Ending Scene | 07

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari itu, dua minggu selepas pernikahannya bersama Kim Soo Hyun. Jieun terus-menerus mengusir suaminya, tidak mau dekat, sebab aroma semerbak Soo Hyun terlalu menyengat, sampai rasanya menghunjam berkali lipat dinding penciuman Jieun.

Karena Soo Hyun tidak pernah mempan akan usiran-usiran Jieun, alias bebal—kalau istilah Jieun, Soo Hyun terus mendekati sang istri, parahnya lagi, Soo Hyun mengibaskan jasnya yang sudah tersiram minyak wangi—sebetulnya menyemprot, tapi bagi Jieun, Soo Hyun seolah menyiram tubuhnya dengan minyak wangi, atau kemungkinan lebih buruk, mandi minyak wangi?

Soo Hyun yang jahil, dan Jieun yang merasa risih, ditambah suasana hatinya sedang buruk, membuat rumah gaduh; Jieun melempar seluruh bantal sofa ke arah Soo Hyun, beruntung bukan vas bunga atau toples camilan di meja yang Jieun lempar.

"JAUH-JAUH DARIKU KIMMMM!"

Kala itu, bukan hanya Jieun yang terkejut, Soo Hyun juga. Dari mana Jieun dapatkan suara nyaring dengan tubuh kecil begitu? Wah, istrinya multitalenta!

Sementara Jieun, seumur hidup baru pernah membiarkan pita suaranya bekerja sehebat itu, sehingga sekitar laring terasa perih.

"Katanya kau mau pergi kerja, kenapa tidak kunjung pergi? Cepatlah pergi, aku mual, aroma tubuhmu tidak enak sama sekali!"

Iya, Jieun masih saja berintonasi keras, tapi tidak menjerit seperti pertama. Soo Hyun cemberut, mendekati Jieun lagi—yang spontan menutup hidungnya menggunakan kedua telapak tangan. Soo Hyun hanya tidak mengerti, padahal tubuhnya ini sudah digosok dengan sabun tiga kali dalam serangkai acara mandi yang berjumlah tiga babak, pakai parfum pula sesudahnya—tiga semprot; di bagian tepi leher, tiga semprot di bagian dada, dan tiga semprot di bagian masing-masing ketiak, demikian, mengapa Lee Jieun mengatakan aroma tubuh Soo Hyun tidak enak? Itu... membuat sisi jahil Soo Hyun kian menjadi.

Menghempas bokong di samping Jieun, Soo Hyun berkata bak anak kecil. "Harus ada ciuman duluuu...."

Si mesum ini.

Jieun menggeleng singkat, mencoba bicara, namun tidak jelas karena hidung yang ditutup, pada akhirnya Soo Hyun mendekatkan telinga.

"Kau bicara apa? Aku tidak dengar," kata Soo Hyun, telinganya sudah sangat dekat, di depan wajah Jieun persis.

Hell!

Jieun akan rela mengemas Soo Hyun menjadi satu paket besar, kemudian dikirim ke neraka meski laki-laki ini tidak berbuat dosa, sungguh.

Melepas tangan dari asalnya, Jieun menahan napas, lalu mengeluarkan embusannya sambil bicara. "Tolong hari ini saja, tidak ada cium."

"Tapi aku mau." Kemudian dari telinga, kini raut wajah manja Soo Hyun yang terlihat memuakkan. Soo Hyun hendak menyapu area milik Jieun yang dirinya suka dengan bibir, ketika Jieun benar-benar akan muntah.

Menutup mulut spontan menggunakan sebelah tangan, Jieun mati-matian menahan segumpal dorongan yang mendesak minta keluar, Jieun tidak akan tega jika mengotori wajah Soo Hyun, atau kemeja berbalut jas kerja laki-laki itu—sekesal apa pun Jieun pada Soo Hyun.

Segera bangkit menuju depan wastafel—usai mendorong Soo Hyun menjauh dari hadapan, Jieun memuntahkan segala isi perut, apa saja, yang penting Jieun akan merasa nyaman sesudahnya.

Soo Hyun mengusap punggung Jieun begitu dirinya berada di belakang sang istri, niatnya memang memberi kenyamanan, namun kenyataan Jieun semakin mual.

"Sepertinya kau tidak sehat, Ji, panggil dokter Nam saja, ya?" Soo Hyun meminta persetujuan lebih dulu dari nada kalimat, sebelum memutuskan merogoh saku dan mengambil benda persegi atau tidak.

Jieun mencuci mulutnya, kemudian memutar tubuh hingga menghadap Soo Hyun. "Bisakah kau berangkat bekerja saja? Aku tidak menyukai aroma tubuhmu, Kim. Aku juga sedang tidak ingin melihatmu. Pahami aku, bisa?"

Soo Hyun sedikit tidak rela, terasa hambar jika tidak ada kecupan istrinya, atau Soo Hyun yang mencium sang istri. Sebelum berangkat bertempur menangani berbagai masalah orang-orang, hal itu sudah menjadi kebiasaan Soo Hyun sejak menikah, menyuntikkan rasa semangat juga. Tetapi Soo Hyun mengalah kali ini, dia menelan segala rasa, pun membiarkan pertanyaannya tentang memanggil dokter Nam barusan mengambang.

Sebelah tangan Soo Hyun mengusap lengan Jieun sesaat. "Istirahat saja, jangan melakukan pekerjaan rumah dulu, hm? Aku tidak akan pulang malam."

Jieun segera mengangguk agar Soo Hyun juga cepat pergi dari hadapannya, entah mengapa Soo Hyun amat menjengkelkan bagi Jieun hari ini. Bukan tidak tahu, Jieun paham tingkah Soo Hyun yang suka usil, tetapi tidak ada toleransi untuk sekarang.

Tanpa mengantar Soo Hyun sampai halaman rumah—seperti yang biasa dilakukan, Jieun kembali bergumul ditemani air dan dinding wastafel.

Ini sudah terjadi sejak beberapa hari belakangan, setiap pagi menyambut, Jieun selalu merasa ada yang tidak beres mengenai tubuhnya. Lalu hari ini layaknya bom waktu, rasa tidak enak kian menggila, membuat tubuh Jieun lemas, tidak nafsu makan, bahkan tidak menginginkan melakukan apa-apa, termasuk melihat suaminya sendiri.

---

Tepat pukul setengah lima sore, Jieun pikir tubuhnya akan membaik dengan tidur selama berjam-jam, namun faktanya semakin memburuk. Keringat membasah di dahi, leher, juga telapak tangan. Saking lemasnya, Jieun tidak bisa hanya beranjak duduk demi menyambut Soo Hyun yang baru pulang. Laki-laki itu memasuki kamar seraya melonggarkan dasi.

"Sa...." Soo Hyun baru hendak menyapa, namun urung. Melangkah cepat ke arah Jieun, hanya sekali lihat siapa pun tahu Jieun kesakitan, wajahnya pucat, beberapa kali Jieun juga meringis, tidak tahu bagian tubuh mana yang sakit.

Soo Hyun orang yang cukup pintar membaca situasi—terkecuali jika sedang bertingkah jahil pada sang istri. Beranjak dari posisinya, Soo Hyun lantas menghubungi dokter Nam, dokter kepercayaan keluarga Kim semenjak Kim Juna—ayah Soo Hyun masih hidup, laki-laki paruh baya itu yang selalu mengecek kondisi Juna.

Menit yang berlalu sudah cukup membuat Soo Hyun seperti tidak punya rem atas tubuhnya, mondar-mandir di depan pintu kamar yang terbuka, dengan sesekali menoleh arah Jieun tengah mengerut dahi. Pasti menahan rasa sakit, pikir Soo Hyun.

Semakin lama, Soo Hyun tidak sabar, dia nyaris menggendong Jieun dan membawanya ke klinik kesehatan, kalau pesan singkat dokter Nam yang masuk ke ponsel dalam genggaman Soo Hyun tidak cepat sampai, pesan berisi bahwa dokter Nam sudah ada di depan pintu utama rumah.

Waktu panik menunggu dokter sudah berlalu beberapa saat, kini Soo Hyun tidak bisa diam lagi, dia gelisah sejalan dokter Nam mengeluarkan alat-alat yang entah apa, Soo Hyun tidak paham—lagipula Soo Hyun memang hanya paham tentang melontarkan kata-kata advokasi di hadapan hakim.

Memerhatikan gerak dokter yang cekatan memeriksa Jieun, tidak membantu Soo Hyun untuk tenang. Rasanya keringat yang mengalir dari tubuh Jieun menular pada Soo Hyun, laki-laki itu sampai harus menepis keringat yang sudah mencapai kedua alis.

Sesaat dokter Nam bangun dari duduknya di sisi Jieun, Soo Hyun segera menghadap sang dokter dengan ekspresi tegang.

"Perlu penanganan lanjutan," ungkap dokter Nam, membereskan letak kacamatanya yang sedikit menurun. "Nyonya Jieun harus segera periksa darah, sebaiknya kita bawa Nyonya Jieun ke rumah sakit."

"Apa sakit istriku seserius itu? Lalu...." Soo Hyun tidak tahu, dia kehilangan kalimatnya secara mendadak, lidahnya terasa dibekukan.

Dokter Nam menepuk pelan pundak laki-laki yang sudah lama dikenalnya, bahkan, dokter Nam sempat menyaksikan pertumbuhan Soo Hyun dari remaja hingga beranjak dewasa, dan sekarang, Soo Hyun sudah memiliki keluarga sendiri.

"Jangan khawatir, jika dugaanku benar, kau akan segera menjadi ayah."

---

Kalimat dari dokter Nam 'segera menjadi ayah' pada Soo Hyun benar-benar terjadi. Langit di luar rumah sakit sudah menampilkan kegelapan, namun hati Soo Hyun secerah matahari yang baru terbit. Dalam rahim istrinya kini, terdapat kehidupan yang sedang tumbuh, Jieun mengandung calon anak Kim.

Di ranjang pasien, tidak jauh dari posisi Soo Hyun berbicara bersama dokter, Jieun tak kalah terkejut seperti Soo Hyun. Hanya berbeda; Soo Hyun terkejut bahagia, agak tidak menyangka bahwa sebentar lagi sebutan 'ayah' tersemat pada dirinya. Lalu Jieun, ia terkejut atas kalimat dokter. Setelah menjalani periksa melalui fetal doppler—karena Jieun tidak yakin tentang kapan tepat dirinya terakhir datang bulan saat dokter bertanya, dokter perempuan itu mengatakan, kehamilan Jieun sudah memasuki usia empat minggu.

Sekilas, Jieun melihat raut bahagia yang terpasang sempurna di wajah Soo Hyun. Laki-laki itu tidak menaruh curiga sama sekali, seolah memang kegembiraan mengambil alih akal sehat, menipiskan kejanggalan yang semestinya mencuat untuk ditanyakan; bagaimana mungkin, kehamilan Lee Jieun lebih tua dari umur pernikahan mereka?

.
.
.



A/N: Selamat hari lahir Kim Soo Hyun! 16 Februari kemarin yaa, haha. Telat dong, nggak apa deh. Moga drama barunya dilancarkan, tambah awet muda, biar jadi 'oppa' selamanya:D

Sekalian informasi, Ending Scene belum bisa up cepet ternyata, ehehe. Ini udah lewat sebulan padahal ya, maapkan. Naskah deadlineku numpuk masa. #Curhat 🙈 semoga masih ada yang mau baca, kalau ndak, boleh ditinggal kok, tapi jangan lupa balik lagi kalau udah ada tanda centang [√] di sisi judul Ending Scene:" hihi. Kirim kritik saran? Boleh banget!

Pay, pay, see you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro