21/21

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

APOCALYPSE PoV

Aku menutup pintu depan, termenung sesaat. Sekitar satu menit kemudian, aku tersenyum dan beralih melepaskan sepatu. Tak lupa mengetuk saklar guna menyalakan lampu.

Orangtuaku masih belum pulang di jam segini. Biasanya mereka pulang saat aku sudah tidur. Kakakku juga punya shift malam.

Aku berjalan santai ke dapur, hendak mengambil air dingin di kulkas. Tapi mataku menatap sebuah memo tertempel.

Kakak pulang telat hari ini. Mama sama Papa lembur. Makan malammu tinggal panaskan.

Yah, tidak dipanaskan pun tidak apa-apa. Aku sudah makan di luar. Perutku kenyang. Biar kakak saja yang memakannya nanti.

Aku mengambil sebotol air, menutup kulkas, dan beranjak naik ke kamarku di lantai dua.

Setibanya, aku segera melepaskan jaket yang membuatku kepanasan dan gerah sedari tadi. Jika ingin mengemban janji dan tak mau ketahuan, aku harus memakainya setiap hari.

Bosan karena termenung lagi, aku pun mengeluarkan ponsel, menelepon seseorang. Hehehe, anak ini selalu fast respon.

[Kenapa memanggilku?]

"Hai, Davin. Jangan sok dingin 'gitu dong. Memangnya aku tak boleh menelepon teman sendiri? Ah, atau lebih tepatnya mantan rival? Hahaha! Aku hanya mau tanya kabarmu kok. Gimana kondisi paru-parumu? Baik?"

[Jangan bertele-tele dan beritahu saja keperluanmu. Kau pikir aku lupa tabiatmu?]

"Astaga. Makin lama kau makin mirip sama Om Giloya. Bagaimana kabar beliau? Apa dia masih sama jomblonya? Dasar gunung es!"

[Baiklah. Kututup teleponnya—]

"Tunggu, hei! Oke! Oke! Dasar kau ini. Aku sedang menyiapkan mental tau."

Fuh. Tarik napas, buang. Aku sudah siap.

"Sebelumnya aku mau minta maaf padamu. Sepertinya sekelompok orang tahu tentang dirimu. Aku tak bisa mencegahnya."

[Tidak apa. Aku sudah jauh sekarang.]

"Tapi masalahnya, mereka sepertinya salah paham sesuatu deh. Aku juga secara tidak sengaja malah berlindung di balik namamu."

[Apa pun yang terjadi di sana, bukan urusanku lagi, oke? Mereka takkan mau repot-repot kemari hanya untuk menantang duel satu vs satu denganku. Jika kau juga tidak mau berakhir sepertiku, maka lindungi baik-baik identitasmu. Bye. Paman pulang.]

"Hei, hei, sebentar Davin!"

Tut. Tut. Tut.

"Argh! Si kampret itu mematikannya! Cih, anak itu selalu saja mengabaikan hal lain kalau sudah bersangkutan dengan Om Giloya. Dasar paman dan keponakan bucin!"

Aku kembali termenung. Teringat rumor hangat di SMA Binar Emas. Tersenyum miring.

"Apocalypse ada dua katanya, huh?"

-

Flashback, 3 desember 2022.

Jujur saja, aku dan Davin tidak begitu dekat. Davin itu kuat. Dia telah diajari oleh Om Giloya yang merupakan seorang CEO Hotel dan Pengawal di Hotel berbeda. Agak lain memang. Jadi penjaga di hotel asing padahal juga berprofesi sebagai ceo hotel. Tapi karena itulah sumber keuangan mengalir.

Dan kebetulan aku sama Davin sama-sama suka dengan bidang medis. Dia katanya untuk referensi. Aku sih buat main-main aja.

Lalu malam itu, aku sudah berjanji akan memulangkan buku Davin yang kupinjam.

"Ck, di mana anak itu?" Aku menoleh ke sana-sini, berkacak pinggang. "Padahal katanya sudah dekat. Banyak nyamuk tau!"

Davin pertama kali ke rumahku. Apa dia tersesat? Tidak mungkin. Dia kan pintar.

Ketika aku sekali lagi menoleh, seseorang yang tergesa-gesa tak melihat jalan dan menabrakku. Aku begitu kaget melihat badannya penuh luka. Wajahnya lebam.

"H-hei, kau baik-baik saja? Apa yang—"

"Kau!" Dia memegang kedua lenganku. Gemetar. "Jangan pernah ke Jln Apocalypse. Kami berpikir orang itu adalah bagian dari petarung, tapi ternyata dia memakai celana biru SMP. Dia menghabisi semua orang."

Aku seketika ngeh maksud tuturannya.

Kucengkram lehernya. Menatap marah. "BRENGSEK! Berani-beraninya kalian mengeroyok siswa SMP. Aish! Bedebah!"

Aku tak punya waktu berlama-lama di sini. Langsung saja aku tancap gas ke tempat yang dia maksud. Sesampainya, aku merasa ngeri dengan pemandangan di lapangan itu.

Banyak sekali peserta tawuran yang tergolek di tanah. Babak belur. Patah tulang. Pingsan.

Masa sih Davin yang melakukannya?

"AARGHH!! UWAAAHHH!!!"

Suara teriakan terdengar lamat-lamat. Pergi dari sana, aku melesat ke tempat satunya. Tetangga dari jalan Apocalypse: Judasa.

Tebakanku tidak salah. Davin benar-benar menghajar orang-orang itu. Sebagian petarung sudah terjatuh kalah. Sial! Anak itu masih saja punya tenaga buat berkelahi?! Sudah kuduga, dia mirip sama pamannya!

Mataku terbelalak melihat seseorang mengendap membawa pentungan besi.

"DAVIN! AWAS DI BELAKANGMU!"

Bruak! Peringatan yang sia-sia. Benda tumpul yang sosok itu pegang mengenai tepat dadanya. Kaki Davin goyah, luruh ke tanah. Dia berniat memukul sekali lagi.

Tep! Aku menangkap pukulannya. Tangan kananku terkepal kuat. "BRENGSEK!"

Duk! Dia terbanting oleh tinjuku. Walau wujudku seperti ini, aku sudah sering bergulat dengan Davin di sekolah. Alias aku juga seorang petarung seperti Davin.

"Davin! Kau baik-baik saja—"

Dia menjawab dengan muntah darah.

"D-dadaku... Sakit sekali..."

"Bertahanlah! Aku akan menelepon Om—"

Kalimatku terpotong untuk kali kedua demi melihat rombongan baru datang ke arena. Belasan, tidak puluhan. Masing-masing mereka memakai seragam SMA yang berbeda.

Aku menggigit bibir, perlahan bangkit.

Brengsek. Kenapa ini bisa terjadi? Aku kan cuman mau memulangkan buku. Davin kan ke sini cuma mau mengambil bukunya. Kenapa bisa berakhir seperti ini?! Anak SMA sialan!

"MAJU KALIAN, CECUNGUK BEDEBAH!"

-

Gricing! Gricing

Aku menopang dagu, menggoyang-goyangkan gelang merah agar lonceng kecil itu berbunyi. Menatap wajah sendiri di cermin.

Ini bukan milik Davin. Punyanya sapu tangan merah yang dililitkan menjadi gelang tanpa mainan bel. Aku memasang bel pada gelangku karena aku suka suaranya.

Aku membeli lonceng baru karena kehilangan lonceng yang lama. Tak kusangka jatuh di sana. Yah, aku juga tak menggunakannya lagi. Biarlah Klub Missing yang menyimpannya.

Meski karena benda ini semua orang di Klub Missing dalam bahaya, aku tetap tak bisa meninggalkannya di rumah atau di tas.

Ini benda petaka yang bisa membawaku ke bahaya. Tapi lucunya aku malah menganggap gelang dengan lonceng sebagai jimat keberuntungan. Mungkin karena aku sudah terbiasa memakainya dan terasa ganjil kalau tidak ada sesuatu di pergelangan tanganku.

Aku sebenarnya trauma saat Davin dipukul tepat di depan mataku. Aku begitu lemah dan tak berdaya, tak bisa menolong rivalku. Maka dari itu aku berjanji pada diri sendiri. Agar insiden Davin tak terulang lagi, aku tak boleh membuat sedikit pun onar.

Awalnya aku khawatir Klub Missing tahu kebenarannya. Aku juga sempat khawatir Davin akan marah. Tapi syukurlah, Davin tak keberatan aku mengarahkan alurnya ke dia.

Di bangku SMA ini, aku akan menjadi remaja normal yang menjauhi kekerasan.

-





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro