Ending Scene | 12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kau pernah memikirkan, bagaimana buruknya mendekam di penjara?"

Kang In memandang Jieun tanpa ekspresi, hanya sinar dari pasang matanya mengeruh, seolah sirat cahaya atas kegembiraan saat Jieun meminta bertemu, lalu menunggu kedatangan perempuan itu tidak berarti apa-apa.

"Di penjara, kau memang masih hidup, masih bisa makan, tapi namanya terkurung di balik pintu besi mana ada yang enak, iya tidak?" Jieun mengatakan setiap kata secara tenang, dirinya bukan tidak tahu kalau si lawan bicara sudah terbakar dari dalam.

"Sebetulnya, apa yang ingin kau coba bicarakan?" Kedua tangan Kang In terletak di meja, saling menyatu.

Menarik dua sudut bibir hingga menampilkan gigi-gigi ratanya, senyum Lee Jieun masih sama, dia memang perempuan penuh pesona dengan sejuta warna melalui senyuman, terlebih pandangan matanya. Cuma, kedua mata itu tidak lagi bersahabat bagi Kang In.

"Aku mulai berpikir, mengapa tidak melaporkanmu ke polisi," kata Jieun, memberi jeda sebentar sebelum melanjutkan kalimat yang berhasil mengusik Kang In. "Kau mencoba membunuh suamiku...."

"Itu artinya kau bersedia untuk ikut terseret." Kang In membuang napas, mengeluarkan suara decit tidak enak. Melihat arah luar beberapa saat demi menenangkan diri, dari kaca besar kafe bisa Kang In lihat jalan padat kendaraan.

"Aku sudah pernah memperingatkanmu, jika kau berani membuat polisi ikut campur, maka kau juga akan terseret, kau tidak lagi bisa melihat anak-anakmu. Soo Hyun? Dia pasti akan membencimu, 'kan? Berpikirlah panjang sebelum bertindak."

Jieun mengambil cangkir berisi kapucinonya, menyesap sedikit demi sedikit, sejalan itu bola mata hitamnya naik, menatap Kang In muak.

"Karena itu." Jieun kembali menempatkan cangkir di atas pisin, lebih tertarik memandang cangkir putih tanpa corak itu sekarang. "Aku sudah berpikir apa yang harus kulakukan ke depannya." Jika kau tidak mau lekas berhenti.

Di depan kafe Star, Kang In menghentikan langkah. Menghadap arah kaca, kedua matanya langsung tertuju pada bangku tunggal yang saat itu dirinya duduki, dan bangku seberang terhalang meja, tempat Jieun duduk. Terhitung empat minggu selepas pertemuannya bersama Jieun yang memakan banyak emosi, dan hari ini tidak tahu mengapa, Kang In ingin menatap dalaman kafe tanpa berniat masuk.

Merindukan Lee Jieun? Kang In mendesis remeh, tidak masuk akal.

"Aku sudah berpikir apa yang harus kulakukan ke depannya."

Usai kalimat itu terucap, Kang In segera mengajak Jieun bicara secara privasi di ruang sempitnya, ia selalu merasa sensitif jika pembahasan sudah menjerumus ke hal itu di tempat umum, sekaligus Kang In hendak memberikan kembali racikannya pada Jieun.

Sekarang, Kang In penasaran apa yang Jieun lakukan, bahkan sampai detik ini, Jieun tidak memberi perkembangan tentang Soo Hyun dan efek dari bubuk mematikan. Jieun memang mengatakan ingin berhenti, tapi Kang In tahu perempuan itu tidak bisa berhenti sesuai kehendak, Jieun tidak akan punya pilihan.

Kang In mengambil benda pipih dari saku celana, mungkin kali ini berhasil tersambung. Bukan hanya Jieun yang tidak mengontak, kala Kang In menelepon juga tidak pernah tersambung sejak pertemuan terakhir.

"Saudara Lee Kang In."

Si pemilik nama menoleh otomatis. Kang In menatap dua orang berjaket hitam, kemudian salah satu dari mereka—menggunakan topi berwarna serupa seperti jaket—memperlihatkan kartu identitas.

"Kami dari kepolisian."

Telepon masih menempel di telinga Kang In, sehingga terdengar suara operator memberikan informasi bahwa nomor yang dituju tidak dapat dihubungi, dan kata-kata orang di hadapan mendominasi.

"Anda ikut kami ke kantor."

"Ya?" Kang In tidak paham. Telepon genggam sudah dirinya turunkan dari telinga.

"Percobaan pembunuhan atas Saudari Lee Jieun. Anda bisa memberi keterangan lengkap di kantor."

Suara orang itu—salah satu dari mereka—amat dingin, sampai rasanya menusuk ulu hati Kang In. Ponsel yang belum sempat disimpan ke asalnya nyaris jatuh jika tangan Kang In tidak mengerat, menggenggam ponsel kuat-kuat.

Kang In mulai mengambil satu kesimpulan mengerikan; tidak mungkin, Lee Jieun senekat itu, 'kan?

---

Bunga ungu menyerupai lonceng tertanam rata di pekarangan belakang rumah Lee Kang In. Terlihat cantik, apalagi bunganya yang tumbuh serangkai di satu batang seakan memanjakan mata. Sayangnya, tumbuhan itu menjadi bukti tentang Lee Kang In yang meracik racun di ruang sempit bawah tanah.

Lebih parah, Kang In juga membuka forum percakapan online untuk pemesanan racun ilegal bagi para penggila harta, mereka yang memesan bukan orang sembarang, ingin bermain licik nan halus pada lawan. Kandungan racun yang ditawarkan tidak mengubah rasa pada makanan atau minuman ketika tercampur, bunga itu salah satu bahannya. Tidak akan cepat mematikan, tapi bisa melemahkan denyut jantung perlahan, memperkuat zat lain yang terkandung, sehingga organ dalam tubuh manusia mengalami kelumpuhan.

Menggunakan sarung tangan sebagai pelindung, secara hati-hati salah satu penyidik memetik bunga di halaman belakang guna barang bukti. Cha Man Kyu—ketua dari tim penyidik yang menggeledah rumah Kang In menjauh dari tim sejenak untuk menerima telepon yang tiba-tiba membuyarkan fokus.

Mendengarkan seksama apa yang disampaikan orang di ujung telepon, seketika wajah Man Kyu menjadi kaku.

"Geuraeyo, hm, aku mengerti." Segera memutus panggilan—tidak peduli kalau bukan dirinya yang menelepon pertama kali—Man Kyu mendekat arah rekan kerjanya yang sibuk mencatat di buku persegi berkover hitam.

"Ditingkatkan, menjadi kasus pembunuhan."

Man Kyu melihat raut tanya dari sang rekan, membuat ketidaksabaran dalam diri mencuat. Sekali lagi menjelaskan, Man Kyu sudah siap melayangkan tinju kalau rekan kerjanya masih tidak paham.

"Kasus Lee Kang In meningkat, bukan lagi percobaan pembunuhan, dia sudah benar-benar menghilangkan nyawa seseorang."

---

"Ibu menjahili kita, Ayah... ibu tidak pergi, ibu sedang bersembunyi. Kita akan menemukannya lagi, ayo Ayah... cari ibu...." Hyuk menarik-narik ujung kemeja kusut Soo Hyun.

Laki-laki itu diam—terkesan abai, pandangan Soo Hyun mengarah pada bagaimana tubuh yang semula masih berada di sisinya, dimasukan ke dalam krematorium.

Pasang mata Naran membengkak, dia bahkan sudah tidak mampu meneteskan air mata. Isak Shin memenuhi lorong, pemecah sepi selain suara Hyuk, hingga menambah atmosfer dingin.

"Ayahh...." Hyuk sudah lelah, berusaha meyakinkan ayah tidak mudah, tubuhnya jatuh ke lantai, menangis kencang di sana.

Suji yang juga berada di tempat segera mendekat arah Hyuk, memeluk si bungsu erat-erat, sementara Soo Hyun tetap berdiri depan kaca tanpa bergerak, seolah jiwanya tidak ada lagi dalam tubuh.

"Kakak Sepupu," panggil Suji, merenggangkan pelukan pada Hyuk yang belum berhenti menangis.

Suji menoleh arah Soo Hyun yang hanya terlihat punggungnya. "Hyuk membutuhkanmu, Kak."

Soo Hyun masih tidak merespon. Pandangannya menetap pada proses pengkremasan, bukan memerhatikan bagaimana prosesnya, hanya Soo Hyun tidak percaya kalau sang istri yang berada di dalam ruang bersuhu panas itu. Tubuh istrinya yang sedang dikremasi.

Mendengar Hyuk yang kian keras menangis, Suji kembali memeluk tubuh kecil Hyuk. Bae Suji tahu, Soo Hyun terguncang, tapi dia bukan satu-satunya yang rapuh, Hyuk, bahkan Naran dan Shin juga merasa. Jadi jika Soo Hyun bertindak menulikan telinga seperti sekarang, akan menambah luka.

"Ibu sedang sembunyi, mengapa ayah tidak mau mencari ibu, Bi? Kita cari ibu, ya? Ibu hanya sembunyi...." Hyuk masih kukuh pada pendapatnya, terus menangis sampai kedua pipi penuh oleh air mata yang tiada henti mengalir.

Suji tidak bisa mengatakan apa-apa, tidak tahu harus bagaimana selain memeluk Hyuk dan mengusap punggung anak itu agar sedikitnya meredakan tangis.

Shin yang duduk di kursi deret memanjang samping Naran tiba-tiba bergerak, berposisi menyerong menghadap Naran.

"Kak, mengapa Tuhan memanggil ibu?"

Naran tahu, adik perempuannya telah paham benar makna 'meninggal', yang berarti tidak bisa melihat sang ibu lagi setelah kata memedihkan itu terucap dari mulut orang berjas dokter tadi pagi.

"Karena Tuhan sangat menyayangi ibu."

"Lebih dari kita sayang pada ibu?"

Naran menggeleng singkat. "Sayang Tuhan berbeda. Tuhan merindukan ibu, jadi Tuhan ingin bersama ibu kita."

Tetapi, jawaban Naran belum bisa membantu untuk Shin tidak kembali terisak. Bukankah Tuhan terlalu kejam, hanya karena merindu lalu membuat sang ibu tidak bisa terlihat lagi?

.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro