29

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Bagus! Mereka semua sudah masuk. Kita jalankan rencananya sekaeang." [Lascrea, tank Sembilan Benteng Woodzn].

"Tapi kau yakin wanita di dekat Mangto itu Clandestine yang agung? Kenapa aku merasa tak yakin... Mungkin bukan dia deh, Flame." [Zeren, support sniper Woodzn].

"Aku setuju dengan Zeren. Merujuk tidak ada yang tahu identitas Clandestine termasuk anggotanya sendiri, mustahil dia mau menunjukkan diri terang-terangan. Kita tidak boleh meremehkan player top dunia sepertinya." [Corki, sub-attacker].

"Justru kalian lah yang tak berhati-hati." [Rapa, hacker Woodzn]. "Clandestine ingin kita termakan pancingannya. Kenapa kita harus melewati umpan emas?"

Seseorang berambut merah nyalang bergabung ke antara mereka, menyeringai. "Clandestine sudah mempermalukan Menas, wakil kita yang idiot. Aku tidak mau dipermalukan seperti ini. Kita serang mereka." [Flamehale, DPS Woodzn].

Zeren dan Corki bersitatap, menghela napas. Pendapat mereka tidak didengar, tidak ada pilihan selain memberi dukungan dari belakang.

"Rapa, itu sudah siap, kan?"

"Sudah, Pak!" Rapa membenarkan posisi kacamatanya yang teleng. Hormat. "Mimiq, Lizi, dan Cherox sudah standby di posisi. Semuanya tergantung aba-abamu."

"Di mana Plozo? Dia tidak datang?!" Flame berang mendengar anggota timnya tidak lengkap. "Dialah kunci strategi kita!"

"Kapten," Terdengar suara lenguhan pelan. Yang disebut-sebut ternyata tertidur. Dia menguap, mengucek mata. "Aku sudah hadir." [Plozorer, jenderal perang Sembilan Benteng Woodzn].

"Kau, tolonglah kebiasaanmu itu. Kita lagi bertugas nih. Lakukan pekerjaanmu dengan benar dong!" Lascrea mendengus.

Plozo acuh tak acuh, menerima teropong yang disodorkan Flame. Dia menyorot ke gedung restoran. Terlihat anggota Marmoris semangat melangkah masuk ke ruang VIP. Seketika mukanya terangsang menatap seseorang di lensa.

Jijik, Flamehale menyambar benda tersebut. "Kenapa mukamu nafsu begitu? Menjijikan."

"Dasar tukang kebo mesum!" ledek Zeren.

Plozorer masih terlihat mengantuk, letih luar biasa, entah ngapain sampai selelah itu. Dia mengelap ilernya. "Sokeri dilihat secara langsung sangatlah cantik. Aku suka dia. Clandestine juga imut kok. Castle apalagi. Tapi aku tak suka Hermit, dia masih remaja."

"Lah geblek. Kau kan juga remaja."

"Iyakah? Aku tidak menghitung umurku."

"Sudahlah kalian berdua! Jangan berisik!" Flamehale jengah. Jam terus bergulir menuju angka sembilan. "Kita kehabisan waktu. Katakan rencanamu sekarang, Plozo."

"Baiklah, baiklah. Jangan ngegas 'gitu."

*

Ram tak habis-habisnya berdecak kagum melihat sekeliling kamar. Jadi begini interior ruang VIP? Sial! Apakah aku pantas berada di sini?! Begitu sorakan hatinya, merasa tak layak di tempat itu.

"Dasar bocah. Apa kau tak pernah pergi ke restoran? Huh!" seloroh Northa duduk seperti pangeran di kursinya.

"Syirik amat. Suka-suka aku lah."

Ram melirik Mangto yang bercengkerama dengan Ibunya, menyipit curiga. Sejak kapan mereka berdua jadi seakrab itu? Mau mengganggu, tapi Hermit menggendong Ram ke pangkuannya. Dia dikepung Sokeri dan Castle.

"Aku mau duduk di kursiku." Ram berusaha meloloskan diri. Percuma, tubuhnya diapit. Dasar orang dewasa pencinta keimutan!

"Kapten imut sekali memakai baju pelaut itu. Ayey, captain!" Hermit memperagakan jargon bajak laut membuat ekspresi Ram semakin geli.

Dien memberikan buku menu pada Tobi. "Mau pesan apa?" tanyanya lembut. Tampaknya Dien mau mengakrabkan diri dengan Tobi yang agak pendiam.

"Aku mau makan ayam."

"Hahaha, seleramu klasik ya, Tobi."

Ram benar-benar jengkel. Hermit seenaknya memilihkan makanannya. Padahal dia mau coba yang mewah kayak Northa. Bukan makanan bocah! Sosis gurita, nasi goreng, cacahan daging, dan susu kotak. Ya ampun.

"Hmm?" Ram mendongak. Lampu ruangan berkedip-kedip. Senyuman misterius terukir di bibirnya.

"Tapi yah," Nyonya Rorobon tersenyum. "Saya tak menyangka bisa makan malam bersama kalian di tempat berkelas seperti ini. Saya bingung harus bilang apa. Ram punya teman yang perhatian."

"Kapten Ram pantas dibawa kemari," celetuk Northa dengan elegan memotong steak-nya. "Mengingat tim kami selalu menang atas komandonya, tidak ada salahnya mengajaknya bermain dengan kami di dunia nyata."

Halah pencitraan! Situ tadi menghinaku yang kampungan ini! gerutu Ram memakan lahap nasi gorengnya.

Mangto tertawa. Dia baru saja hendak menyuap pesanannya, sampai tiba-tiba sendoknya terpelanting ke dinding dan berkelontang ke lantai.

"Eh? Apa itu barusan—Kyaa!" Hermit menjerit merasakan perih di jemari yang menggenggam sendok besi. Sama seperti Mangto, sendoknya juga terjatuh ke lantai seperti habis terkena sesuatu.

Tang! Tak! Tang! Prang!

Satu per satu piring, mangkok, perkakas makan di atas meja mereka pecah. Lampu korslet, mati-hidup dalam tempo kencang. Kaca jendela retak. Peluru beruntun menyerang mereka.

"Sembunyi di bawah meja! Dien, ambil meja lain untuk melindungi kita!" seru Castle menarik Ram dan Hermit agar merunduk. Mereka bersembilan bergegas sembunyi.

Northa menelan ludah. "A-apa yang terjadi? Ada yang menembaki kita?"

"Siapa yang menembak kita?" Hermit tak henti-hentinya mengelap keringat yang terus mengalir. Siapa yang tidak cemas dibidik oleh sniper!

Tobi menoleh ke belakang, menatap waswas. "Anehnya mereka hanya mengincar kita. Mungkinkah Woodzn?"

"Tidak salah lagi."

Sementara orang lain panik mempertebal perlindungan menggunakan meja makan lain, Ram di pelukan Ibunya menatap datar salah satu jejak peluru. Senapan tipe Pindad SPR, ya? Ram mengembuskan napas kasar, geleng-geleng kepala.

"Kapten, apa yang harus kita lakukan? Apa kita gunakan saja bom lengket tadi?"

"Biarkan saja."

"Maaf?"

Ram melipat tangan ke dada. "Kubilang biarkan saja mereka menembak. Mangto, lebih baik kau telepon polisi. Aku tidak mau Mamaku kena getahnya."

"Membiarkannya? Jangan bercanda, Kapten! Mereka menargetkan kita!" sanggah Castle.

"Jika mereka berani maka kita harus berani juga." Ram terlihat santai. Dia malah menguap ngantuk. Setengah sepuluh adalah jam tidurnya.

Mangto dan Dien bersitatap gemas. Mereka tidak mengerti maksud Ram. Kenapa dia cuek sementara peluru asli, real, sedang menghujani mereka?

"Para sniper tidak memakai Silencer untuk mengurangi desibel hentakan suara tembakan. Itu berarti mereka berani mengambil resiko ketahuan oleh penduduk, kan?"

Mangto ingin menyela lagi, namun dia urung. Dia bingung mengapa Ram bisa tahu soal senapan, itu kan dunia militer.

Prang! Prang!

Karyawan-karyawan melakukan keamanan dengan panik pada tamu-tamu di kamar VIP. Mereka bersitungkin berhamburan keluar dari restoran, saling dorong, saling pites, yang penting selamat.
 
Tapi ada yang aneh. Kenapa mereka hanya menembaki meja Marmoris? Jangan bilang dia mau Clandestine memberi perintah untuk melawan mereka. Ya ampun, Woodzn sudah tidak waras.

Ram merogoh ranselnya. Tangannya mengeluarkan speaker, ponsel, katapel, dan sebuah petasan seukuran telapak tangannya, meminjam geretan Dien, menyalakan sumbunya.

"Eh, Kapten, apa yang kau pegang?" Hermit bertanya. Yang lain ikut memperhatikan.

"Mercon."

Mereka bertujuh melotot. Sumbu petasan sudah mencapai permukaan petasan. Langsung saja Sokeri merebut benda itu dan melemparnya jauh. Ram menyeringai, menekan sesuatu di hapenya.

BOOM!

Flamehale yang sejak tadi mengawasi dengan teropongnya, terkekeh. "Akhirnya mereka melawan. Begini baru bagus."

Lascrea menggebu-gebu. "Mereka merespon, Ketua! Mereka memakai bom itu! Yey, kemenangan telak Woodzn!"

"Ternyata Marmoris bisa kabur seperti pengecut. Hahaha, rasakan itu."

Plozo tidak ikut bersorak seperti teman-temannya, mengernyit. "Ada yang aneh," gumamnya meneropong sekali lagi. "Kenapa banyak asap di ruangan itu? Yang barusan mereka memakai bom lengket kami kan. Mereka memakan umpan kami. Tapi kenapa malah berasap? Setahuku bom berbahan peledak tidak bisa berasap sebanyak itu. Ia bukan flashbang."

Di antara asap, melesat cepat sesuatu ke tempat persembunyian Flamehale. Bom lengket yang Lascrea maksud melayang dan ujungnya mengenai dinding. Seruan Sembilan Benteng Woodzn menghilang.

DUAR! Senjata makan tuan.

Northa menganjakkan katapelnya. Tersenyum miring di tepi jendela yang sudah lobong. "Headshot untukku."

Tobi mengacungkan jempol. "Nice shot!"

"Kapten, bi-bisakah kau jelaskan apa yang barusan terjadi...?" Castle gemetar menatap Ram nan duduk manis mengemut susunya yang selamat.

"Mereka mengira kita memakai bom lengket yang kita temukan di mobil Dien tadi untuk kabur. Makanya kuperdaya sama setelan suara ledakan palsu supaya penjagaan mereka lemah. Dengan petasan pembuat asap, para sniper takkan menganggu serangan counter Northa."

Rencana simpel yang mengejutkan member inti Marmoris. Sesederhana itu?

Nyonya Rorobon memijit pelipis. "Mama tidak mau tahu lagi harus marah padamu atau tidak," ucapnya pusing. Mangto buru-buru membantu beliau duduk.

Dien mengusap-usap kepala Northa. "Tembakan yang bagus. Padahal jaraknya lumayan jauh. Sesuai yang diharapkan sniper Marmoris."

Northa cemberut, tapi tak keberatan kepalanya diusap-usap. Dasar tsundere. Tobi terkekeh melihat tingkahnya.

"Oh, tidak." Ram mendadak meremas rambut. "Aku harus pulang. Lupakan acara makan malamnya. Mama, kita harus pulang sekarang!"

"Ada apa, Kapten?" Castle bertanya. Tidak biasanya Ram sepanik itu—

"Aku belum mengerjakan PR!"

***TBC***
Sabtu, 27 november 2021
Kafuusa

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro