Ending Scene | 06

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pukul delapan malam.

Lee Jieun belum kunjung pulang, dan Soo Hyun tambah khawatir. Sebagai seorang suami yang telah melalui ketegangan akibat alergi putrinya kambuh barusan sore, Soo Hyun membutuhkan Jieun sebagai penyembuh perasaannya, namun sejak tadi ponsel Jieun tidak aktif.

Di tengah kelimpungan dalam diam, belakang kemeja yang belum Soo Hyun ganti sejak menginjakkan kaki di rumah terasa ditarik-tarik dari belakang. Soo Hyun berada di halaman rumah, langit gelap membuat Soo Hyun berpikir macam-macam. Lampu rumah tidak berpengaruh untuk membuat Soo Hyun nyaman, terlebih udara dingin yang tidak biasa—menurut Soo Hyun.

"Ayah...."

Soo Hyun sudah siap berlari dari posisinya, kalau suara Hyuk tidak terdengar. Memang konyol.

Soo Hyun berbalik, lalu berlutut di hadapan Hyuk sehingga wajah mereka sejajar. Sebaik mungkin Soo Hyun menampilkan wajah damai.

"Hyukiee... kau belum tidur?"

"Tidak bisa tidur. Perutku terus-menerus meniupkan terompet perang. Jadi, Ayah... apa Ayah bisa membuatkanku susu?"

Soo Hyun diam, memberi waktu pikirannya memproses pertanyaan yang baru saja terdengar, sementara Hyuk kembali bicara. "Aku tahu kalau Ayah tidak bisa memasak, makanya aku hanya meminta buatkan susu."

Anak ini.

Soo Hyun berharap Jieun cepat pulang. Bukannya tidak mau, Soo Hyun hanya takut salah takaran.

"Dua sendok, Ayah," kata Hyuk. Seolah paham alur pikiran Soo Hyun, Hyuk menjelaskan. "Aku sering melihat ibu membuat susu. Dua sendok besar, untuk satu gelas. Tidak pakai gula, karena susunya sudah ada gulanya. Ibu yang memberitahuku."

Soo Hyun mulai merasa kalau Hyuk lebih pintar darinya, sungguh.

"Baiklah." Soo Hyun mengangkat tubuh Hyuk yang semakin hari tidak enteng lagi.

Masuk ke dalam rumah, Hyuk ditempatkan di sofa depan televisi. "Kau tunggu sini, Ayah akan kembali membawa susu."

Hyuk menuruti perintah sang ayah. Sepanjang satu menit, Hyuk menggerakkan kaki, memainkan jemari tangan, tanda anak itu tidak sabar. Getaran-getaran yang berasal dari perutnya membuat Hyuk tidak bisa diam meski tetap duduk di tempat. Kalau kata Shin, seperti ada singa yang mengaum dalam lambung.

"Hyuk?"

Saat itu, Hyuk lupa akan terompet perang, getar perut dan singa lambung. Melihat cepat sumber suara, Hyuk segera beranjak dari duduk.

"Ibuuuu!"

"E, eh... pelan-pelan," tegur Jieun yang langsung terserang 'pelukan' dari Hyuk, erat, seolah Hyuk baru bertemu ibunya setelah sekian tahun berpisah—padahal kenyataan waktu memisahkan mereka hanya dalam lima jam. "Kau sedang apa? Mengapa belum tidur? Kakak-kakakmu di mana? Ayah sudah pulang belum?"

"Aku tidak tahu, yang mana harus kujawab pertama." Hyuk mendongak, sehingga dua pipi gemuknya terlihat lucu.

Jieun yang menyadari bahwa pertanyaannya bertubi-tubi segera bertanya lagi. "Mengapa Hyuk belum tidur?"

"Aku merindukan Ibu. Aku tidak bisa tidur, kalau belum dengar dongeng dari Ibu."

"Katanya kau lapar," sela Soo Hyun yang tahu-tahu berdiri di belakang Hyuk, sebelah tangannya terdapat segelas susu. "Kau tidak bisa tidur karena ada terompet perang dalam perutmu, tidak bilang karena merindukan ibumu."

Ayahnya memang menyebalkan.

"Yah... itu salah satunya." Hyuk beralih, melepas diri yang memeluk kedua kaki sang ibu, dan segera meminta susunya dari tangan Soo Hyun.

"Ayah bersama ibu mau bicara sebentar, Hyuk minum susunya di kamar, ya?" Soo Hyun mengusap kepala Hyuk setelah memberikan susu. "Jika susunya sudah habis, jangan lupa gelasnya taruh di dapur."

"Baik!" Hyuk meninggalkan ayah dan ibunya. Bahkan keinginan Hyuk untuk bermanja pada Jieun harus tertunda. Tapi tidak apa, pikirnya, sudah ada susu. Terkadang susu lebih menggiurkan dari apa juga.

Jieun melepas mantel hitam juga tas selempangnya, tanpa berniat memberikan tatapan pada Soo Hyun.

"Kau belum makan, 'kan? Kubuatkan makan untukmu, hanya sebentar, kau—"

"Jieun...." saat ini, yang diinginkan Soo Hyun bukan makan.

Masih enggan melihat arah Soo Hyun, Jieun hendak melangkah ke arah kamar kalau lengannya tidak Soo Hyun cekal, menghentikan segala gerak Jieun.

"Aku ingin mendengar penjelasanmu. Kau dari mana, mengapa baru pulang?"

"Dari rumah Jinri."

Bohong.

Jieun paham, dirinya sedang berbohong, namun mengatakan kejujuran akan membuat keadaan lebih buruk dari dosa atas kebohongan.

"Aku ke rumah Jinri, membahas resep masakan baru. Tidak enak jika hanya membahasnya melalui pesan singkat atau telepon." Kemudian Jieun memberanikan diri melihat Soo Hyun, pasang mata itu memancarkan rasa cemas yang tidak main-main.

"Lalu mengapa ponselmu mati? Kehabisan baterai? Di rumah Jinri tidak ada charger yang sama dengan ponselmu?"

Terkadang sulit berbicara pada Soo Hyun dengan sikap mendetailnya, tetapi Jieun juga tidak bisa terlalu jauh dari laki-laki ini.

"Tidak, aku sengaja mematikan ponselku. Aku ingin mempelajari resep baru itu, jadi harus fokus."

Soo Hyun mengangguk mengerti. Selesai sesi tanya, sekarang Soo Hyun menjadi penasihat.

"Jieun, aku tidak pernah melarangmu pergi ke mana pun, bahkan jika itu berkumpul bersama teman-temanmu. Tapi pergi tanpa pemberitahuan, menelantarkan anak-anak, aku mohon, jangan mengulangnya."

"Aku tidak bermaksud menelantarkan...." kalimat Jieun harus terhenti, mengingat bahwa dirinya memang meninggalkan si kembar, juga tidak ada orang yang Jieun beri amanat untuk menjaga anak-anaknya.

"Tadi sore alergi Naran kambuh, dan kau tidak ada di rumah, aku hampir tidak tahu harus berbuat apa."

Sorot mata Jieun memancarkan keterkejutan luar biasa, tapi tubuhnya tidak bisa merespon banyak hal seolah tersolder permanen.

"Naran meminum susu Shin, itu mengandung kacang kedelai, dari sana awal mula bisa terjadi. Tapi kau tenang saja, Naran sudah lebih baik." Jelas, Soo Hyun tahu tentang sorot mata itu, dan kata-kata menenangkan Soo Hyun membuat sedikitnya kelegaan dalam hati Jieun, meski rasa penyesalan bergelayut tidak berniat pergi.

Cekalan Soo Hyun mengendur, kemudian tangannya naik hingga pundak Jieun, mengusap area sana sejalan permintaan maaf yang terdengar memilukan.

"Tidak seharusnya aku meninggalkan mereka tanpa pengawasan, aku tidak pernah berpikir panjang, maafkan aku...."

Soo Hyun hanya memeluk tubuh sang istri sebagai jawaban. Hanya saat Soo Hyun memeluk Jieun, rasanya Soo Hyun berhasil kembali ke rumah, berhasil melepas lelah bersama gelisah.

"Aku pikir, alergi Naran tidak pernah kambuh lagi." Jieun berkata pelan, masih dalam rengkuh laki-lakinya.

"Kita berpikiran sama." Soo Hyun masih betah dalam rumahnya, hangat yang melingkup menimbulkan satu kecanduan. "Padahal aku dan dirimu tidak memiliki alergi kacang. Kata dokter waktu itu, alergi Naran lebih banyak dari keturunan, 'kan?"

Pasang mata Soo Hyun memejam demi terus menyelami kenyamanan, tanpa sadar istrinya mulai terserang kemelut dalam pikiran-pikiran yang satu per satu masuk, mengelilingi, juga bersuara bising.

"Tiap aku menemukan Naran yang alergi, aku selalu mengingat Kang In. Dia juga punya alergi yang sama dengan Naran."

Napas Jieun seolah dihentikan paksa. Pikiran yang bising berubah jerit-jerit kemalangan, lalu perasaan yang timbul serentak mengarahkan telunjuk pada Jieun, menyudutkannya, tanpa ada yang ingin paham, bahkan logika sekalipun.

Seandainya Soo Hyun tidak memeluk tubuhnya, mungkin Jieun akan segera jatuh, bersama luka lama yang kembali mencuat, kesalahan-kesalahan yang tak seharusnya terjadi.

.
.
.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro