34

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kapten ..."

Aku menoleh, berhenti membolak-balik atlas. "Tobi, huh? Ada apa?" Tak biasa-biasanya Tobi angkat suara. Mana empat mata lagi.

"Aku punya rencana. Kapten bisa menjadikannya rencana cadangan. Itu pun kalau Kapten tertarik mendengarkan."

"Oh, ya? Apa itu?"

"Aku tak bisa tenang setelah Kapten mengatakan tidak ingin melibatkan polisi. Aku khawatir jika terjadi sesuatu di luar prediksimu, Kapten."

"Aku sudah bilang alasannya."

"Coba pikirkan lagi, Kapten. Bukankah tidak bijak mengatasi masalah sebesar ini tanpa tenaga bantuan?" Tobi mendesah.

"Itu keputusan bulat, Tobi. Aku takkan minta bantuan polisi, apa pun yang terjadi."

"Kenapa Kapten sangat bersikeras?"

Aku diam sejenak. Sebenarnya aku punya banyak rencana. Misalnya memakai personalitas palsu atau menyuruh Castle melindungi jaringan kepolisian hingga Rapa tak meretasnya. Aku pun juga menyadari Rapa sudah tahu latar belakang member Marmoris, berharap pada peluang kosong Rapa belum memulai pencarian data kehidupan kami—itu tidak mungkin. Woodzn tidak boleh kuremehkan.

Melibatkan polisi ke dalam permainan hanya akan merusak rencanaku. Mereka bisa membantu di akhir game. Lagi pula aku masih punya dua alasan.

Alasan pertama. Aku bisa saja menyerahkan masalah ini pada polisi lalu angkat tangan, melanjutkan kehidupanku sebagai Rorobon Ram dan meninggalkan kehidupan Clandestine. Siapa juga yang mau mengorbankan pendidikan demi game apalagi kalau tipe ambisi sepertiku.

Akan tetapi, hal itu bisa mengakhiri cerita ini tanpa adanya "event" menarik. Sebuah kisah yang diakhiri narasi monoton. Apa gunanya semua perjuanganku menyembunyikan identitas "Clandestine" dari awal kalau ujung-ujungnya tamat dengan hambar?! Apa gunanya genre cerita ini "Action"?! Harusnya "Minor Action"!

Tak mau. Aku tak mau ending buruk begitu. Aku mau akhir yang fantastis. Atau tidak aku akan berhenti jadi MC dan pensiun!

Tunggu. Aku menarik napas panjang, mengembuskannya pelan-pelan. Kenapa aku tiba-tiba OOC? Balik ke topik!

Alasan kedua. Orang ini. Tobi sang EOD.

"Jika memanggil polisi, bukankah itu artinya aku menyakitimu secara tidak langsung? Kenapa aku lebih percaya mereka daripada anggotaku sendiri," kataku tersenyum bocah.

Di antara mereka bertujuh, anak ini lah yang paling pendiam. Tobi di sosmed amat berbeda dari real-life. Abang ini wajahnya terlihat kesepian.

Gantian Tobi yang diam. "A-apa maksudmu, Kapten? Kau tidak menyakiti siapa pun."

"Aku sudah merencanakannya dari awal, bukan semata-mata malas menghubungi kepolisian." Aku bersenandung, memutari Tobi dengan tatapan menggoda. Alisku naik-turun. "Kau pikir aku tidak tahu kau menyimpan sesuatu?"

"A-aku tidak mengerti, Kapten. Bisakah kau berhenti menatapku seperti itu? Kau membuatku tidak nyaman."

Senyum nakalku makin melebar. "Bahumu terlihat kecil, namun lengan bawahmu kekar. Postur tubuhmu berisi, namun tidak berlebihan. Pengendalian otot yang menakjubkan. Coba kutebak, Kak Tobi pasti sering olahraga, ya~?"

Wajah Tobi memerah. Tidak bisa mengelak.

"Ahahaha!" Aku tertawa kencang, memukul-mukul lantai. Astaga, aku tidak kuat. Ekspresinya lucu sekali! Menjahili seseorang rupanya menyenangkan.

Tobi memberengut sebal. "Memang bocah lah kau, Kap. Dasar nakal."

"Aku bercanda...," kataku di sela tawa, mengelap air di ujung mata. "Jangan merajuk dong."

Tobi membungkuk ke depanku. Aku berhenti tertawa, menatapnya intens. "Apa?" Dia menunjuk. Aku mengernyit. Memangnya kenapa dengan tubuhku... Eh? Apa ini? Pakaianku menggembung. Begitu Tobi menjentikkan jari, lima ekor merpati keluar dari bajuku. "Wah! Kau bisa sulap?!" kataku menggebu-gebu.

"Menurutmu?" Tobi tersenyum jahil.

"Lagi dong! Lagi dong!"

Tobi mengeluarkan sebuah koin dari kantong celana. Selagi aku sibuk memperhatikan gerak-geriknya dengan antusias, Dien dan Northa datang. Mereka sepertinya baru selesai bekerja/sekolah (mereka pikir rumah baruku tempat tongkrongan Marmoris apa).

"Eh, itu Kapten sama Tobi ngapain? Wow! Kapten sampai berbinar-binar."

Tobi menyentuh telingaku seolah melakukan gerakan memetik. Mataku melotot melihat koin itu berubah jadi setangkai mawar segar.

"Ba-bagaimana cara kau melakukannya? Lagi! Lagi! Lagi!" seruku ketagihan.

"Ini yang terakhir." Tobi memetik kelopak bunga, mengatupkan telapak tangan, kemudian menyodorkan kepal tinjunya ke depanku. Simsalabim! Ketika Tobi membuka kembali tangan, mawar segar digantikan roti ikan, memberikannya padaku.

"Terima kasih, Tobi. Ya ampun, aku tidak tahu kau jago sulap. Itu menghibur sekali."

Tobi terkekeh, menggaruk kepala. "Tidak sejago itu kok. Aku hanya iseng mempelajarinya ketika waktu luang." Setidaknya itu yang bisa kulakukan di kelas, lanjutnya dalam hati.

Kenapa ini? Wajahnya mendadak murung.

"Hei, Tobi!" Aku mengeluarkan sekotak kartu, tersenyum menantang. "Mau main poker?"

"Boleh." Tobi mengangguk.

-

Dua jam kemudian.

Northa terperangah. Dien mengerjap. Bagi mereka ini pertarungan yang sulit. Mereka ikut tegang padahal hanya menonton.

"Royal Flush." Tobi berkata.

Aku mendesah panjang. "Kau menang."

"Tak mungkin!" Northa spontan berseru. Ekspresi Dien tak jauh kalah takjub. "T-Tobi berhasil mengalahkan Kapten? Sudah begitu menang dua kali ..."

Ini ronde ketiga, dan aku hanya menang di putaran pertama. Selain itu, Tobi mendapatkan kombinasi yang tinggi. Royal Flush dan Full House. Aku hanya bisa meraih Four of a Kind.

"Kok bisa?" Dien tampak syok. "Kapten, kau tidak bisa main poker, ya?"

Aku menggeleng. "Bukan, aku menguasainya. Hanya saja Tobi yang cerdik."

"Tidak, tidak. Aku hanya beruntung."

"Eh, jangan merendah dong!" Northa menjitak kepala Tobi. "Kau baru saja mengalahkan Kapten, harusnya kau bangga! Terhitung jari yang bisa mengalahkan dia."

"Northa benar, Tob. Kau mengalahkanku karena usaha bukan kecurangan. Aku mengakuinya lho," kataku mengangkat bahu.

"Ya sudahlah." Tobi bersungut-sungut.

"Ng? Tanganmu kenapa, Di?" tanyaku menyipit melihat punggung tangan Dien dibebat.

"Ah, ini? Kesalahan dokter magang. Dia menusukku karena salah mengambil pisau bedah dan pinset anatomis." Dien terkekeh. Setidaknya bukan luka serius.

"Kau pasti sibuk. Matamu kayak panda tuh. Semalam begadang, kan?"

"Iya. Pasien KLL (kecelakaan lalu lintas). Tiga belas orang mengalami luka berat dan harus dioperasi malam tadi." Dien berbaring.

"Wah, pasti kau kelelahan. Kenapa tidak istirahat saja di rumah?"

"Di sini lebih nyaman."

"Heleh, bilang saja mager ke rumah. Kalau tidak salah rumahmu jauh dari rumah sakit."

"Nah, itu tahu. Aku tidak bawa mobil. Lagian aku tidak tahu, jangan-jangan Woodzn sudah membobol rumahku. Lebih aman di sini, kan?" Dien kedip-kedip kepadaku.

"Apa, hah? Mau kucolok?" tajamku sinis.

Yah, aku tidak akan komplain. Sepertinya kehidupan RL member Marmoris tidak sebagus yang kukira.

"Btw, Kap, bagaimana dengan pergerakan Woodzn? Mereka sudah menunjukkan tanda-tanda penyerangan?" Dien bertanya.

Entahlah, sejauh ini Woodzn tidak mengacau. Ini aneh, ini ganjil, ini mencurigakan. Suasana yang tenang namun tegang membuatku gelisah. Apa mereka sedang menyiapkan sesuatu?

Brak! Pintu depan didobrak, menampilkan Castle sambil memegang laptop. "KAPTEN!"

"Astaga, Castle! Kami terkejut!"

"Ini darurat!" teriaknya cemas.

"Hmm? Ada apa?" Aku beranjak bangkit.

"Mangto dan Sokeri ditangkap Woodzn."




Senin, 17 januari 2022


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro