24

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku terbangun karena mengantuk dipan kepala kasur. Keningku panas, mengusap-usapnya sebal, kemudian meneliti sekeliling.

Lho? Ini... di kamarku? Apa aku bermimpi dikejar tujuh inti anggota Marmoris? Tapi badanku masih capek lho. Ingatanku masih segar lari-lari dari gang ke gang demi memusingkan mereka. Apa aku tidur berjalan sampai ke rumah?

"Well, aku sudah pulang juga. Tak perlu dipikirkan lagi. Saatnya mandi," kataku simpel, secepat kilat menanggalkan baju, melesat ke kamar mandi.

Selama membersihkan tubuh, aku kepikiran sosok yang membidik Northa. Coba pakai kepintaranmu, Ram. Pindai kembali apa yang kau ingat.

Kenapa orang itu mengincar Northa? Tidak, bukan itu pertanyaannya. Apa benar senapannya sudah diatur? Itu dia pertanyaannya.

Aku terdiam, menyisakan suara air yang dikeluarkan sower. Sniper itu jelas menguasai ilmu balistik.

Aku menelan ludah. Dipikirkan sekali lagi, aneh rasanya Northa langsung menerima tembakan saat keluar dari gerbang sekolah. Kecuali jika mereka memakai sistem "tandai" dalam rudal, tapi aku yakin benda seperti itu tidak ada.

Dengan kata lain, perkiraanku meleset. Senapan itu bukan diatur tapi betulan dikontrol. Sial! Pemikiran tidak mau terlibat dengan Marmoris membuatku lengah ke sekian kalinya.

Tanganku meraih handuk, tetapi... kosong?

Aku menoleh ke gantungan, tidak ada handukku di sana. Aku lupa Mama mencuci pagi tadi dan mengambil handukku yang sudah kotor. Pasti Mama lupa meletakkannya.

"Tinggal turun ke bawah. Kan gampang." Aku memegang kenop pintu, sejenak ragu.

Badanku masih basah. Tetesan air dari helai rambut mengalir. Mama bakal ngamuk lihat lantai becek. Tapi Mama ngomelnya sebentar doang terus nanti aku dicubiti.

"Well, cuman aku dan Mama di rumah ini. Kenapa pula malu sama Mama sendiri," gumamku enteng, memutar gerendel.

Aku berderap menuruni anak tangan, tetes air memercik-mercik, bergabung ke ruang tamu. "Ma! Mana... handuk... Ram..."

Northa dan Tobi tersedak air teh. Sokeri dan Dien tersenyum ala pedofil. Hermit dan Castle menepuk dahi. Mangto melambaikan tangan, wajah teduh nan hangat.

"Malam, Kapten. Tidurmu nyenyak? Kapten harus tahu, Sokeri menyimpan banyak fotomu saat terlelap di taman."

"AAAAAAAAAA!!!!!!!!"

*

Mama mengulum senyum. "Makanya Ram, lepasin anti-suara di kamarmu itu biar percakapan di bawah terdengar. Kamu kebiasaan deh telanjang habis mandi—"

Aku membekap mulut Mama segera, memelas. "Berhenti-bahas-itu!"

Mama habis-habisan menahan tawa, mencubit pipiku keras. "Aduh! Bikin gemas deh anak Mama satu ini."

Aku memberikan piring kosong. "Ram mau tambah! Nasinya habis!"

"Siap, bos kecil. Jangan mengambek dong. Kan mulutnya jadi kayak bebek," kekeh Mama sebelum pergi ke dapur.

Aku mengepalkan tangan senang. Bagus! Mama sudah pergi! Kusapu pandangan ke mereka bertujuh. "Jadi, ada gerangan apa kalian ke rumahku? Tak cukup merecokiku di sekolah?"

"Tenanglah dulu, Kapten kecil. Mamamu lah yang mengajak kami untuk mampir. Teh buatan beliau sangat lezat."

"Benar, Kapten kecil. Tampaknya beliau tertarik pada Mangto deh."

"Eh, kenapa kalian mengganti nama panggilanku?" kataku mengernyit curiga.

"Lalu kami harus memanggil apa? Gajah Kapten unyu?" celetuk Sokeri polos.

Pang! Kulempar sendok ke kepalanya. Satu headshot untukku. "Bisa-bisanya mengatakan hal frontal begitu di depan anak-anak! Kau ini guru, kan?! Kenapa tidak difilter dulu mulutnya?!"

"Tee he! Kapten imut sih."

"Jangan bilang tee he!"

"Ram!~ Mama tidak mengajarkanmu membentak tamu lho!~" seru Mama bersenandung di dapur.

"R-ram tidak membentak kok!" Nyaliku ciut. Aku tidak mau berurusan dengan ibu muda pemarah. "Barusan, pita suara Ram meninggi sendiri," lanjutku menatap tajam ke Sokeri yang mengelus-elus kepala.

Castle berdeham. "Kapten, tidak bisakah kita membahas soal Klendestin? Bagaimana kalau ada lagi yang celaka di antara kita? Ketika kita tidak sedang berkumpul, kita jadi umpan empuk."

"Aku sudah bilang, aku juga tidak tahu siapa dia. Menurutku dia hanya fans gila Clandestine."

"Aku tahu Kapten punya dugaan."

"Dugaan umum tentang persekongkolan Klendestin dengan Menas." Aku membalas ketus. Secara, yang meneror Marmoris terang-terangan adalah Woodzn. Siapa itu Klendestin, tak pernah keluar dari sarangnya. "Menjadikan Menas sebagai batu pijakan, kurasa orang ini..."

Deg! Aku tertegun, juga Mangto.

"Tunggu dulu, Kapten. Jangan bilang anak buah Klendestin tidak hanya Menas? Jika memang dia pemimpin asli Woodzn, itu artinya dia bisa mengendalikan pemain-pemain yang tersisa. Menghasut agar menyerang Marmoris."

"Seperti catur, kah? Memperbudak para bidak untuk berdiri sampai akhir. Dia licik."

"Kalian tahu siapa saja inti Woodzn?" tanyaku. Ini gawat. Kalau benar masih ada rekan Klendestin yang lain, yang sama kuat dengan Menas, maka jelas sudah pelaku pembidikan Northa.

"Mereka bersembilan, Kapten," kata Castle menyentuh cepat layar tablet. "Julukannya Sembilan Benteng Woodzn. Rasio kemenangan individu mereka tak bisa diremehkan. Rata-ratanya balance dengan skor kita. Jika kita menang battle-grup, mereka menang solo. Kurasa kita terlalu tutup mata pada guild tersebut."

Aku menghela napas. "Itulah mengapa Woodzn selalu menduduki peringkat dua. Mereka terlalu bergantung ke potensi masing-masing. Apa salahnya menggabungkan skor individual ke dalam poin guild? Tidak ada ruginya kok. Level guild naik dan EXP mereka berlimpah."

Yah, aku tak bisa menampik fakta bahwa sebelum tahu Marmoris aku memang player solo. Maaf ya, Woodzn.

"Tapi aku tahu tujuan mereka melakukan itu," gumamku tanpa peringatan.

Mereka bertujuh menatapku tegang.

"Aku memainkan Runic Chaser oktober lalu, nyaris setahun aku memainkannya. Kemungkinan Klendestin mengikuti akunku saat aku dalam tahap explore for level up. Dia sengaja memfokuskan member Woodzn meningkatkan skill sendiri-sendiri. Untuk apa? Karena Klendestin sudah merancang rencana matang aksi teror Marmoris pada bulan Halloween bahkan sebelum guild kita terkenal," jelasku tersenyum jengkel. "Dia bukanlah peniru murahan. Role penerawang, itulah dia. Aku terlalu meremehkan si peniru itu."

"Kapten..."

"Apa sih?" Aku kesal. Sudah panjang-panjang aku berbicara, mereka malah melamun.

Mangto menunjuk ke belakangku. Hah? Aku bersungut-sungut, bergerutu menoleh. Ada apa sih di belakangku...

Aku tersedak. Mama! Oh, tidak! Mama mendengarkan semuanya!

"Hoo?" Mama tersenyum lebar. "Jadi itu rahasiamu selama ini, mengurung diri di kamar sepulang sekolah. Ngegame sampai subuh, hmm? Ngegame sampai tidak dengerin Mama, hmm? Sampai lupa makan, mandi, dan lupa main sama Mama."

Aku menatap Mangto, meminta bantuan. Tetapi lihatlah! Mereka bertujuh spontan melemparkan wajah ke sembarang arah dengan estetik. Pura-pura tak kenal.

Dasar laknat kalian semua.

Mama memelintir telingaku. "Hayo, sudah nakal ya kamu. Mau Mama kurangi jajannya? Atau mau puasa seminggu?"

"Aduh! Aduh! Ampun, Ma! Anu... Ram tidak bermaksud menyembunyikannya. Ram hanya butuh mainan pelepasan frustasi terhadap olimpiade."

"Benar itu, Nyonya!" Mangto menyerah, gemas ingin berbicara. "Ram anak pintar yang mengedepankan pendidikannya kok, Nyonya. Jangan cemas nilainya turun."

Mama mengelus pipinya, cemberut. "Saya tidak mencemaskan hal itu. Saya percaya soalnya dia putra saya. Tapi, ngegame sampai subuh, sudah saya duga itu terlalu berlebihan. Ram bisa jatuh sakit."

Mangto blushing. Apa-apaan ibu muda ini? Kenapa demek-nya kerasa sampai ke seluk relung hati? Ja-jadi inikah namanya, "heart attack"?

Hermit ikut membuka suara. "Jangan khawatir soal kesehatannya, Mama Kapten yang manis. Ram super sehat bugar. Kudengar dia menang lomba lari internasional?"

Castle mengangguk. "Begitulah yang kudapatkan dari pencarianku."

"Jangan seenaknya mengintip privasiku!"

Northa terkekeh angkuh. "Tampilan Ram mungkin bocah SD ingusan, tapi dia berbeda dari spesies lemah yang lain. Dia spesial."

Tobi manyun. "Kau bisa membuat orang-orang salah paham, Northa... Perbaikilah cara bicaramu."

Sokeri lebih-lebih, sok akrab dengan Mama seolah teman lama yang baru reuni. "Kakak~ Bisakah bagi foto Kapten saat masih bayi?~ Sumpah, Kak, anak Kakak double triple berkadar gula tinggi."

Pada ngacak semua!

Mangto menatap Mama serius. "Kami sedang terlibat masalah dengan sebuah guild, Nyonya Rorobon, makanya kami butuh kapten kami yaitu putramu. Tenang saja, kami akan melindungi Kapten, maksud saya kami akan mengutamakan keselamatan Ram. Sudikah Anda memberi izin?"

Ukh! Kenapa dia harus menatapku seserius begitu! batin Mama entah kenapa raut wajahnya bisa kubaca. Oh inikah cintong...

"Baiklah! Baiklah! Saya izinkan!"

"Eh? Boleh, Ma?"

"Iya, boleh. Asal kamu jangan terluka. Sudahlah, Mama mau mencuci piring."

Kalau begitu aku tak perlu sembunyi-sembunyi lagi. "Marmoris! Kita ke kamarku sekarang! Menyusun strategi penanganan serangan kedua dari Sembilan Benteng Woodzn!"

"Baik!" Mereka berseru lantang. [160921]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro