33

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tilam didorong dengan tergesa ke UGD. "Luka tusukan di perut, Dok!"

Dien memakai sarung tangan, memeriksa bagian yang terluka. "Organ dan pembuluh darahnya baik-baik saja. Dinding abdomennya robek 15 senti. Kalian hanya perlu membersihkan dan menjahitnya."

Setelah detik-detik golden time berakhir, Dien disambut oleh tepuk tangan kagum rekan-rekannya beserta keluarga pasien.

"Terima kasih sudah menyelamatkan suamiku, Dokter Dien. Anda memang seorang malaikat penyelamat seperti yang dikatakan masyarakat."

"Pertahankan kinerjamu, Dien. Demi reputasi rumah sakit kita."

Howek! Howek! Dien masuk ke toilet, memuntahkan isi perutnya. Dia buru-buru membasuh muka, meminum pil penenang. Napasnya memburu.

"Kenapa? Kenapa mereka hanya mementingkan ego? Bagaimana denganku? Apa mereka tidak memikirkan perasaanku? Aku juga takut ... Aku takut jika tidak bisa menyelamatkan pasien-pasien itu ..."

"Dien... Hei, Dien!" Gemas tak direspon, Mangto menepuk bahu Dien. Pemilik nama tersentak, menoleh kikuk padanya. "Kenapa melamun? Apa kau tidak mendengar penjelasan Kapten?"

"Ah, maaf ... Aku kepikiran sesuatu."

Aku berkacak pinggang. Kalau tidak salah Dien seorang dokter, kan? Jangan-jangan dia kepikiran penyakit pasiennya. Tidak bisa dibiarin nih.

"Oi, kau kalau mikirin kerjaan, sana pergi dulu. Jangan kau acuhin pasienmu." Mama seketika mencubit pinggangku. Aku mengaduh. "Apa sih, Ma? Sakit ah."

"Bicara yang sopan." Mama melotot.

Aku mingkem, tersenyum bocah. "K-kalau Om Dien sibuk, silakan lanjutkan dulu pekerjaannya. Kita bisa membahas ini nanti malam."

Sokeri dan Hermit berusaha menahan tawa supaya tidak lepas. Aku menatap mereka sinis. Ya mau 'gimana lagi, aku terbiasa bicara formal dengan Marmoris. Bukan salahku dong.

"Terima kasih pengertiannya Kapten, namun tidak apa. Aku tidak sibuk. Aku cuti hari ini. Sampai mana bahasan kita?" kekeh Dien.

Aku mengembuskan napas panjang. Ini sering terjadi di game. "Baiklah, dengarkan aku baik-baik. Aku takkan mengulang lagi."

Mereka bertujuh termasuk Mama intens menyimak. Aku mengernyit. "Eh, Ma," kukibas tanganku sebagaimana gerakan mengusir. "Mama 'gak masuk hitungan. Pergi sana."

Sebuah jeweran datang tak diundang.

"Seperti yang kukatakan sebelumnya, kita akan menjebak Woodzn dengan mengarahkan mereka ke Gedung Filolion. Itu tugas kalian bertujuh. Sementara aku akan mengumpulkan bukti dan menyerahkannya pada pihak kepolisian secara diam-diam. Kebetulan polisi sedang mencari anggota Woodzn yang kabur dari sel."

"Tidak, Kapten. Itu berbahaya. Mereka bersembilan. Bagaimana kalau mereka membagi tim dan mengejarmu?" Castle tidak setuju. Akan lebih baik memanggil polisi untuk membantu.

Aku menepuk dahi. "Kalian bodoh, ya? Kalian gak mikir apa yang terjadi kalau kita menelepon polisi?"

Mereka menggeleng.

"Ingat Rapa? Dia hacker seperti Castle. Entah sudah berapa personalia di antara kita yang dia cari tahu, minta tolong polisi sama saja membantu Rapa menggenapkan informasinya tentang kehidupan RL kita. Kepolisian akan meminta alamat IP atau biodata jika ingin mengajukan sesuatu. Rapa semakin mudah melacak posisi kita dengan membajak data polisi. Itu hal easy bagi seorang hacker, meretas jaringan.

"Alasan aku memanggil polisi ketika insiden Kafe Ceibar adalah terlalu banyak warga. Aku tidak bisa melibatkan mereka terhadap masalah Marmoris. Lalu insiden di restoran, kuucapkan terima kasih pada Northa menyuruh para pengawai tidak membeberkannya dan menjadi rahasia internal. Kita tak boleh melapor pada polisi. Kita hanya mengumpulkan bukti dan serahkan pada mereka, lalu biarkan mereka mengurus sisanya. Paham tak?"

Mereka bertujuh diam.

"Aigoo! Kenapa kalian termenung? Jawab lah!" Aku membentak. Kesal lah, sudah bela-belain ngomong panjang, mereka malah diam saja. AkuMahApaTuh.

"Kapten ingin kami jawab apa? Kami hanya bisa bilang: Kapten pintar seperti biasa. Kapten pasti sudah bosan mendengar pujian sama berkali-kali."

"Nggak salah sih."

"Ngomong-ngomong Kapten, bagaimana dengan Klendestine? Apa yang akan kita lakukan padanya?" Hermit bertanya. Pertanyaan yang ingin kuhindari.

Klendestine, ya? Si penghasut yang memulai semua aksi teror ini. Dia memprovokasi Woodzn dan bersembunyi menikmati pertarungan. Orang seperti itu harus aku sendiri yang mengatasinya.

"Kalian tak usah merisaukan dia. Biar aku yang membereskan Klendestine."

"Eh, kau serius Kapten? Kau kenal dia?"

Aku menggeleng, mengambil jaket. "Belum, tapi aku akan tahu lambat laun. Eh dahlah, Aku sudah bilang nanti-nanti bahas Klendestine. Kita fokus dulu sama Woodzn. Kita urus satu-satu."

"Mau ke mana, Kapten?"

Aku menoleh sambil memakai jaket. "Kudengar ada pasar malam. Aku mau lihat-lihat pembukaannya. Mana tahu diberi karcis gratis. Di saat begini umurku berguna."

"Benarkah?" Dien menyipit.

"Ya tidak lah. Mana mau aku menghabiskan waktu ke tempat kumpulan bocil." Aku memutar mata. Mereka tidak mengerti aku sedang nyarkas.

"Kau kan anak-anak, Kapten ..."

"Heh." Aku menatap sengit.

Mangto mengernyit. "Ada apa denganmu sih, Kapten? Kenapa tidak mau dipanggil demikian? Perhatikan dirimu. Kau ini anak kecil. Aku punya kesabaran juga meladeni sikapmu."

Yang lain tampak memihak Mangto.

"Apa? Kalian mau protes apa, huh?" sahutku masam. "Aku pernah mengingatkan kalian, aku sudah bukan anak-anak lagi-"

Mama menyodorkan sepotong kue mini ke depanku. "Mau kue ikan?"

"MAU! MAU! MAU! Berikan itu pada Ram! Mama, Ram mau itu! Berikan! MAMA!" Aku merengek, menarik-narik rok Mama.

Mama membungkuk, menyerahkan roti tersebut. Aku melompat senang, langsung melahapnya dalam sekali telan.

Kemudian Mama menatap datar Marmoris. "Nah, kalian lihat? Gampang kok membuat jiwa bocah-nya keluar," kata beliau sembari kibas rambut. Menunjukkan akan betapa profesionalnya dirinya.

Mereka bertujuh cengo.

-

Aku sampai di hotel Chabot, mendongak menatap gedung itu, spanduk 'dalam tahap pengerjaan' terbentang. Alat-alat konstruksi berbaris di bawahnya—para pekerjanya menunda pembangunan karena pandemi.

Aku menghela napas panjang. Rasanya aku berdosa banget memporak-porandakan pra-hotel ini demi kepentinganku... Ralat! Kepentingan Marmoris maksudku. Enak saja aku nanggung semuanya.

Tetapi, aku tak boleh tanggung-tanggung dalam rencana ini. Jika mau mengakhiri aksi Woodzn sepenuhnya, aku harus totalitas.

Jadi, siapa pun direksi hotel, tolong maafkan dan maklumi perbuatanku. Lagian Northa, si pangeran kaya, akan mengganti rugi perbaikan. Jangan lupa minta tagihannya pada Northa, ya! Hehehe.

"Ternyata menjadi seorang ketua guild ada faedahnya juga. Ini menyenangkan."

Kulirik ke sekitar, hanya penduduk yang sibuk. Yosh, tidak ada yang memperhatikan. Aku memajukan topi guna menggunakan wajah. Ranselku mengeluarkan bunyi berisik, suara benda yang saling bergesekan.

Tadi rencana Marmoris. Kini rencanaku. []


Sabtu, 15 januari 2022.




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro