25

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lima menit aku menunggu, tidak ada yang masuk ke kamarku. Aku menoleh. "Kenapa matung di pintu? Ayo cepat masuk!"

"Tapi, Kapten," Mangto menunjuk papan gantung di daun pintu. "Tulisannya dilarang masuk."

Aku yakin wajahku frustasi. Mangto, seorang bos perusahaan, wakil kapten Marmoris. Tidak bisakah dia memakai logika?

Skip time.

Kamarku jadi gerah dihuni 8 orang sekaligus. Aku tidak punya tempat luas, jadi pas-pasan saja. Tinggal kutempeleng kepala mereka yang mencerca sempitnya ruangan, terutama Northa.

Paham maksud air mukaku yang siap mencincang, Northa mengulum bibir, menukar kalimat. "Jadi apa rencanamu, Kapten?"

"Bersabarlah." Aku menjawab pendek.

Hermit, Sokeri, dan Dien asyik memandangi lemari penuh penghargaan. Selfie dan memposting ke akun. Dasar.

Northa dan Tobi duduk santai di kursi. Biarkan saja pangeran dingin itu—aku belum tahu kepribadian Tobi.

Sementara Mangto dan Castle sibuk memainkan robot-robotan. Aku meminta banyak mainan berat pada Mama pada umur 7-8 tahun dan menatanya di kamar.

Tapi, yah, bukan kamar bocah ini yang akan kutunjukkan pada mereka. Siapa juga yang bakal tertarik.

Dibanding Paula dan Billy, aku sudah berteman dengan Day sejak kelas 2. Aku kenal luar-dalam tentangnya termasuk tentang kakaknya, Kak Hari.

Dua minggu setelah mengunduh game Runic, entah apa yang kupikirkan, tiba-tiba saja aku ingin sebuah tempat guna pemantauan. Butuh ruang rahasia untuk membuat strategi perang.

"Tapi, Kapten," Castle menceletuk. "Kenapa Kapten punya dua kasur?"

Aku tersenyum. Peringkat Castle sebagai top-hacker 3 di dunia game bukan main-main. Matanya jeli mengamati keganjilan di sekitar.

Aku menunjuk santai. "Yang satu itu untuk tidur. Dan ini," kutekan klik kecil di bawah kasur satunya. Sanggaannya terbuka dan menjatuhkan layar petak besar berkabel-kabel. "Peta canggih yang merekam titik-titik terbaik Kota Hallow."

Bahkan Hermit sampai melempar hapenya demi menerjang ke tempat kami. Castle tak henti-hentinya berdecak kagum. Bagaimana seorang bocah SD punya barang selangka itu?

"Kalian pikir aku dapat EMP dari siapa?" Aku mengeluarkan belanjaanku tadi. "Aku punya kenalan, jadi aku bisa melindungi diri," lanjutku melemparkan penyadap.

Mereka bertujuh spontan menangkapnya, bersitatap bingung.

"Terdapat dua fungsi pada benda itu; penyadap dan pelacak. Kalian masing-masing bawalah ke mana pun, biar aku bisa memperhatikan posisi kalian dari sini. Jika aku mendapatkan sinyal bahaya, aku akan menelepon Marmoris agar segera datang membantu."

Dien menatap takjub. "Wah, Kapten, kau benar-benar mengejutkanku. Kau sudah memikirkannya sampai sejauh ini?"

Aku menelan ludah. Well, aku tidak bisa mengatakan semua rencanaku untuk mengalahkan Woodzn sampai ke akar. Siasatku bisa berantakan. Memberitahu tentang penyadap saja sudah cukup, kan?

"Lalu selanjutnya bagaimana, Kapten?

Aku mengelus dagu. "Castle, kau teruskan pencarian mengenai Sembilan Benteng Woodzn, aku juga akan mulai menyelidikinya nanti. Kita saling berbagi informasi dan komunikasi. Bisa saja Woodzn mengirim mata-mata atau sniper dan mengintai kita, contohnya Northa kemarin..."

Mangto dan Castle menaikkan satu alis. "Ada apa, Kapten?"

Tidak, tunggu. Aku tersenyum nakal. Permainan tidak berlangsung seru kalau dilakukan sembunyi-sembunyi. Marmoris tidak memiliki prinsip sama dengan si pencundang Woodzn, main ngendok.

"Aku berubah pikiran."

Northa menabuh punggung Tobi. "Kan! Sudah kubilang juga, Kapten punya banyak ide licik di otaknya, sama seperti biasa."

"Kau kan tidak perlu memukulku..."

Aku bersedekap. "Apa maksudmu ide licik, heh?" ucapku tak terima. Enak saja ide-ide brilianku disebut licik. Dikira mudah apa bikin strategi.

"Apa isi rencana 'licik' ini, Kapten?" Castle tak sensitif perubahan mukaku yang sebal, meneruskan kekepoan.

Bentar deh, Ram. Kalau kau mengambek karena hal sepele, bisa-bisa kau dicap bocah beneran. Emosi infantil. Aku harus extra sabar.

Hufft, aku mengembuskan napas panjang,  berkacak pinggang. "Kalian lakukan saja apa yang kalian perbuat seperti biasa. Anggap tidak ada yang terjadi. Anggap tidak ada Woodzn mengintai."

Hermit, Dien dan Mangto sontak melotot. Itu ide tak masuk akal, mereka tak terima. "Kau ingin mencari masalah, Kap?! Rencanamu sembrono! Kami tak bisa melakukannya."

Wajahku lesu-konyol plus cemberut.

Castle berdeham. "Hmm, idemu tidak buruk juga, Kapten. Aku tahu maksudmu."

Aku tersenyum lebar. Sudah kuduga, sudah kuduga! Hanya Castle yang mengerti—

Castle menggeleng. "Tapi aku tidak setuju, Kap. Rencanamu gila. Kau bisa membahayakan kami. Aku yakin Kapten punya banyak ide lain selain ini."

"Dasar PHP!" semburku sebal memukul tangan Castle. Sial, padahal aku sudah berharap dia bakal mendukung.

Dien dan Sokeri terkikik. "Imutnya..."

"Tutup mulut kalian berdua!" teriakku menggebrak meja. Kesal. "Aduh, aku sepertinya terlalu berekspetasi. Kadang kala rencana barbar tak kondusif lebih efektif daripada strategi terbaik. Kita butuh menyelamkan kaki untuk memancing hiu. Lalu, apa? Kita akan mengikuti pola serangan Woodzn? Marmoris bukan buat kumpulan pemain mental cemen! Jika bukan kita yang menarik paksa mereka ke permukaan, maka kita yang masuk jebakan. Paham tidak?!"

Mereka bertujuh diam. Keterlaluan banget ya etika orang dewasa! Mereka tidak menghormati nasehatku?!

"Kapten..." Mangto berbisik, memberi kode, menunjuk-nunjuk pintu kamar yang ternganga.

Apa sih? Aku menoleh, tersedak. Mama berdiri termangu di luar sembari membawa nampan berisi gelas dan cemilan.

Mama masuk ke dalam, meletakkan nampan ke meja belajar. "Mama selalu curiga apa yang kau lakukan di kamarmu, dan rahasia itu sudah terbuka. Awalnya Mama tidak percaya kau adalah pemimpin mereka bertujuh yang bernotabene lebih dewasa dan besar darimu, tapi kini Mama sudah melihatnya sendiri."

Aku menggaruk pipi canggung. Waduh.

Mangto mengacungkan dua jempol, disusul Dien yang mengangguk-angguk semangat. "Lihat, kan, Nyonya? Putramu itu genius!"

Northa bersedekap, memejamkan mata. Tobi tersenyum simpul di sebelahnya. "Tak perlu ditanyakan lagi mengapa Marmoris bisa jadi guild ternama."

"Sudah pintar, manis lagi. Duh, aku ngefans berat sama Ram."

Mangto mendekat ke Mama. "Kalau Anda mau, saya bisa merekomendasikan Ram ke SMP terkenal di Kota Hallow. Jalur prestasi. "

"Oh, benarkah? Anda baik sekali." Mama tertawa.

Mangto ikutan tertawa. Malu-malu. "Saya hanya ingin membantu Ram."

Aku cemberut datar, menepuk pantat Mangto. Dia mengaduh, menoleh, aku melayangkan tatapan sinis. "Kau terlalu dekat, Mangto. Pindah sekarang."

Mama terkekeh. "Ram cemburu nih?"

Aku memeluk kaki Mama, menatap Mangto datar-galak. "Tentu saja! Mama hanya milik Ram! Tak boleh ada yang merebutnya!"

Semua orang di sana tertawa kecil, termasuk Northa yang bergengsi tinggi.

"Tahu tidak, Kapten?" Tobi berkata di sela-sela ramainya tawa, menyikut Northa. "Anak ini pertama kali menganggapmu cewek lho. Bahkan sempat naksir ke Kapten."

"Tobi...!" Northa memerah malu. Jangan coba-coba, begitu maksud ekspresinya.

Aku menatap mereka berdua. Yang lain saling tatap, menggoda.

"Habisnya, karakter Ram cewek berbaju maid, berambut pink panjang. Mana nickname-nya imut lagi. Feminim. Northa mengaku tertarik sama Kapten sebelum Kapten memberitahu kalau dia laki-laki."

Kamarku kembali dipenuhi tawa.

Aku memberikan tatapan waspada pada Northa, memeluk badan.

Northa blushing hebat. Berteriak malu.

***TBC***

Minggu, 3 oktober 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro