30

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tik, tik, tik!

Aku berhenti menulis, menatap datar jarum jam yang berdetik mengisi keheningan kamar. Malam semakin larut. PR-ku sudah selesai sejak tadi, tapi aku tak bisa tidur. Daripada menganggur mending membuat PR pelajaran lain.

Sembilan Benteng Woodzn...

Sama seperti regu Menas, mereka tidak segan-segan memakai senjata berat di dunia nyata. Aku yakin penyerangan berikutnya lebih ganas.

Apa aku terlalu santai? Mama dan Sokeri khawatir padaku. Mungkin maksud mereka begini, kenapa aku tidak takut diberondong peluru senapan.

Marmoris menekankan berkali-kali aku harus melepaskan ekspresi umurku, tapi aku tidak mengerti harus apa. Kenapa mereka ingin aku bertingkah anak-anak? Bukankah bagus jika aku bersikap dewasa?

Menghela napas panjang, aku menutup buku, pindah kursi. Tanganku bergerak cepat menyalakan komputer, memasang headset besar. Sudah lama tidak ngegame karena sibuk mengurus keonaran Woodzn.

Kenapa aku bisa menjadi leader Marmoris?

Aku tidak tertarik bermain, menekan riwayat chat dengan akun seseorang yang sudah offline desember lalu.

Seingatku, sebelum tahu sistem guild, aku lebih suka main sendiri. Bahkan jika ada event yang diharuskan memiliki tim, setelah masuk ke permainan, aku langsung memisahkan diri.

Sampai aku bertemu mereka berdua. Pasangan yang mengalahkanku dengan kerja sama mengagumkan.

[Apa ini kekalahan pertamamu?]

Air mataku berderai, membasahi papan keyboard. Pandanganku pada layar komputer mengabur. Aku terisak, tanpa basa-basi langsung memblokir pemain yang mengalahkanku.

Selama bermain game, aku hanya merasakan kemenangan mutlak. Jadi begini rasanya kalah? Sangat menyakitkan, menyebalkan, benar-benar menyesakkan.

[Kamu sangat kuat, Clandestine. Cerdas dan hati-hati. Tidak punya celah sedikit pun. Penjagaanmu baik dalam defensif maupun  ofensif tidak ada yang bisa menandingi. Yang kurang darimu adalah kerja sama.]

[Bergabunglah ke Marmoris, Clandestine. Aku dan partnerku akan mengajarimu arti dari bahu-membahu. Kamu akan jadi player terhebat di dunia jika potensimu dilandasi kerja sama.]

Kelak kamu akan jadi pemimpin yang menggantikan kami. Aku percaya padamu.

Itu pesan terakhir dari mereka yang tidak kuketahui siapa atau entah sedang apa saat ini sebelum memutuskan left dari dunia game.

Apa mereka kembar? Aku kadang bertanya-tanya siapa mereka sebenarnya. Kalau bukan karena arahannya, aku takkan mendapat gelar leader guild ternama. Aku akan menjadi player solo sampai sekarang.

"Yah, setidaknya adil." Aku bergumam pelan, beringsut ke kasur, menguap. "Aku tidak tahu siapa mereka, begitupun sebaliknya."

*

Terlambat! Aku kesiangan!

Sial. Aku lupa menyetel alarm. Prosedur sehari-hariku berantakan. Bus sekolah jelas tidak mau menunggu murid ngebo.

"Ram, tunggu! Sarapanmu belum—"

Aku mengibaskan tangan, buru-buru memasang sepatu dan memutar kenop pintu. "Tidak sempat, Ma. Nanti siang saja. Ram pamit dulu!"

Bus kuning sudah terparkir di seberang jalan, di belakangnya terparkir dua motor ninja. Aku terkesiap melihat mesin-mesinnya menyala, pintu tertutup. "Tunggu! Tunggu aku! Masih ada satu di sini!" seruku meloncat-loncat supaya sopir menengok ke arahku. Aduh... terlalu banyak mobil kalau nekat nyebrang.

Percuma. Transportasi itu kembali melaju meninggalkan halte.

Aku memandang sedih kepergian bus. "Jam pertama ada ulangan lagi. Apes banget," ucapku cemberut. Menggerutu.

Tiit, tiit!

"Ng?" Aku menoleh. Satu mobil piknik berhenti di depanku. Kepala Mangto menyembul dari jendela.

"Ketinggalan bus, Kapten?"

"Kalian semua..." Aku menghitung. Mereka lengkap. "Apa kalian mau bepergian? Kau tidak kerja, Mangto? Yang lain bagaimana, kalian tidak sekolah?"

"Apa itu sekolah." Northa menjawab dingin. Ya tempat menuntut ilmu lah, bodoh.

"Kami berencana ingin bersantai di danau, Kap. Sokeri cuti, tugasku digantikan sekretaris, Northa malas sekolah, Tobi punya masalah dan membolos, Hermit telat lantas enggan ke sekolah, Castle sih aku tidak tahu. Dia tutup mulut. Kalau Dien, dia tidak punya pasien."

Aku berdecak. "Nebeng dong. Aku ada ulangan pagi ini. Gawat kalau tidak datang. Buk Gurunya tidak memberi kompensasi."

"Hahaha. Aku kaget Kapten bisa bicara begitu." Mangto membukakan pintu, aku duduk di kursi depan.

Mobil pun bergerak ke jalan.

Untuk mengisi waktu, aku ikut-ikutan join ke topik obrolan. Sekadar berbasa-basi. "Ngomong-ngomong Tobi, ternyata kau bisa bolos. Di luar dugaan, ya."

Dia tertawa canggung. "Apa aku terlihat teladan? Tidak kok. Kapten salah menilai."

Aku mengangkat bahu.

"Kapten," Castle memanggil. "Soal tadi malam, Sembilan Benteng Woodzn tidak ditemukan di TKP. Kupikir mereka berhasil melarikan diri."

Dia dapat dari mana berita secepat itu? Aku curiga Castle meng-hack jaringan reserse. Anak ini sesekali harus ditegur.

Tobi menoleh ke Northa. "Apa tembakanmu tidak tepat sasaran, ya?"

"E-enak saja! Aku selalu akurat! Kau lihat sendiri gedung persembunyian mereka meledak. Itu berarti aku mengenai target! Mungkin Kapten lah yang salah memberi arah." Northa tidak terima, mengoper kesalahan padaku.

Hermit manyun. "Kau tidak mau mengalah sama anak-anak? Parah ah, Northa."

Mereka saling perang mata.

"Kapten~" Sokeri melebarkan kedua tangan, tersenyum lebar padaku. "Ayo sini sama Tante Sokeri. Aku mau pangku Kapten, Mangto. Gantian dong."

"Kalian pikir aku kucing hah!"

Lampu merah menyala. Di dalam mobil suasananya rileks. Hermit dan Castle asyik dengan permainan kartu di tablet—maklum lah remaja perempuan. Dien bersenandung mengetuk-ngetuk setir mobil. Sokeri memijat lengan Northa sambil terkekeh. Tobi melamun memandangi jalan raya.

Dipikir-pikir, aku tak pernah membayangkan akan berkumpul bersama anggota Marmoris. Clandestine yang mati-matian menyembunyikan identitasnya. Takdir itu lucu, ya.

Aku menopang dagu ke titian jendela mobil. Ternyata benar, menunda dan memendam itu tidak baik. Mereka menerimaku apa adanya.

Tersenyum kecil, aku menoleh ke luar, menatap jejalanan yang mulai ramai oleh penduduk. Aku menatap pengendara motor ninja di distro perbelanjaan.

Aku mengerjap. Lho, itu bukannya sepeda motor yang kulihat di rumah tadi?

Lampu hijau menyala. Perlahan mobil-mobil yang berhenti mulai melaju. Tukang ojek gesit merangsek di setiap jengkal celah. Mobil piknik yang kunaiki tiba di persimpangan.

Wajahku berubah serius. Apa ini?

Sebuah mobil hitam berkecepatan tinggi melesat di jalur kanan. Arahnya tepat ke mobil kami.

Aku tersentak bangkit, mengambil alih kemudi, menggenjot habis belokannya. Mobil piknik berkelok patah. Marmoris di dalam terbanting ke sisi kanan.

"DIEN, TANCAP GAS!" seruku merubah perslening ke gigi dua. Mobil hitam itu mengenai bodi garasi.

Mengerti apa yang terjadi, Dien menginjak pedal gas. Sempat kulihat pengendara motor ninja di pusat perbelanjaan bergegas mengejar. Sudah kuduga, mereka mata-mata!

"A-apa yang terjadi?" Northa panik. Castle dan Hermit pingsan terkena benturan sebab mereka duduk paling belakang.

"Woodzn menyerang!" seru Tobi mengkonfirmasi setelah melongok.

"Mangto, gantikan Dien mengemudi. Dien pindah ke belakang, cek keadaan Hermit dan Castle. Sokeri lindungi Tobi dan Northa. Kita harus bawa mereka jauh dari perkotaan hingga tidak ada korban celaka. Cepat bergerak!"

Marmoris secepat yang mereka bisa merubah posisi duduk. Mangto menambah kecepatan mobil, cekatan menghindari karena kami melewati jalur yang salah.

Aku menatap kaca spion, terbelalak. Gawat, pengendara sepeda motor akan menembakan sesuatu dengan crossbow! Itu pasti ranjau magnet. Mereka berniat meledakkan mobil kami.

"Mangto, dengarkan aba-abaku. Begitu kubilang sekarang, kau putar penuh setir mobil seperti yang kulakukan barusan dan pijak rem."

Northa menggeleng. Wajahnya pucat. "Tidak. Aku tidak kuat lagi, Kapten. Itu membuatku mual."

"Kau tahan mualmu itu. Yang mendesak sekarang adalah nyawa kita! Kau mau mati?" tajamku ketus, berhitung mundur dalam hati. Tanganku berpegangan pada plafon, tak sengaja melihat tiang beton guna menempelkan baliho tak jauh di depan.

Orang itu mengambil kuda-kuda membidik.

"Sekarang, Mangto!"

Untuk kedua kalinya mobil kami berputar ekstrem. Bedanya adalah yang tadi maju sekarang mundur. Orang itu kaget demi mobil di depannya mendekat hendak menabraknya.

"KAPTEN! APA YANG MAU KAU LAKUKAN? ITU BERBAHAYA!"

Aku tak mengindahkan, bergegas membuka pintu. Orang itu menghantam permukaan pintu, jatuh dari motornya, kemudian berguling-guling ke jalan tol. Tumbang satu. Tersisa dua pengejar. Sial! Tidak ada yang bisa kujadikan senjata lagi.

"Belok ke kiri, Mangto. Kita sembunyi!"

*

Sementara itu di sekolah, Buk Harpy masuk ke kelas, membuka buku absen. Beliau memanggil nama murid satu per satu dan berhenti pada nama 'Rorobon Ram'. Tidak ada yang menjawab.

"Ram tidak masuk? Apa dia terlambat?"

"Rasanya tidak deh, Buk. Pagar sudah dikunci dua puluh menit lalu. Murid-murid yang terlambat telah dihukum dan seharusnya hukumannya sudah selesai."

"Eh, maksudnya ketua kelas tidak datang? Tumben sekali. Aku yakin dia tahu hari ini ada repetisi."

Ideo bersiul senang. "Mungkin Ram malas sekolah, Buk, dan membolos. Dia sudah jenuh dengan pelajaran SD."

Buk Harpy menghela napas panjang, tidak menghiraukan ejekan Ideo. "Peraturan tetaplah peraturan. Sepertinya Ram tidak masuk karena berkendala. Dia bisa ikut susulan nanti. Nah anak-anak, atur meja dan kursi kalian. Kita mulai ulangannya."

Billy mendesah lemas. Menatap lesu kursi kosong di sebelahnya.

"Ram, kau di mana? Siapa penolongku kalau kau absen? Dasar jahat!"

***TBC***
Senin, 29 November 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro