20/21

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

RSU Fandala Fonata.

"Sebenarnya aku tidak boleh melakukan ini. Tapi karena kau teman Jeremy Bari dan orangtua anak itu menyokong rumah sakit. Aku tak punya pilihan. Dasar! Tidak di Amerika, tidak di Indonesia, permainan detektif-detektifan lagi trending hah?"

"Terima kasih!" Dinda hanya mengembangkan senyuman manis plus seringaian senang punya kekuatan orang dalam. Ada untungnya berteman dengan Jeremy. Bisa digunakan di saat-saat penting seperti sekarang.

"Tunggulah di luar. Aku akan memberikan hasilnya pada perawat," ucap beliau.

"Okie-dokie!" Dinda mengangguk, mengajak yang lain keluar dari ruangan dan duduk di lorong. Mereka pelanga-pelongo ternyata Dinda punya kenalan seorang dokter.

Lengang di antara mereka.

"Kau tidak pernah memberitahu kami." Belle bersedekap masam. "Kukira kita teman."

"Lah, kalian kan tidak pernah bertanya."

"Betul juga sih." Belle cengengesan sendiri.

"K-kalau tidak salah Jeremy Bari itu salah satu anggota klub detektif yang lagi famous di Amerika, kan?" Alvin menoleh ke Ravin.

"Yeah. Nama mereka sudah tenar sampai kemari. Berita mengatakan ketua klub mereka, detektif monster bernama Watson Dan, sedang koma saat menangkap pembunuh berantai di Desa Stupido. Kasihan dia."

"Kasihan sih, tapi dia keren." Mata Kimoon berbinar-binar seakan disirami cahaya ilahi. "Semoga kau cepat sadar, Watson Dan-ku!"

Ravin mendesah pelan. Tampaknya Kimoon ngefans dengan si Watson apalah itu. Wajar sih. Seseorang yang begitu genius dan memiliki insting bagai peramal. Anak langka.

-

Dua jam kemudian.

"Eumm, siapa yang namanya Dinda Prill Serafina? Pemeriksaan dari Dokter Rahana sudah selesai." Seorang perawat berdeham pelan untuk membangunkan anak-anak itu yang malah ketiduran di bangku rumah sakit.

"Saya! Itu saya!" Dinda segera bangun, membuat teman-temannya sontak melek.

Ravin mengusap wajah. Memalukan sekali. Bisa-bisanya dia ketiduran. Apa karena AC di langit-langit koridor memancing kantuk?

"Terima kasih, Sus," kata Dinda membungkuk pada perawat tersebut. Menerima dokumen yang sudah mereka tunggu-tunggu.

Dia tersenyum ramah. "Sama-sama."

Kimoon dan Belle langsung meloncat ke sebelah Dinda, diikuti Alvin dan Ravin yang mendekat. "Ayo buruan buka, Dinda! Kita lihat siapa identitas Apo sebenarnya! "

Tanpa basa-basi lagi, Dinda pun segera membuka segel pada file di tangannya, menarik secarik kertas data di dalam. Yang lain spontan menahan napas, gugup.

Seketika mereka terdiam.

"Etto... Namanya Davin Atalaric Ghifarial, 16 tahun seperti Ravin dan Alvin. Oh! Dia punya catatan medis di rumah sakit ini."

Ravin mengepalkan tangan. Apa itu sungguh nama asli Apo? Bagaimana jika salah...

"Anu, Sus! Boleh kami bertanya?"

"Silahkan." Untung dia belum pergi.

"Ekhem! Apakah anda kenal dengan pasien ini?" Dinda menyerahkan lembaran kertas itu. "Tertulis dia pernah dirawat di sini."

Perawat itu memicing melihat gambar pada kertas data tersebut, menepuk tangan. "Ah! Aku ingat anak ini. Dia memiliki paman yang tampan... Maksudku, walinya, Giloya, datang membawanya ke rumah sakit pukul 10 malam. Kondisinya gawat sekali, berdarah-darah. Malang banget anak itu. Sesuai kesaksiannya saat siuman, dia hendak pergi ke rumah temannya di Judasa lalu tiba-tiba diseret oleh preman-preman remaja yang nakal. Salah satu musuh memukul dadanya."

Mereka terdiam panjang. Mencerna.

"K-kalau begitu...! Apakah anda melihat dia memakai gelang merah di tangannya?!"

"Umm, aku tidak yakin sih... Sepertinya iya. Tapi itu bukan gelang melainkan sapu tangan merah yang dipilin menjadi gelang. Aku melihat pamannya yang memegangnya."

"Apa anda tahu di mana dia sekarang?!"

"Sayangnya mereka sudah pindah ke desa yang cocok untuk kesehatan Davin. Mereka pindah begitu Davin sudah keluar dari rumah sakit. Aku tidak tahu alamatnya. Walinya tidak berkenan memberitahu. Aku sarankan kalian jangan mencari anak itu. Pamannya galak dan super protektif."

Setelah memastikan mereka tidak punya pertanyaan lagi, perawat itu pun izin pamit kembali ke posnya untuk mengecek pasien.

"Apocalypse. Tidak salah lagi, Davin pastilah si Apo yang kita cari-cari. Semua poinnya cocok. Barang bukti itu tidak dimanipulasi."

"Aku setuju dengan Ravin. Kita harus—"

Dinda berhenti melangkah. "Lalu apa? Kita pergi ke Sumbar yang entah di mana itu untuk menemuinya? Kalian dengar tidak sih kata suster tadi? Kita dilarang mencari dia. Apa kalian tak punya wawasan berurusan dengan wali yang protektif? Mendatanginya adalah ide buruk. Kita akan ditandai Omnya."

"B-benar sih. Orang protektif cenderung berhati dingin. Aku bisa membayangkan apa yang terjadi pada kita jika kita memaksa menemui Davin." Kimoon memeluk badan.

"Kalau begitu apa yang akan kita lakukan sekarang? Kita sudah tahu siapa orangnya."

"Maka dari itu kita akan makan-makan."

. . . He? Alvin dan Ravin menelengkan kepala.

Dinda mendongak ke langit senja. Tertawa puas. "Ini kasus orang hilang perdana Klub Missing. Meski kita tak berhasil menemukan orangnya, namun kita tahu dia masih hidup dan di mana dia tinggal. Aku bisa melacaknya kapan saja aku mau. Jangan lupa, aku ini informan lho. Yang terpenting itu adalah kita akhirnya mengungkap identitasnya. Butuh perjuangan sampai kemari, kan?"

"Kau benar, Din. Tidak buruk untuk kasus pertama. Sempat kecewa sih, tapi seperti katamu, kita berhasil menemukan identitas Apocalypse. Kita harus merayakannya. Pesta kecil-kecilan. Belle yang bayar. Dia kaya."

"Kenapa bawa-bawa aku sih?"

Ravin menepuk dahi, berlari menyusul. "Tunggu! Kalian tak bisa menutup kasusnya begitu saja! Heiii, dengar aku tidak?"

"Ayo ke sini Ravin, Alvin! Kalian juga ikut."

Alvin tersenyum memandang Ravin yang mengomel dengan Dinda—gadis itu sok akrab dengan merangkul bahunya—menatap matahari yang akan terbenam di ufuk barat.

Tidak salah dia bergabung ke klub ini.

-


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro