecerdikan kilat.

Yang Marmoris tahu, pelajar bernama Ram ini jauh dari kata anak 12 tahun normal. Memiliki optimisme tinggi, berbanding terbalik dari anak-anak lain. Dia seolah tak pernah merasakan masa kecil.

Tetapi sekarang, lihatlah pemandangan indah di depan mereka bertujuh. Ram tertidur di bangku taman, menjadikan tasnya sebagai bantal. Terlihat nyenyak.

Sokeri mengelap ilernya sehabis memeriksa jepretannya. "Sudah kuputuskan, Kapten adalah anak termanis di dunia! Aku belum pernah berjumpa anak kecil seimut Kapten!"

"Hentikan itu, Sokeri. Kau tampak seperti pedofil beneran." Tobi memandang ngeri lewat sela jari.

Hermit, Northa, dan Dien sudah asyik menoel-noel pipi Ram. Berbinar serius. "Kalau lagi tidur begini, entah mengapa aura bocahnya mengental."

"Kapten manis banget sumpah. Gulanya kelebihan."

Di antara mereka hanya Mangto dan Castle yang normal. "Sudahlah kalian semua. Kita antar Kapten ke rumahnya sekarang. Ibunya pasti menunggu."

"Kamu tahu rumah Kapten, Mangto?"

"Tadinya tidak," Mangto menunjuk Castle santai, mengendong Ram secara hati-hati supaya tidak terbangun. "Sekarang sudah karena Castle mendapatkan alamatnya. Dasar hacker."

Castle tersenyum. "Kalau tidak kupegang peran itu, Marmoris akan kesusahan melawan guild-guild besar bukan. Menyerahkan semuanya pada Kapten terlalu berat."

Mereka menuju rumah Ram.

*

Teng nong!

Mama Ram membuka pintu, seketika tersihir sosok Mangto yang tersenyum ramah. "Selamat sore. Apa ini kediaman Rorobon?"

"Y-ya, benar. Mencari siapa, ya?"

"Kami mencari Nyonya Rorobon. Apakah beliau ada di rumah?" tanya Mangto sopan, senantiasa tersenyum.

"Dengan saya sendiri kok, Pak," ucap beliau tertawa teduh.

Mangto terdiam, diikuti member Marmoris yang lain. Astaga? Itu ibunya Kapten? Aswdzxc!!! Muda banget! Kayak anak kuliahan! Mangto salah mengira yang di depannya kakaknya Clandestine.

"Ka-kami membawakan anak anda, Nyonya," ralat Mangto gagap. Wajahnya merah karena malu. "Dia tertidur di taman. Kami tak tega meninggalkannya."

Beliau mengambil alih Ram yang masih tidur nyenyak. "Terima kasih sudah mengantarkan Ram. Kalau boleh tahu, kalian siapanya Ram, ya?"

"Kami teman-temannya, Nyonya." Marmoris menjawab mantap. Ditambah pelataran mendukung.

"Luar biasa. Saya tidak menyangka Ram punya kenalan seperti kalian. Ram walaupun berprestasi, dia sukar mencari teman. Dia anaknya kaku dan pemalu."

Mangto tersenyum penuh arti, memandang punggung Ram. Senyumannya itu membuat Nyonya Rorobon salfok dan mengalihkan muka.

Mangto membungkuk sekali lagi. "Kalau begitu kami izin pamit. Anda memiliki putra genius. Saya menghormatinya. Permisi."

Beliau refleks memegang lengan Mangto.

"A-anu, tidak bisakah kalian singgah sebentar? Untuk menghabiskan secangkir teh?" [16/09/2021]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro