35

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

INI SUNGGUH MEMBUATKU GILA!

"Kenapa Mangto dan Sokeri bisa tertangkap? Apa yang sebenarnya mereka lakukan?!" Ah, tidak bisa. Kepalaku pusing. Baru beberapa detik lalu Tobi menghiburku dengan pertunjukan sulap, sekarang masalah datang. Woodzn sialan, mereka berhasil menculik anggotaku.

"Tenanglah dulu, Kapten. Tensimu bisa naik."

"BAGAIMANA BISA KAU MENYURUHKU TENANG SEMENTARA MANGTO DAN SOKERI DISANDERA? Tidak. Tidak bisa. Mustahil. Aku tak bisa tenang. Aku tak dapat melakukannya. Emosiku sekarang hanya menyediakan amarah." Aku menggelengkan kepala, mengibaskan tangan, mondar-mandir. Orang-orang bisa mengira aku cacing kepanasan.

"Aku berspekulasi bahwa mereka mengincar orang dewasa di Marmoris, Kapten," kata Castle mengelus dagu. "Mungkin bagi mereka Marmoris hanya perkumpulan bocah jika tidak ada orang-orang dewasa di dalamnya. Mereka ingin menggoyahkan psikologi kita."

Semua pasang mata di ruang tamu serentak menoleh ke Dien yang refleks tersentak (kecuali aku). "K-kenapa kalian menatapku seperti itu?"

Hermit memegang bahu Dien, menatap lekat-lekat ke iris matanya. "Kau orang dewasa yang tersisa di kelompok kita, Dien. Tolong jangan sampai diculik!"

Brak! Aku memukul meja mengejutkan mereka semua. Brengsek kau, Flamehale! Berani-beraninya kau menantang Clandestine. Aku takkan memaafkanmu. Sial, ini menyebalkan. Rasanya emosiku meluap-luap.

"K-Kapten!"

Aku menoleh masam ke Castle.

"Woodzn melakukan panggilan suara!" Tanpa berpikir dua kali, langsung kusambar laptopnya. Castle terkesiap melihatku menerima panggilan tersebut. "Tunggu, Kapten! Aku belum mengaktifkan alat perubahan suara—"

"FLAMEHALE!" seruku marah, mengabaikan peringatan Castle. Aku tak peduli, otakku sedang tak berpikir jernih. "Di mana mereka, hah? Di mana Mangto dan Sokeri?!"

"Hahaha! Aku menyukai kemarahanmu, Clandestine. Itu yang kuinginkan. Clandestine yang putus asa anggotanya berada dalam bahaya. Apa kau membenciku, hmm?"

Dia tertawa? Hah ... menguji kesabaranku.

"Jika mereka terluka barang sedikit saja, aku akan membunuhmu, mengeluarkan semua organmu dan memajangnya ke museum. Merontokkan semua gigimu dan menjadikannya kalung antik."

"Kalau begitu, datanglah padaku. Aku tak sabar Clandestine yang agung akan melumuri tangannya dengan darah demi menyelamatkan membernya. Aku menantikanmu, Clandestine."

"Menyebalkan. Kau benar-benar manusia keparat yang membuatku ingin menghajarmu sampai mampus."

"Justru itulah yang kumau. Aku sudah jenuh dengan permainan biasa. Aku ingin permainan yang membuatku merasa tegang dan bergairah."

"Jangan khawatir, aku pastikan ini takkan berakhir begitu saja setelah aku menangkapmu. Aku akan mencongkel kedua matamu dengan obeng dan memberikannya pada anjing sebagai cemilan, lantas bermain lompat tali dengan ususmu. Aku harap kau bisa puas."

Kututup laptop tersebut, menarik sejumlah oksigen sekaligus, mengembuskannya perlahan. Wajahku panas hendak meledak.

"Kap—" Tobi meletakkan telunjuk ke bibir secara halus, menyuruh Hermit diam.

Brak! Aku mengangkat meja hingga benda petak itu terbalik. Tobi nyaris mengumpat karena terkejut. Begitu pula yang lain.

"Hah, dasar pria ***. Apa ini film? Lebih baik potong saja **** dan berhenti jadi laki-laki. Atau sumbangkan **** pada rumah sakit bedah anatomi. Mereka mengancam dengan sandera, memangnya **** ***? Ah, aku kesal. Kalau aku ketemu dengannya, aku akan memotong **** *** **** hingga dia *** **** lagi. Awas saja kalian. Salah besar membuat Clandestine marah."

Lima member Marmoris speechless mendengar berbagai umpatan lolos dari mulutku dan disensor.

"APA?!" Mereka berlima beralih menatap Nyonya Rorobon yang menggelembung marah. Tangannya memegang gagang telepon. "Jangan bercanda denganku, ****. Apa kau bosan hidup? Aku sudah memperingatimu **** jangan ganggu aku dan anakku. Kalau kau meneleponku sekali lagi, **** akan **** sampai hancur! "

Ah, buah tak jatuh jauh dari pohonnya.

Northa mengernyit melihatku menyandeng tas. "Kapten, kau mau ke mana?"

"Masih bertanya? Kita akan menyelamatkan Mangto dan Sokeri," jawabku datar, memasukkan semua perkakas yang bisa kubutuhkan. "Ini waktunya berperang. Kita lakukan sesuai rencana. Castle, kau dapat posisinya?"

"Ya, aku melacaknya. Mereka berada di Gedung Filolion. Eh? Kenapa Woodzn di sini?"

Marmoris terdiam. Apa ini jebakan? Mengapa mereka persis berada di lokasi yang diinginkan? Jebakan yang kentara. Semua orang tahu posisi Woodzn saat ini merupakan perangkap.

Aku diam-diam tersenyum misterius.

"Mama akan ikut, Ram."

"Apa?" Aku refleks menggeleng. "Tidak, Ma. Ini berbahaya. Kita melawan sembilan orang idiot yang tak terima kekalahan."

"Maka dari itu Mama ikut. Kalian kekurangan tenaga. Mama tidak mau kau terluka, Ram."

Aku termangu. Kenangan masa kecil melintas tanpa permisi. Saat dimana seorang pria mencoba melukaiku, lalu tiba-tiba pandanganku berubah jadi warna merah.

Aku menggelengkan kepala, mengusir lamunan. Mengingatnya hanya membuat bulu roma berdiri. "Pokoknya Mama tidak boleh ikut. Ram bisa mengurus ini bersama mereka. Ini masalah Ram, ah ralat, ini masalah Marmoris."

"Sekali tidak ya tidak. Mama ikut. Hanya kau satu-satunya yang Mama punya, Ram. Mama bisa gila kalau orang-orang itu mencelakaimu."

Keras kepala banget sih. Aku mengembuskan napas, tersenyum. "Kalau begitu tolong ambilkan drone di kamar Ram."

"Siap, Kapten Kecil."

Begitu sampai di lantai atas, dengan sengaja kudorong Mama ke dalam dan mengunci pintu. Aku sudah menyiapkan barang-barang "perang" ke tas. Tidak mungkin aku lupa memasukkannya.

"RAM! BUKA PINTU INI!"

"Tidak akan. Mama tunggu di rumah sampai Ram pulang. Ram akan baik-baik saja, Mama tak usah khawatir." Aku tidak tenang kalau Mama ikut. Karena pintu kamarku terbuat dari besi (atas permintaanku), Mama takkan bisa menghancurkannya.

"RAM, TUNGGU!"

Aku tergesa-gesa ke bawah. "Ayo pergi."

"K-kapten, kau serius melakukan ini? Ibumu bisa marah dikurung begitu." Dien panik mendengar hentakan suara dari lantai atas. Sepertinya Mama sedang mencoba mendobrak pintunya.

"Biarkan saja." Aku menjawab datar.

"Biarkan? Kapten, kau tidak bisa begini. Tante sudah baik dengan kami, menyambut Marmoris dengan hangat. Kami jadi tidak enak kalau—"

"Aku ... takut kalau beliau tak bisa mengendalikan marahnya." Aku menyela. Ingatan samar ketika aku berusia dua tahun masih melekat. "Sampai sekarang, aku tidak tahu pekerjaan beliau. Jadi tak ada salahnya kan berwaspada. Ini demi kebaikan Mamaku juga."

"Benarkah? Kenapa Kapten tidak tahu pekerjaan Ibumu sendiri?" Hermit mengernyit.

"Tiap individu mempunyai privasi dan rahasia yang tak ingin diketahui siapa pun, termasuk para orangtua. Seperti apa mereka di masa lalu, kejahatan yang mereka perbuat, mereka tidak ingin sang anak mengetahui sisi gelapnya. Daripada aku membuat Mama terluka, akan lebih baik aku pura-pura tak tahu."

Mereka bersitatap sendu.

"Ck! Kenapa atmosfernya jadi sedih sih? Sigap lah, Marmoris! Kita akan menuju arena pertempuran. Mana semangat bertarung kalian? Aku tak ingat Marmoris tak kompak dalam permainan. Mungkinkah karena ini peperangan di dunia nyata mental kalian melemah?"

"Heh! Enak saja kau, Kapten! Siapa yang tak semangat, hah?! Kami 100% dalam kondisi membara!"

Aku menyeringai. "Baguslah. Aku tidak menginginkan player bocah ngendok. Kuulangi, kita akan melakukannya sesuai rencana. Dan kau Dien, jangan bertindak sendiri. Paling tidak kau harus dekat-dekat dengan partnermu nanti. Woodzn mengincarmu."

Dien mengangguk serius. "Aku paham."

"Oke. Mari kita berangkat!" []



N.B. Yosh, ayo kita fokus tamatkan Marmoris.




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro