Ending Scene | 04

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dari dapur, hingga kamar, Naran tidak menemukan keberadaan ibunya. Sepulang sekolah, seharusnya yang pertama kali Naran lihat adalah sosok malaikat itu. Tapi tidak hari ini.

"Hyuk, Shin, ibu mana?" tanya Naran yang hanya mendapati kehadiran dua adiknya di sofa panjang, tengah asyik meminum susu kemasan.

"Pergi. Kalau ada pertanyaan lain 'kemana', aku juga tidak tahu." Hyuk yang menjawab, anak itu paling bisa membuat kakaknya menahan jengkel.

"Sore-sore begini?" Naran melepas ransel dari pundak, diletak sembarang. Kalau ada Jieun, sudah habis Naran kena omel.

"Uhm. Ibu bilang, hanya sebentar. Ibu meminta kami menunggu eonni pulang. Sebagai imbalan, kami diberi susu ini." Shin menanggapi kalimat sang kakak, kemudian kembali menyedot susu dari pipet putih.

"Kakak mau?" tawar Shin, melihat bagaimana Naran menatap kotak susu yang dirinya pegang erat menggunakan kedua tangan.

Seketika senyum terbit dari bibir kecilnya, Naran mendekati Shin.

"Sedikit saja, ya."

Senyum Naran lenyap.

"Belum juga aku minum, dasar pelit," desis Naran. Meski menggerutu, Naran tetap meminum susu dari Shin, tidak lupa sebelumnya menghapus jejak mulut adiknya dari pipet. Naran terlalu suka kebersihan, tidak ada toleransi tentang hal itu kendati Shin adik sendiri.

"Terima kasih," ucap Naran tulus, memberi kembali susu kemasan pada si pemilik.

Shin senang bisa membagi kakaknya. Tanpa menghapus jejak isap seperti Naran, Shin langsung meminum susu cokelat manis dari pipet yang sama. Cokelat memang tidak ada duanya.

"Oh, wajah Naran Nuna kenapa?" Hyuk yang baru berpindah pandang ke arah Naran menyadari sesuatu. "Memerah?"

"Bentol-bentol!" Shin menambahkan, nadanya tidak ragu seperti Hyuk.

"Jangan bilang...." Naran melihat kulit tangannya sendiri. Merah yang disebut Hyuk adalah ruam yang tidak asing dalam penglihatan Naran. Bentol juga, sudah terlihat jelas. Penyebarannya sangat cepat.

"Susu itu ada kandungan kacangnya?!" pekik Naran, lebih bertanya kepada diri sendiri, kemudian merebut paksa susu kemasan dari tangan Shin.

Naran membaca komposisi susu yang tercetak di belakang kemasan, sampai pasang mata bulatnya tidak lepas dari tulisan 'kacang kedelai'. Meski kandungan cokelat yang lebih mendominasi, kedelai cukup berpengaruh, Naran mulai merasa panas dingin, bentol itu memberi efek gatal, namun dirinya cukup bisa menahan. Dokter pernah mengatakan, kalau alergi kacang Naran kambuh, lalu kulitnya menggatal, tidak boleh digaruk.

"Ayah!" seseorang yang pertama kali Naran sebut dan ingat. Meninggalkan posisi dari depan adik-adiknya, Naran meraih telepon rumah. Tidak perlu buku telepon, nomor ayahnya sudah tertulis dalam memori otak.

Dua nada sambung sudah terdengar, Naran kian panik. Pikirnya, sang ayah sungguh lama menerima telepon.

"Hal—"

"AYAH ALERGIKU KAMBUH!"

Naran tidak mau mendengar jenis sapaan apa pun dari sang ayah. Sementara Soo Hyun di seberang sana nyaris tuli. Anak sulungnya benar-benar, kalau bicara tidak pernah bisa tenang.

"Sudah Ayah bilang, jangan makan kac—"

"Iya Ayah, maaf, aku tidak sengaja. Terus bagaimana iniii?"

"Minta obat alergi pada ibumu, lalu—"

"Ibu tidak ada di rumah!" Naran tidak hentinya berteriak, belum puas selalu menukas kalimat Soo Hyun.

"Tidak ada? Memangnya ibumu ke mana?"

"Mana kutahu. Sudah, Ayah pulang cepat. Aku tidak tahu harus bagaimana...."

"Tapi Ayah ada sidang, Nak."

"Apa Ayah lebih mementingkan sidang daripada putri Ayah sendiri? Ayah mau melihatku mati?"

"Bicara yang benar, Naran. Jangan sembarang. Iya, baik, Ayah pulang. Tunggu Ayah."

---

Gatal yang dirasa sudah berangsur mengurang. Naran memerhatikan gerak Soo Hyun yang tengah menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya.

"Beruntung alergimu tidak parah kali ini. Ayah cemas."

"Kalau cemas, mengapa masih memikirkan sidang sebelum pulang?"

Soo Hyun mengelus dahi Naran. Putri pintar. Namun Soo Hyun juga agak tersudut mendengar kalimat dari Naran.

"Maafkan Ayah, hm?"

Beberapa saat lalu, sesampainya Soo Hyun di rumah, dia langsung menuju kotak penyimpanan obat. Sialnya, obat alergi Naran yang dicari tidak ada, sehingga Soo Hyun mesti berlari ke luar menuju apotek. Memang jarak antara rumah dan apotek tidak jauh, hanya dalam keadaan gelisah, semua terasa tidak mengenakkan.

"Ini salahku."

Shin terlihat dari pintu yang Hyuk buka lebar. Sebelumnya, pintu kamar Naran tertutup sedikit, Shin hanya berani melihat ayah dan Naran dari celah pintu.

Hyuk yang pertama kali memasuki kamar, sehingga Shin mengikuti. Tiba di hadapan sang ayah, mereka berdampingan, menunduk.

"Aku yang memberikan Kak Naran susu itu, aku bersalah, maafkan aku," ucap Shin, masih menunduk, melihat ibu jari kakinya yang tidak bergerak.

"Kemari," pinta Soo Hyun, membuka kedua tangannya. Paham apa maksud sang ayah, Shin masuk ke dalam pelukan. "Bukan kesalahan Shin, tidak ada yang salah, Shin tidak tahu, benar, 'kan? Tidak apa-apa...."

Kalimat menenangkan Soo Hyun membuat Shin semakin erat memeluk ayahnya.

"Memang bukan salahmu, Shin. Andai aku lebih teliti, aku mungkin tidak akan meminumnya," timpal Naran.

Hyuk yang dari tadi diam, mulai bergerak, menaiki ranjang kakaknya. Membuka selimut di sisi, Hyuk menyelimuti diri di samping Naran.

"Kakak masih sakit?"

"Dan kau masih bertanya?"

Tidak menyahut kata ketus sang kakak, Hyuk memegang lengan Naran di bawah selimut.

"Cepat sembuh, ya. Nanti kalau Kakak sakit terus, aku dan Kak Shin tidak bisa menjahili Kakak," bisik Hyuk, Naran kembali menggunakan kata 'adik durhaka' untuk mengutuk, walau dalam hati.

Menegakkan kepala, Shin yang melihat kedekatan Hyuk bersama Naran segera melepas pelukan dari ayahnya.

Menaiki ranjang hingga ada getaran, Shin memosisikan diri di sela Hyuk dan Naran.

"Nunaaaaa, sempit!" Hyuk tidak tahan, tangannya terpaksa lepas dari lengan Naran barusan. Kini tangannya dipakai untuk mendorong tubuh Shin.

"Hyuk berisik!" Naran kemudian berbalik, memilih menghadap ayahnya yang sedang berposisi bersandar di kepala ranjang.

"Aku juga mau dekat ayah!" Hyuk semakin ganas mendorong-dorong tubuh Shin, sehingga Naran juga ikut terdorong.

"Hei, sudah." Soo Hyun melerai Hyuk, entah mengapa kecemburuan tiba-tiba timbul dalam relung si bungsu. Shin tidak mau berpindah dari punggung Naran, Hyuk juga tidak suka di posisi paling belakang.

"Ayah, cium sayang?" Naran menatap sang ayah. Tanpa dipinta dua kali, Soo Hyun mencium dahi Naran. Melihat itu, otomatis Hyuk semakin gencar, menerobos dengan cara melangkahi Shin. Memang asem Hyuk Yoon.

"Aku juga mauuuu!"

Soo Hyun menarik kepala Hyuk yang dengan heroik sudah berada di pangkuannya, lalu melepaskan ciuman pada bagian yang sama seperti Naran.

Namun Soo Hyun merasa sedikit aneh, tumben Shin tidak ikut memintanya juga. Pasang kembar ini sering tidak mau kalah dalam hal apa pun.

Menoleh ke putri kedua, Soo Hyun tersenyum lebar mendapati Shin memejamkan mata, meringkuk dengan sebelah tangan memeluk pinggang Naran.

Kelakuan mereka.

Sejak memiliki tiga orang anak, Soo Hyun tidak tahu cara untuk kesal kepada anak-anaknya. Mereka terlalu menggemaskan.

.
.
.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro