14/21

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Anu, Kak..." Alvin menegur Dinda. Perasaannya tidak enak sedari mereka mengusai TKP—oke, kiasan ini terlalu lebay. Maksudnya, lapangan.

"Tidak sekarang, Alvin. Ayo fokus mencari. Pasti ada barang Apo yang tertinggal atau apalah yang bisa mengatasi kebuntuan kita."

"Tapi..." Tatapannya jatuh ke balik tembok, menelan ludah. Dia merasakan ada seseorang atau mungkin dua orang, tengah mengawasi kegiatan mereka. Apa hanya firasatnya saja? Tidak. Alvin yakin ada yang memperhatikan.

Sementara itu, Ravin berhenti menyerakkan isi tong nan gosong, mendesah pelan.

Rasanya ini hanya membuang waktu. Takkan ada habisnya. Mana ada sesuatu yang boleh jadi petunjuk di tempat ini? Polisi kan sudah mengambil senjata-senjata yang 'mereka' pakai dalam tawuran itu. Yang tersisa hanya bekas.

Kalau tidak salah malam itu... Ravin tenggelam dalam ingatannya, memutar memori di Judasa.

Di antara tumpukan petarung yang pingsan dan tergolek di tanah, terdapat seorang anak berseragam SMP membabi buta rombongan petarung lain yang berdatangan ke lapangan itu. Dia menggunakan semua benda yang bisa dijadikan sebagai senjata. Pemukul bola kasti, rantai, balok kayu, bahkan pipa besi...

"Bagaimana kalau Apo terluka di perkelahian ganas itu? 100 orang jumlahnya banyak."

Perkataan Alvin benar. Tak mungkin Apo tak terluka melawan orang sebanyak itu. Apalagi mereka terus berdatangan menyerangnya.

Kalau begitu, pasti ada jejak darah!

Ravin pun mengangkat tong gosong itu, terbelalak. Gotcha! Ada empat noda atau sebut saja bercak berwarna hitam di tanah.

"Duh, gerahnya."

Belle melirik Alvin yang sudah berhenti overthinking dan kini malah mengeluh karena cuaca. Dia melipat tangan ke dada. "Sudah tahu panas, kenapa tidak mau lepas jaket?"

"Benar juga. Alvin selalu memakai jaket. Apa kau punya riwayat sampu pening?"

"Tidak, tidak! I-ini fashion sense-ku. Nanti kalau jatuh, seragam sekolahku terlindungi." Alvin menjelaskan sambil cengengesan.

"Ada-ada saja." Dinda menggelengkan kepala, teringat temannya yang selalu pakai kacamata tak berlensa. "Ng?" Tangannya yang asyik meraba tanah, mendapatkan sebuah benda mungil. "Apa ini?" Dinda mengangkat benda itu.

Sebuah lonceng kecil.

Deg! Alvin berkeringat dingin. "I-itu! Aku tahu benda itu! Aku ingat rumor lainnya tentang Apo. Katanya, dia selalu memakai gelang merah dengan bel mini sebagai gantungannya."

Belle, Kimoon, dan Dinda saling tatap. Melotot.

"Berarti ada sidik jari Apo dong?!"

"Hei, aku menemukannya." Ravin memanggil.

Mereka saling menoleh ke Ravin yang jongkok sembari menyengir puas ke tanah berpasir. Apa yang dia temukan di bagiannya? Mau tak mau, mereka pun segera menghampiri Ravin.

"Apa ini? Noda hitam?" kata Alvin polos.

"Serius, Alvin? Ini memang terlihat seperti bercak hitam biasa, namun kita takkan pernah tahu apa ini sebenarnya jika kita tidak memeriksanya dengan baik. Kerja bagus, Ravin. Aku yakin noda ini adalah jejak darah." Dinda mengacungkan jempol pada empunya nama.

"Bagaimana cara kita memastikannya?"

"Sebentar, aku bawa sesuatu di sini." Dinda mengeluarkan sebuah benda petak seperti testpack kehamilan. "Nah, kita bisa memakai FOB untuk mengetahui bercak apa ini."

[Note: FOB (Fecal Occult Blood), alat tes kesehatan/alat tes darah samar feses.]

Mereka menunggu sejenak.

"BINGO! Alatnya bereaksi! Sudah kuduga, ini betulan bekas darah seseorang." Dinda mengambil tisu, mengelap noda tersebut, kemudian menyegelnya ke dalam plastik yang kerap digunakan polisi untuk menyimpan bukti.

"Itu pasti darah Apocalypse," cetus Ravin.

"Huh? Kenapa kau bisa tahu?"

"Karena aku melihatnya malam itu. Dia berdiri di sini, memegang pipa yang berdarah. Aku pikir dia berhasil dipukul dan terluka."

Dinda berdiri. "Jadi... Kau sungguh bukan Apo?"

-




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro