Ending Scene | 05

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Remang lampu menjadi satu-satunya sumber cahaya, ketika bulan yang sedang terang-terangnya hanya menjadi penonton dua orang di ruang sempit. Jieun pernah membaca salah satu narasi cerita, bahwa sinar bulan mampu menerebos jendela, menerangi tempat gelap.

Hiperbolis.

Jieun menganggapnya begitu. Atau jika benar bulan bisa menerangi ruangan, berarti malam ini bulan sabit yang menggantung di langit sedang pelit membagi sinar oranyenya untuk sekadar menjadi penerang sedikit, demi Jieun bisa melihat laki-laki di hadapan lebih jelas. Laki-laki dengan pasang mata elang yang menawan pada masanya. Masa saat hati Jieun jatuh namun tidak sakit, saat pohon sepanjang jalan menggugurkan daun-daun, dan justru hati Jieun dipenuhi bunga-bunga mekar layaknya musim semi.

"Aku ingin berhenti."

Kata itu tidak akan pernah terucap jika dirinya bersama Kang In masih dalam putaran cinta, kasih sayang masih membumbung bangga. Tapi hubungan dirinya dan Kang In memang telah berakhir, hubungan manis mereka, bunga indah dalam hati telah layu dihisap kegelapan luka. Berhenti di sini memiliki makna lain.

"Aku ingin hidup tenang bersama Soo Hyun dan anak-anakku, aku ingin berhenti, mari kita berhenti."

Kang In masih menjaga sikap tenang, meski dalam hati sudah ingin mengeluarkan kata-kata pedas. Dirinya tetap ingin mendengar kalimat Jieun, memiliki secuil harapan kalau Jieun keliru, mungkin perempuan ini akan meralat ucapannya.

"Aku mencintai Soo Hyun."

Baru kata itu terlontar, secepat Kang In menghela napas kasar, meja bundar di hadapan sudah bergetar. Kang In menggebrak meja. Seandainya meja kayu itu telah lapuk, maka akan terbagi menjadi dua.

Amarah menguasai, wajah Kang In tidak dapat mengkhianati rasa hati. "Ingat tujuan awalmu, Lee Jieun, jangan gila sebelum kau mendapat apa yang menjadi tujuan awal."

Kalimat bernada pelan, berbeda dari gebrakan meja tadi. Jieun masih meraba wajah tidak terlalu jelas milik Kang In melalui matanya, tidak sedikit pun gentar meski gebrakan meja adalah ancaman.

"Bukan tujuanku. Ini tujuanmu, Lee Kang In."

Dulu, Jieun pernah berpikir bahwa takdir selalu menyelipkan kata bahagia untuk dirinya setelah bertemu Kang In, laki-laki yang memiliki marga serupa, laki-laki baik yang selalu membantu saat-saat susah keluarganya. Jieun juga berpikir, dari marga yang sama, itu menjadi tanda dari Tuhan bahwa mereka berjodoh.

Namun tidak.

Tuhan selalu bisa membolak-balikkan cerita yang Dia buat dari awal. Tuhan bisa dengan mudah menjatuhkan manusia ke jurang paling dalam tanpa bisa kembali, seperti Jieun melihat sisi lain seorang Lee Kang In. Ibu yang meninggal akibat sakit, sudah memakan biaya lebih dari puluhan juta untuk obat dan perawatan semasa hidup, ayah yang tidak tahu kemana perginya tidak meninggalkan apa-apa, selain rumah yang sekarang resmi menjadi milik orang lain.

Bantuan dari Kang In tidak gratis. Kang In mengatakan, dirinya bukan malaikat penolong, Lee Kang In hanya manusia yang masih akan memungut uang logam di tepi jalan. Pinjaman sejumlah rupiah dari Kang In berlipat-lipat membengkak, dari sana awal mula tidak ada lagi warna merah muda bernama cinta, dari sana, Kang In merencanakan sesuatu yang gila.

"Aku mengenalkanmu kepada Soo Hyun agar kau hanya menikah dengannya, lalu cepat mewarisi seluruh milik Soo Hyun. Kau ingat, bahkan kau melanggar waktu perjanjian? Saat awal sudah kubilang, pernikahan dirimu bersama Soo Hyun cukup tiga bulan, sejalan dengan itu kau sudah membuatnya tiada." Kang In menekan emosi, hingga napasnya tersendat. "Tapi apa? Kau terus menunda sampai bertahun-tahun. Alasan pertama kau mengandung. Kemudian Naran sudah tumbuh semakin besar, dan kau melahirkan lagi, alasan kedua. Kau tidak bisa meninggalkan anak kembarmu, alasan dirimu kesekian kali. Aku cukup pengertian, jadi ini sudah lebih dari saatnya. Mengapa kau menyelipkan rasa dalam hubungan yang jelas-jelas kau tahu hasilnya?!"

Tekanan Kang In pada emosi tak cukup kuat, runtuh, dirinya kembali meradang, ditambah sahutan Jieun membuatnya ingin sekali membanting benda yang ada di sekitar.

"Apa tidak bisa hutangku lunas dengan waktu itu? Aku tahu, hutangku padamu sudah tidak bisa terhitung, tapi kau juga sudah mengambil kepunyaanku, harga diriku, apa itu tidak cukup?"

"Kau kira tubuhmu semahal hutangmu?" Tawa kecil sarat akan merendahkan terdengar jelas, membuat pasang telinga Jieun memanas. "Lupakan cintamu kepada Soo Hyun, fokus pada tujuan, dan jangan berhenti memberikan serbuk dariku."

Tubuh yang aromanya Jieun suka—dulu, beranjak dari kursi, berdiri dengan segala keangkuhan. Kang In melewati Jieun guna sampai pada pintu.

"Kau sahabatnya, Kang In."

Suara sepatu yang melangkah terhenti. Jika Jieun laki-laki, atau jika Jieun bukan orang yang pernah ada dalam hatinya, maka Kang In berani menyerang Lee Jieun menggunakan kedua tangan sendiri.

"Soo Hyun juga menjadikanmu orang kepercayaannya ketika dia memilih mengejar mimpi menjadi pengacara. Kau yang menangani kantor, 'kan? Soo Hyun begitu percaya padamu, Kang In. Tidakkah kau merasa sedikit saja, kasihan?"

Kasihan.

Desis remeh dari mulut Kang In keluar sesaat. "Soo Hyun sudah punya segalanya tanpa terkecuali, untuk apa kasihan? Meski kedua orang tuanya telah tiada, tapi Soo Hyun tidak pernah kekurangan. Sahabat? Apa ada orang yang benar-benar bersahabat? Ingat kasus seorang cucu menikam kakek kandungnya?"

Tetap tidak menghadap arah Jieun, Kang In cukup berada di posisinya sekarang. Takut kalau berbalik dan melihat punggung rapuh itu, emosinya tidak bisa terkendali.

"Manusia bisa saling membunuh dan menyakiti, Jieun-ah. Jangankan sahabat, keluarga pun bisa menjadi musuh. Berhenti naif."

Pintu yang ditutup keras adalah suara terakhir Jieun dengar. Kepalanya belum mau berpindah untuk menoleh—setidaknya memastikan engsel pintu tidak rusak.

Tetapi daripada memastikan hal begitu, Jieun memilih untuk menata hati, mengumpulkan kekuatan demi bisa melangkah pulang.

Pulang ke tempat ternyaman, dimana Jieun bisa berlindung dari kecaman dunia. Meski Jieun tidak bisa menepis, kalau pulang ke rumah, berarti dirinya juga harus menghadapi kecaman lain kala melihat bagaimana Kim Soo Hyun selalu memberi ketulusan. Kecaman dari dalam diri.

Soo Hyun terlalu baik, bagi dirinya yang jahat.

Melihat kertas krem terlipat rapi di tangan kanannya, Jieun memejamkan pasang mata, menolak air yang akan membasahi pipi.

Kang In memberikannya lagi.

Maka jika Kang In tidak mau berhenti dari permainan mengerikannya, Jieun yang akan memblokir semua permainan Kang In.

.
.
.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro