26

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"CLANDESTINE BRENGSEK!" Menas beringas, meninju brutal cermin di dinding, gemetar menahan marah.

Bayangkan, perasaan telah dikalahkan di dunia maya kini dia juga merasakannya di dunia nyata. Melawan seorang bocah SD ingusan? Bahkan bocah itu mampu menjebloskannya ke penjara. Harga diri Menas amat terluka. Ini tidak adil.

Bagaimana bisa Menas membiarkan dirinya kalah oleh anak kecil? Seharusnya Menas tahu, bahwa Clandestine super hati-hati. Kenapa Menas melupakannya?! Dasar bodoh. Ditertawakan oleh anak-anak. Menas sangat malu.

"Tahanan nomor 4194. Ada tamu untukmu. Waktumu hanya 15 menit." Sipir berkata sembari membukakan pintu sel Menas.

Menas mengernyit. Tamu? Menas tidak ingat mempunyai kenalan. Keluarganya mencampakkannya. Itulah mengapa Menas frustasi dan mencari pengalihan dari kesedihan, tapi malah makin stress karena terus kalah oleh Marmoris.

Seorang sosok mengenakan blazer panjang berwarna biru, topi capulet merah ala luar negeri, sepatu hitam hak tinggi dengan stoking fishnet, dan sarung tangan transparan sampai ke siku.  Penampilannya amat menggoda.

"Maafkan aku, Tuan Sipir Terhormat." Bibir merah pekat sosok itu bergerak. 

Menas menelan ludah. Kalau saja situasinya baik, dia seksi sekali. Namun suasana sekarang mengatakan hal sebaliknya.

Sosok itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. "Tapi kurasa 15 menit tidak cukup," lanjutnya menyeringai.

Dor! Menas langsung terduduk demi melihat kepala sipir itu berlubang oleh peluru. Tergeletak mati di depannya. A-apa yang barusan dia lihat? Sosok itu membunuh seseorang.

"K-kau adalah..."

"Aku akan memberimu satu kesempatan lagi, Menas." Mengerikan sekali seringai wanita misterius itu, meski wajahnya tak tampak. Menas pun dibuatnya tak berkutik. "Hancurkan Marmoris. Aku akan memberimu pengarahan."

Menas mengangguk patah-patah. Wanita ini sudah terobsesi akut! Dia sakit jiwa! Bagaimana bisa dia sesantai itu setelah menembak mati manusia?!

"Tapi..." Dia jongkok, tersenyum miring. "Jangan ganggu Clandestine. Jangan sentuh dia. Bersyukurlah kau tidak berakhir seperti sipir malang itu atas tindakanmu terakhir kali."

Lagi, Menas mengangguk takut.

"Clandestine adalah milikku. Hanya aku yang boleh memainkannya."

*

Kriing! Bel pulang berbunyi. Wajah kusut seisi kelas seketika berubah cerah gemilang seakan menang lotre.

"Baiklah anak-anak, pelajarannya cukup sampai di sini. Baca kembali di rumah. Silakan pulang dengan tertib," tutup Buk Prateek mengembuskan napas lelah.

Aku menyandeng tas—ingin menyusul Billy nan lari secepat angin keluar kelas—tapi tertahan melihat Buk Prateek. Sepertinya beliau akan kerepotan membawa buku PR teman-teman.

Bantu tidak, ya? Bantu sajalah ya. Mumpung mengisi waktu. Cepat pulang pun tidak ada gunanya. Mama pergi kerja.

Aku melengos ke depan kelas, membuyarkan lamunan beliau. "Permisi, Buk, mau saya tolong bawa ke kantor?"

Buk Prateek tersenyum. "Kau perhatian sekali, Ram. Terima kasih."

Dan begitulah. Kami berdua pun jalan berbarengan mengangkut kumpulan buku tugas. Yeah, aku sudah sering melakukan ini. Jadi aku terlatih dengan baik.

"Ngomong-ngomong, Buk, bagaimana tentang beasiswa saya?"

Inilah yang kuincar. Aku tak menolong beliau cuma-cuma. Aku perlu timing pas untuk melontarkan pertanyaan tersebut.

Beliau tertawa. "Kau ini benar-benar cerdik, Ram. Ibu tak habis pikir. Mamamu pasti bangga punya anak sepertimu," ujarnya menyeka ujung mata. "Jangan khawatir soal beasiswa. Ibu akan menepati janji Ibu."

Aku mengepal tangan senang. Itu berarti masalah uang pendaftaran masuk SMP aman kendali. Mama takkan kerepotan.

"Nah, sudah sampai." Buk Prateek mengambil alih buku-buku PR. "Sekarang kau boleh pulang. Terima kasih ya, Ram."

"Dengan senang hati, Buk. Selamat siang!"

Bersenandung menuju pintu gerbang, eh, tahu-tahu dipalak oleh Geng Ideo. Mereka menarikku ke belakang sekolah. Tentu saja tidak semudah itu, ferguso.

Aku menepis tarikan Ideo. "Ada apa ini, heh? Aku mau pulang. Jangan ganggu aku."

"Belakangan ini kau semakin meremehkanku ya, Robon. Apa karena kau bangga menjadi anak emas sekolah? Merasa terlindungi?"

Ya banggalah coeg! "Katakan saja kau ingin cari masalah denganku," sanggahku masam, kontras dengan sorakan hati.

Ideo beserta teman-temannya tertawa sarkas sebelum Ideo melepaskan bogeman ke pipiku. Aduh! Aku meringis, menatapnya galak. Wah, dia betulan memukulku.

"Kenapa? Kau pikir aku takut padamu, hah?!" Ideo menggertak.

Aku beranjak bangun, balas membogemnya. Enak banget dia main pukul. Mana mau kubiarkan diriku dipukul begitu saja.

Akhirnya, perkelahian antara aku dan Ideo yang digadang-gadang satu sekolah terjadi juga.

*

"Mama pulang... Astaga Ram?!" Mama berseru histeris, berlarian kecil melihatku tergolek letih di sofa. "Ya ampun, kenapa dengan wajahmu? Ungu-ungu begini. Ram, kamu bertengkar?"

Aku membuang muka. Mendengus mengingat perbuatan si Ideot Ideo.

"Jawab Mama, Ram."

"Ideo yang memulainya!" balasku bersungut-sungut. "Dia itu iri sama Ram karena Ram pintar dan lebih keren darinya. Makanya mengajak berkelahi—" Aku melotot sakit. Mama menjewer telingaku. "Sakit aduh, Ma! Ampun!

"Mama menyuruhmu menjauhi kekerasan, Ram, tetapi kamu justru terlibat. Kamu mulai nakal."

"Ya kan Ram tidak mau dipukul mentah-mentah." Kenapa Mama malah marah? Harusnya beliau memujiku berani membela diri dari orang yang badannya lebih besar.

Mama berkacak pinggang. "Tidak boleh begini," gumamnya memungut playstation di lantai. Aku terbelalak, tahu apa yang ingin beliau lakukan.

"Tunggu!" Aku segera menghadang Mama. "Itu punya Ram! Mama tidak bisa giniin Ram. Ini penyalahgunaan hak anak."

"Mama tidak mau tahu. Ram harus janji dulu supaya tidak berkelahi lagi."

Aku memakai jurus rengek. "Ram hanya membela diri! Tak kurang tak lebih. Mama terlalu lebay. Kembalikan PS Ram."

"Tidak bisa! Mama sita benda ini!" Terjadilah adegan tarik-menarik. Aku takkan menyerah soal game! Apalagi PS ini kubeli dengan cicilan. Makin berharga dong.

Teng Nong! Puji syukur kuucapkan pada mereka yang datang.

Mama berdecak malas, melepaskan benda tersebut. Aku segera mendekapnya. Kemenangan ini milikku! Aku tertawa senang dalam hati.

Mama membuka pintu. Sejurus kemudian, marahnya mereda. "Kalian... Mangto dan Dien, bukan? Kalian berkunjung lagi."

Mereka tersenyum. "Selamat siang, Nyonya Rorobon. Apakah Kapten—maksud kami Ram, sudah pulang?"

"Sudah kok. Itu dia."

Mangto dan Dien melongok, manyun konyol. Aku masih mendekap PS, komat-kamit menggumamkan mantra. "Jangan khawatir, Destiney (nama PS). Ayah akan menjagamu seperti kakakmu Clandestine (nama komputer). Pasti!"

Mama ikutan manyun. "Dia selalu seperti itu jika mainannya direbut."

"Ram berkelahi, ya?" Mangto bertanya khawatir. Kemarin mereka berkunjung tanpa buah tangan. Hari ini mereka membawa dua kantong cemilan.

"Begitulah." Mama menerima kantong plastik tersebut, mempersilakan mereka masuk. "Padahal saya sudah melarangnya."

Dien menghampiriku, menahan tawa. "Aduh, Kapten, wajahmu terluka. Mari sini kuobati. Tenanglah, aku takkan menyita mainanmu."

Aku menoleh tajam. "Kenapa kalian kemari lagi? Mulai seenaknya ya kalian."

Sorot mata Dien berubah. "Kapten, kau harus tahu sesuatu. Ini kabar mengejutkan," katanya mengeluarkan ponsel, menunjukkan sebuah berita terkini.

Aku terbelalak. "Pe-penjara Ween dibobol? Belasan sipir terbunuh. Bukankah itu penjara yang menahan Menas dan Woodzn lainnya?"

Dien mengangguk, mendekat padaku, lantas berbisik. "Klendestin sudah bergerak, Kapten. Mengincar Marmoris."

Tanganku terkepal. Tak kusangka si peniru itu berani membunuh. Ini bukan lagi permainan anak-anak. Ini dunia orang dewasa.

***TBC***

Minggu, 17 oktober 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro