Ending Scene | 11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sepulang sekolah, suasana hati Shin menjadi tidak baik sejak melihat penampilan ibunya. Oh, bukan penampilan, melainkan rambut pendek atas bahu sang ibu. Sampai sore, Shin masih menekuk wajah, layaknya Soo Hyun yang menampilkan raut andalan itu.

"Tapi Ibu tetap cantik," sela Naran, menghentikan kata-kata protes Shin sejenak, sesudahnya Shin kembali mengemukakan aksi protes.

"Kakak tidak pengertian. Ibu tidak lagi menjadi Rapunzel tahu!"

"Ibu kita memang bukan Rapunzel," tanggap Hyuk pula. Di sini, hanya Shin yang tidak setuju soal rambut ibunya. "Tapi, cheonsa."

Kemudian Naran bersama Hyuk highfive bersama, kekompakan yang amat langka. Tanggapan Jieun; senyum-senyum, ingin mencubit satu per satu pasang pipi mereka—terlalu gemas. Namun hanya sebatas keinginan, Jieun tetap Lee Jieun yang tidak pernah tega.

Bunyi bel pintu rumah menghentikan kegiatan Naran bersama Hyuk yang tertawa—meledek Shin. Pikir mereka, pasti bukan ayah, karena kalau ayah, akan langsung masuk tanpa menekan bel.

"Aku yang buka pintuu!" Hyuk berlari ke arah luar diikuti Naran. Meski terkesan galak, Naran memiliki naluri untuk melindungi adik-adiknya.

Melihat Shin yang masih cemberut, Jieun beranjak dari sofa, memosisikan diri di lantai beralas karpet hijau berbulu, yang sejak tadi ditempati ketiga anak Kim duduk.

"Putri Ibu marah, ya?"

"Tentu saja. Mengapa Ibu menggunting rambut?" Shin semakin memajukan bibir. Ya ampun, memang turunan Kim Soo Hyun, Shin ini.

"Ibu hanya bosan rambut panjang. Sesekali pendek, pemandangan baru. Terus, rambut Ibu bisa tumbuh lagi, bukan?" Jieun mencoba memberi pengertian.

Shin diam, lalu menyentuh tepi rambut ibunya sebentar. Terasa tipis saat dipegang, berbeda dari yang sering Shin sentuh. Sebelum ini rambut sang ibu memang tidak sepanjang Rapunzel, tapi ibunya mempunyai rambut indah seperti tokoh kartun itu.

"Saat rambut Rapunzel menjadi pendek, kartunnya akan selesai, padahal aku masih mau menonton."

Lee Jieun menyimak baik-baik kalimat Shin, mengabaikan kalau di luar terdengar suara Naran dan Hyuk yang gaduh bersama seseorang.

"Makanya, aku tidak suka rambut Ibu menjadi pendek."

Mengusap belakang kepala Shin hingga terasa kunciran tengahnya yang menyembul, Jieun mencoba memahami. Anak ini paling tidak menyukai acara kartun favoritnya cepat selesai, adegan yang berakhir membuat Shin tidak terima.

"Ada Ahjummaaa!" Hyuk mendekat arah Shin dan ibunya seraya berlari—sama seperti saat pertama menuju luar.

Jieun berdiri, menyambut Suji yang sudah terlihat dari balik dinding. Celana panjang dan long coat melekat pada tubuh gadis itu, terlihat—yah—sopan. Biasanya, tidak peduli musim dingin atau musim gugur dengan ribuan angin berembus, Suji tetap pada pakaian mini. Namun sekarang agaknya ia sudah berubah banyak, Jieun ikut senang.

"Kakak, apa kabar?" Suji memeluk Jieun sesaat, lalu mempertemukan pipinya pada pipi kanan dan kiri milik Jieun.

"Seperti yang kau lihat. Terima kasih ya sudah datang, dan bersedia... menjaga anak-anak." Jieun sedikit tidak enak, tapi tidak mungkin juga meninggalkan anak-anaknya seperti hari lalu. Lee Jieun selalu belajar dari pengalaman.

Suji mengangguk-angguk. "Tidak masalah. Lagipula, jika di rumah terus aku bosan, pergi ke luar aku merasa kepanasan karena banyak pasangan yang kencan di musim dingin."

Ingin meletupkan tawa, tapi sekali lagi, Jieun merasa tidak enak, maka hanya menjadi sebentuk senyum manis.

"Memang Ibu mau pergi ke mana?" Naran yang mengerti pembicaraan dua orang dewasa itu bertanya.

"Bulan madu keduaaa...."

"Huss!" Jieun membesarkan mata—niatnya melotot, tapi mau bagaimana lagi, Jieun tidak pandai untuk menakuti orang menggunakan kedua matanya. Bae Suji benar-benar, sembarangan bicara.

"Ibu mau ke kantor ayah, menjemput." Cepat-cepat Jieun meralat kalimat Suji barusan.

"Jemput ayah? Tapi ayah sudah dewasa, mengapa dijemput?" Naran bertanya lagi, tidak bisa berhenti kalau rasa penasarannya belum terpenuhi.

"Hanya hari ini," balas Jieun. Menghadap Suji kembali, Jieun memohon dari nadanya. "Tolong ya, dan, sebisa mungkin kau harus bicara yang baik."

"Berarti menurut Kakak, selama ini aku suka berbicara buruk?" Suji pura-pura tersakiti dari raut wajahnya.

"Maksudku, di depan anak-anak... kau tahu," sahut Jieun, berharap Suji paham tanpa dijelaskan lebih jauh.

Suji nyengir, merasa berhasil membuat Jieun kehabisan kosakata. "Iya, iyaa Kakak, tenang saja."

"Ahjummaa...."

"Eihhh," gerutu Suji, setelahnya memandang Hyuk, si kecil ini, masih saja. "Sudah dibilang, panggil 'Kak-kak', Kakak. Jangan Ahjumma, aku masih muda, kau tidak melihat kebeningan wajahku yang memukau ini?"

Hyuk diam, kedua bola matanya berpindah kepada sang ibu, seakan mengatakan; ibu, aku boleh ikut saja tidak?

Mengerti tentang pandangan Hyuk, Jieun menenangkan si bungsu. "Sebentar saja ya, bersama Ahj—Kakak Suji dulu."

Astaga, Jieun jadi merasa lidahnya terbelit.

---

Lee Jieun tidak bilang kalau mau datang ke firma hukum, maka keberadaan sang istri di kantor berhasil membuat kejutan untuk Soo Hyun.

Laki-laki itu beranjak dari kursi kerja, mendekat Jieun yang baru masuk, kemudian berdiri di depan perempuannya.

"Sibuk?"

"Sedikit," jawab Soo Hyun, lalu memerhatikan potongan rambut Jieun. "Kau menggunting rambut?"

"Um, bagaimana?" Jieun menanti pendapat suaminya, beberapa detik berlalu, Soo Hyun masih bungkam. Dari potongan itu, Soo Hyun bisa menangkap bahwa Jieun menggunting rambut sendiri, kalau bersama ahli, tidak mungkin ada beberapa helai yang masih terlihat panjang.

"Cantik." Soo Hyun jujur. Jieun memang cantik, apa pun gaya rambutnya, atau apa pun yang perempuan ini pakai, seolah memang Jieun terlahir untuk menyesuaikan semua mode.

"Nah, karena aku sudah cantik, ayo kita pergi ke luar!"

Lee Jieun terlalu bersemangat.

"Tunggu. Anak-anak, kau tinggal di rumah?"

Ketegangan wajah Soo Hyun membuat Jieun tergelak sebentar. "Iya. Bersama Suji, aku titipkan anak-anak padanya."

"Bae Suji?!" Wajah Soo Hyun tambah tegang. Bukan apa-apa, Suji itu melebihi kata absurd, Soo Hyun takut kalau anak-anak bersama Suji, akan tertular sifat gadis itu. Soo Hyun tidak bisa membayangkan kalau sampai terjadi.

"Aku sudah mengingatkan Suji, dia hanya akan menjaga anak-anak, kau bisa tenang." Jieun berkata yakin. "Jadii... ayo kita jalan-jalan, lalu makan malam, berdua saja."

"Kau ke sini tanpa anak-anak untuk itu?" tanya Soo Hyun, kembali ke mejanya guna menutup laptop bersama semua berkas kerja, sekaligus mengambil mantel yang tergantung di standing hanger.

"Tepat!" Lagi, Jieun terlalu bersemangat. Soo Hyun suka tentang semangat Jieun, dirinya hanya tidak suka pada perasaan janggal yang berkembang.

"Kalau kau sibuk, aku bisa menunggu, kok."

Soo Hyun memakai mantelnya sambil mendekat arah Jieun.

"Jika itu dirimu, pekerjaan tidak pernah menjadi nomor satu," kata Soo Hyun, mengulurkan sebelah tangan yang langsung disambut sang istri.


---

Salju yang menghujan tidak begitu terasa intensitas dinginnya, bahkan ketika bulir itu melintasi sebelah punggung tangan Jieun yang menggantung bebas. Jalan-jalan yang dimaksud Jieun adalah jalan menuju kedai kaki lima yang jaraknya cukup jauh dari firma hukum. Katanya, Jieun ingin jalan tanpa kendaraan bersama Soo Hyun menuju kedai, dan kembali lagi ke kantor mengambil mobil, setelah itu baru pulang.

Soo Hyun menyetujui rencana Jieun, tentu, bukan perihal besar untuk jalan kaki. Rasa-rasanya, Soo Hyun juga jarang berjalan, setiap hari menggunakan mobil ke kantor, duduk, jalan kalau membeli kopi di lantai bawah kantor, atau sedang sidang, kedua kakinya hanya digunakan untuk berjalan di waktu singkat, tidak sampai memakan puluhan menit seperti saat ini.

"Sudah lama ya, setelah kita memiliki Naran, kita tidak pernah pergi berdua lagi."

Jieun sedang mengenang, sementara Soo Hyun menarik kedua ujung bibir sebelum menanggapi.

"Benar, sudah lama. Aku juga baru ingat, kalau belum mengajak anak-anak berlibur, terakhir kali dua tahun lalu. Liburan tahun ini, aku akan kosongkan jadwal, kita bisa berlibur bersama."

Jieun mengangguk terpatah, dalam hati bertanya, apa bisa? Kecil kemungkinan Jieun dapat ikut, terlebih memikirkan bagaimana dirinya tidak bisa berada di sekeliling Soo Hyun dan anak-anak lagi, pikiran itu amat menyedihkan, sampai rasanya kedua mata Jieun memanas.

"Kim, kau percaya pada kehidupan selanjutnya?"

"Mm... entah, tapi mendiang ibuku bilang, kita akan kembali terlahir hingga tujuh kali, tidak tahu menjadi manusia atau hewan, bisa jadi tumbuhan." Soo Hyun mencoba berkelakar, dan tidak mendapat suara tawa Jieun. Mungkin memang istrinya bertanya serius.

Langit sudah menggelap, pemandangan ujung jalan yang remang kendati lampu jalan trotoar menerangi, juga salju yang beterbangan tertiup angin, Soo Hyun masih betah melihat lurus ke depan, tanpa tahu kalau sepanjang detik Soo Hyun menyahut, Jieun memerhatikan gerak bibir laki-laki itu, atau ekspresi yang tampil dari Soo Hyun, menikmati melalui pandangan mata.

"Kalau begitu, di kehidupan selanjutnya, ketika kita terlahir kembali sebagai manusia, mari kita bertemu lagi, Kim."

Langkah Soo Hyun terhenti, ketika Jieun yang sebelah tangannya masih Soo Hyun genggam juga berhenti berjalan. Menatap dalam-dalam mata sang istri, tersirat sesuatu yang tidak dapat terbaca di sana.

"Kita harus bertemu lagi, tapi dengan kisah berbeda. Aku akan bekerja keras, dan menjadi manusia yang lebih kuat, lalu kita bisa bersama dalam jangka lama."

"Jieun...." mendadak Soo Hyun tercekat air liur sendiri. Kedua mata Jieun sudah terlapis kaca bening, membuat hati Soo Hyun tercubit.

"Berjanji, kita bertemu lagi di kehidupan selanjutnya, hm?"

Soo Hyun mengangguk tanpa diperintah. Kali ini, Jieun mendekap lengan Soo Hyun, menarik suaminya berjalan.

"Selesai makan, bungkus empat porsi juga untuk anak-anak dan Suji, ya? Mereka pasti belum makan."

Selain ceria, Jieun-nya lebih banyak bicara, dan Soo Hyun hanya menjadi pendengar tanpa berniat menukas.

.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro