Ending Scene | 10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Hyuuukk, bangun, bangun, Hyuk. Ihh, ayo banguuunn!" Shin belum menyerah mengguncangkan tubuh si kembaran. Malam penuh penyiksaan—bukan bagi Hyuk yang diganggu tidurnya—kebiasaan lupa buang air kecil sebelum terlelap membuat Shin menjadi ganas malam-malam.

"Aih, Nunaaa!" Kelopak mata Hyuk terbuka sempurna ketika Shin menarik lengannya, terpaksa Hyuk beranjak dari baring. Tubuh kecil itu membungkuk kendati duduk, Hyuk masih mengantuk.

Sebelum sang adik pergi ke alam mimpi lagi, Shin segera menarik tangan Hyuk turun dari ranjang.

"Kak Shin...." Hyuk merengek, minta dilepaskan tangannya.

"Antar aku pipis," bujuk Shin, lalu mendapat tatapan kesal dari Hyuk. Ini bukan bujukan, tapi pemaksaan! Lihat, tahu-tahu Shin sudah menarik tangan Hyuk sampai luar kamar.

"Padahal Nuna bisa menyalakan lampu, menga—"

"Sstt!" Shin menutup mulut Hyuk ketika suara samar—entah apa—terdengar dari arah kamar mandi.

"Hantu?" Tangan Hyuk jadi gemetaran, membuat Shin yang baru menurunkan tangan dari mulut adiknya mendesis kesal.

"Jangan berpikir macam-macam," bisik Shin, mereka kembali melangkah arah kamar mandi yang letaknya berseberangan antara dapur, persis di bawah tangga menuju lantai dua.

"Ibu?" Shin bergumam.

Buru-buru menuju dinding pemisah kamar mandi, Shin jadi bertanya-tanya, mengapa ibunya menggunakan toilet utama, sementara ada toilet dalam kamar yang ditempati ibu bersama ayah?

Pintu kamar mandi yang menguak lebar membuat Shin dan Hyuk melihatnya. Cairan kental berwarna cokelat tergenang di lantai kamar mandi, kemudian larut oleh air bersih yang baru saja Jieun siram. Terduduk di tepi pintu, Jieun menangis sampai tubuhnya berguncang.

Mendadak si bungsu merasa sakit, meski tidak tahu apa yang terasa sakit, atau bagian mana. Hyuk akan menghampiri Jieun kalau tangannya tidak Shin cekal. Pikir Shin, kalau mereka mendekat, sang ibu pasti panik, lalu mengeluarkan alasan kebohongan. Shin sudah terbiasa mendengar kata-kata jujur, sekaligus menanam kepercayaan yang besar kepada ibunya, karena itu Shin tidak mau mendengar kata bohong yang akan dirinya percaya.

Hasrat buang air kecil sudah lenyap sejak menyaksikan ibunya meringis kesakitan dan akhirnya menangis. Sebelum Jieun beranjak dari posisi, Shin lebih dulu menarik tangan Hyuk untuk kembali memasuki kamar mereka.

Menutup pintu perlahan, dua ranjang dalam kamar itu menjadi saksi bagaimana ekspresi muram pasang anak kembar.

"Kak, apa ibu bertengkar sama ayah sampai menangis?" tanya Hyuk. Mereka masih berdiri dekat pintu yang tertutup rapat.

"Menurutmu begitu?" Shin tidak punya jawaban, sekeras apa pun berpikir, Shin hanya tahu bahwa kedua orang tuanya tidak pernah terdengar ribut.

"Tidak," sahut Hyuk, anak itu menambahkan. "Ibu menangis karena sakit. Ibu muntah, ibu kesakitan."

Hyuk ingin memeluk ibunya barusan, perasaan aneh menuntun untuk berbuat demikian, tapi Shin justru melarang, lalu sekarang, keinginan itu semakin menguat.

"Benar, ibu sakit. Mungkin ibu kelelahan karena mengurus kita." Shin membuka opini baru, dan Hyuk percaya pada apa yang dikatakan kembarannya.

"Kita sudah banyak membuat ibu repot, ya?"

Shin menghadap Hyuk, memegang kedua pundak adiknya. "Mulai besok, kita tidak boleh membuat keributan, sebisa mungkin apa yang kita butuhkan, kita lakukan sendiri, supaya ibu tidak kelelahan, ya?"

---

"Ji—am, Ibu sakit?" Soo Hyun nyaris menyebut nama sang istri akibat terburu-buru hendak melontarkan tanya. Di depan anak-anak, mereka berdua pantang memanggil nama.

"Wajah Ibu juga pucat." Naran ikut bersuara—baru sadar tentang rona ibunya yang tiada terlihat.

Jieun menanggapi dengan tawa, terdengar tidak mengandung jenaka bagi empat orang yang berkumpul melingkari meja makan. Berdeham sesudahnya, Jieun menampilkan senyum yang selalu membuat orang lain nyaman kala melihat.

"Kalau Ibu sakit, tidak mungkin bisa memasak, pasti Ibu sedang terbaring di ranjang kamar."

"Jadi, apa maksud dari perkataan Shin?" tanya Naran, kemudian menghujani Shin Yoon dengan tatapan penuh pertanyaan.

"Aku hanya tidak mau Ibu sakit." Langsung mendapat jawaban dari Shin, Naran berhenti menginterogasi, percaya bahwa ibunya baik-baik saja.

Pandangan Jieun menangkap pasang mata Soo Hyun yang masih ingin bertanya, maka dengan segera Jieun berdiri dari duduk, mengambil teko kaca berisi air dan menuangkannya ke gelas Soo Hyun.

"Gwaenchana...." Jieun berkata pelan, tahu persis apa yang ada dalam pikiran suaminya.

"Benar?"

Jieun mengangguk, meletakkan teko ke atas meja. Sebelah tangannya digenggam Soo Hyun sesaat, sebelum Jieun kembali ke kursi dekat Naran, berhadapan langsung dengan Soo Hyun dan dua anak kembar.

Pagi itu, keluarga Kim kembali makan, hanya anak-anak dan kepala rumah tidak tahu, kalau malaikat mereka tidak menyentuh sedikit pun nasi di hadapan. Mual yang terasa, sakit kepala, juga persendian yang ngilu meraja dalam tubuh Lee Jieun.

Menyaksikan Soo Hyun yang sesekali melihat kertas pekerjaan di sela makan, Jieun ingat bahwa pernah mengatakan kalau Soo Hyun harus fokus saat makan, tapi memang Soo Hyun tidak pernah menurut. Kapan kira-kira Kim Soo Hyun bisa berhenti berkepala batu?

Mata kecil itu kemudian mengarah anak-anak, dari Hyuk dan Shin, lalu berpindah pada Naran. Jieun penasaran, jika tiga anak Kim ini dewasa, wajahnya seperti apa, berubah banyak atau tidak. Hyuk, apa bisa menjadi pengacara seperti Soo Hyun, bisa saja impiannya berubah ketika menemukan suatu yang baru, kala wawasannya meluas. Shin bersama Naran, apakah mereka akan menikah dengan laki-laki baik. Mungkin pikiran Jieun terlalu dini untuk saat ini, saat dimana anak-anaknya masih harus menempuh banyak jalan untuk menuju apa yang mereka inginkan.

Hanya, waktu Lee Jieun tidak banyak lagi sekarang. Seandainya Jieun bisa menempuh waktu ke masa depan, meski sebentar, Jieun ingin, demi melihat anak-anaknya tumbuh dewasa, sebelum napasnya terhenti.

---

Langit memiliki matahari sebagai penerang pagi, bulan sebagai penghias malam, dan bintang sebagai penghibur lara. Aku? Tidak punya siapa-siapa, sehingga semesta mengizinkan pertemuan kita. Akhirnya, aku memiliki matahari sepertimu, bulan dan bintang seperti anak-anak kita.

Kim Soo Hyun menatap punggung Jieun, sedang duduk di kursi hadapan meja belajar, sebelumnya itu meja Naran, dan si sulung sudah punya meja baru. Jieun kukuh ingin menempatkan meja bekas Naran di kamar, agar bisa menulis, katanya.

Jieun punya hobi baru, menulis sampai lewat tengah malam. Sudah pukul satu, hari sudah berganti. Namun agaknya Jieun belum tidur dari kemarin malam.

"Sayang," panggil Soo Hyun juga pada akhirnya. Habis setiap Soo Hyun membuka mata, Jieun tidak ada di sisi. Soo Hyun juga tidak bisa tidur pulas. Bukan karena terganggu cahaya lampu kamar yang menyala, perasaan Soo Hyun terus-menerus gelisah tiap kali Jieun duduk di sana.

Jieun menoleh, hingga tubuhnya sedikit berbalik.

"Kenapa? Haus?" tanyanya. Jieun siap mengambilkan minum kalau Soo Hyun menginginkan, atau merebuskan ramen jika Soo Hyun lapar.

"Ayo istirahat, kau tidak kasihan pada matamu? Tubuhmu juga butuh istirahat, 'kan?" Soo Hyun menepuk-nepuk tempat sebelah yang kosong.

"Sedikit lagi, satu paragraf, setelah itu aku ke sana." Jieun dengan senyum ceria itu....

Jadi, teruslah berbahagia, Kim Soo Hyun.

Jieun melepas pena, kepalanya sudah berdenyut. Menutup catatannya, kemudian Jieun memasukkan buku itu ke laci meja.

"Besok menulisnya di komputer saja, tanganmu pasti sakit," kata Soo Hyun, meraih tangan kanan Jieun sesudah sang istri menaiki ranjang—berada di sampingnya.

"Aku lebih suka menulis tangan." Jieun melepas jemarinya yang digenggam Soo Hyun, menarik selimut untuk laki-laki itu. "Tidurlah, mimpi indah."

Senyum yang sekali lagi ditampilkan Jieun, membuat perasaan gelisah meluap penuh. Soo Hyun tidak tahu apa yang salah pada perasaannya. Di sudut hati, Soo Hyun merasa kehilangan, tapi tidak tahu apa yang telah hilang. Atau, apa yang akan hilang.

.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro